Merger XL dan Fren: Siapa Untung dan Buntung?


Proses penggabungan (merger) XL Axiata dengan Smartfren (Fren) akan tuntas Rabu (16/4) pekan depan, dengan resminya nama gabungan mereka, PT XL Smart Telecom Sejahtera Tbk. Ini merupakan merger dengan nilai tertinggi selama ini, yakni Rp 104 triliun, bahkan mengalahkan Indosat Ooredoo Hutchison pada 2022 yang nilainya sebesar 6 miliar dollar AS, atau sekitar Rp 84 triliun (saat itu).

Dua tahun setelah merger, pada 2024, IOH berhasil mencatatkan penerimaan sebesar Rp 55,9 triliun, naik 9,1% dari 2023, dengan laba bersih tumbuh 38,1% menjadi Rp 4,916 triliun, angka yang belum pernah tercapai sebelumnya, baik sebagai Indosat Ooredoo maupun Hutchison Tri (3). Merger IOH mendapat apresiasi dunia, karena dari beberapa pengalaman sebelumnya, banyak merger yang gagal, sehingga apa yang dilakukan manajemen IOH kemudian dijadikan contoh.

Baik industri maupun pasar merespons positif, menghilangkan keraguan para pemegang saham kedua perusahaan, walaupun kegiatan ini cukup menyesakkan dada pemegang saham Fren yang merasa tidak mendapat manfaat maksimal dari merger. Nilai saham Fren tidak beranjak, bahkan turun dari Rp 25 menjadi Rp 24/saham.

Para analis memprediksi, harga saham EXCL (XL Smart) akan melejit menjadi Rp 3.000–Rp 3.200 pasca 16 April ini, naik dari sekitaran Rp 2.350/lembar pada awal proses merger. Presiden Direktur dan CEO XL Smart, Rajeev Sethi, memperkirakan akan mendapat pemasukan sebesar Rp 45,8 triliun dari pelanggan gabungan sebanyak 94,5 juta. Laba XL Smart diperkirakan sebesar Rp 1,85 triliun, naik 45% dari sebelum merger.

XL Smart menjadi operator kedua terbesar setelah Telkomsel, dengan jumlah pemilikan BTS (base transceiver station – stasiun radio) sebanyak 211.864 unit ditambah jaringan serat optik (FO) sepanjang sekitar 165.000 kilometer. Fiberisasi BTS sudah dilakukan XL Axiata sebelumnya, sehingga hubungan antar-BTS tidak menggunakan radio, melainkan FO yang lebih cepat, akurat, dan bersih.

Sebagai perbandingan, Telkomsel memiliki jaringan BTS sebanyak 269.000 unit pada triwulan ketiga tahun 2024, dengan panjang jaringan FO mereka sekitar 173.000 kilometer, dan jumlah pelanggan 159,9 juta. Sementara pada akhir 2024, BTS IOH sebanyak 196.000 unit, dengan jumlah pelanggan sekitar 95 juta.

Dari sebanyak 211.864 BTS miliknya, letak 68.000 BTS XL Smart sangat berdekatan, sehingga harus dibenahi, memindahkannya ke kawasan lain yang belum dilayani XL Smart. Pemindahan ini berpotensi menambah pelanggan, yang diperkirakan sekitar 10 juta lagi, karena mereka akan menjangkau banyak kawasan di sebagian Kalimantan, NTT-NTB, dan Papua.

Frekuensi emas

Penambahan pelanggan bisa juga terjadi di kawasan bisnis yang padat dengan beroperasinya spektrum frekuensi 2300 MHz selebar 40 MHz ex-Smartfren. Frekuensi ini bekerja pada teknologi TDD (time division duplexing) yang menggunakan semua frekuensinya untuk unduh dan unggah bergantian. Berbeda dengan teknologi FDD (frequency division duplexing) yang menggunakan frekuensi berbeda untuk unggah dan unduh.

Kelebihan spektrum frekuensi tinggi 2300 MHz, jangkauannya sangat sempit—makin tinggi frekuensi, makin sempit luas cakupannya—hanya sekitar radius 200–300 meter. Karenanya, untuk satu kawasan dengan radius 2 kilometer, di spektrum rendah seperti 850 MHz, 900 MHz, 1800 MHz, dan 2100 MHz cukup ditangani satu BTS, sedangkan dengan spektrum 2300 MHz bisa ditanam lebih dari 100 unit BTS, yang masing-masing melayani sekitar 84 pelanggan bersama-sama dalam tiga arah, sehingga pelanggan yang terlayani jauh lebih banyak.

Lalu, siapakah yang paling beruntung dari proses merger XL-Fren? Secara bisnis, pemilik saham XL Axiata paling beruntung dengan potensi kenaikan harga saham yang segera terjadi. Harga saham XL Smart akan terus tumbuh sejalan dengan pertumbuhan bisnisnya, yang kini menguasai 25% pangsa pasar di industri telko seluler.

Dari segi finansial, yang bisa dikatakan beruntung adalah Kelompok Axiata sebagai pemilik XL Axiata, yang harus menjual 13,1% sahamnya di XL Axiata senilai total (uang segar) 475 juta dollar AS. Penjualan ini untuk menyamakan jumlah saham Sinar Mas dengan milik Axiata di XL Smart yang masing-masing menjadi sebesar 34,8%.

Sebetulnya, angka ini ketika dirupiahkan sebelum gonjang-ganjing Trump di perang dagang, sekitar Rp 7,52 triliun, sekarang nilainya bisa menjadi Rp 8 triliun dengan nilai tukar Rp 17.000 awal minggu ini. Bagi Kelompok Sinar Mas sebagai pemilik Fren, nominal itu tidak menjadi masalah karena konon uang mereka “tidak berseri.”

Bagaimanapun, Sinar Mas menilai, pemilikan saham di XL Smart sebesar 34,8% menaikkan gengsi mereka, yang selama bertahun-tahun selalu rugi sekitar Rp 1 triliun saat mengelola Smartfren. Mereka kini berpotensi mendapat bagian laba sekitar Rp 700 miliar setelah XL Smart beroperasi.

Pemilik saham umum (publik) sebesar 30,4% yang mayoritas mantan pemegang saham XL Axiata juga diuntungkan. Ke mana arah dukungan kelompok publik ini bisa ditebak saat nanti ada beda pendapat antara Sinar Mas dan Axiata di forum RUPS (rapat umum pemegang saham).

Kementerian Komunikasi Digital (Komdigi) juga diuntungkan, karena akan mendapat semacam cash back dari setiap PNBP (penerimaan negara bukan pajak) yang mereka setorkan. Tahun 2024, Komdigi menyetor PNBP sekitar Rp 24 triliun dari pungutan BHP (biaya hak penggunaan) frekuensi, BHS operator, dan setoran USO yang sebesar 1,25% dari total pendapatan kotor operator.

Penyesuaian bertahap

Setiap mengambil spektrum dari operator yang merger, lalu melelangnya, hasilnya disetorkan ke Kementerian Keuangan sebagai PNBP, namun berapa besar cash back yang diberikan kepada direktorat jenderal yang menyetor PNBP tidak pernah diungkap. Dari proses merger XL-Fren, Komdigi menarik spektrum selebar 2 x 7,5 MHz di rentang 900 MHz milik XL Axiata, sehingga lebar frekuensi mereka tidak lagi 152 MHz, tetapi 137 MHz, tanpa memiliki spektrum 900 MHz lagi.

Lebar spektrum ini mendekati milik IOH yang jumlahnya 135 MHz, namun pelaksanaan pengambilan spektrum baru akan dilakukan pada akhir 2026. Tahun 2025 ini, Komdigi akan disibukkan pelelangan spektrum frekuensi selebar 90 MHz di spektrum 700 MHz, selebar 80 MHz di spektrum 1,4 GHz untuk internet di kawasan 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar), selebar 160 MHz di spektrum 2,6 GHz, dan selebar 1.600 MHz di spektrum 26 GHz.

Bagaimanapun, merger membuat industri menjadi efisien, karena belanja modal (capital expenditure) bisa dipotong separuh, dari semula Fren dan XL Axiata belanja sendiri-sendiri, kini cukup satu. Masalah yang agak besar adalah integrasi SDM (sumber daya manusia) dari dua entitas yang njomplang.

XL Axiata termasuk operator gebyar yang pada 2024 menangguk laba Rp 1,84 triliun, naik 44,7% dari tahun 2023 yang sebesar Rp 1,25 triliun, dari pendapatan mereka yang Rp 32,32 triliun, naik 6,4%. Sementara Smartfren bukan mencetak laba, tetapi merugi sebesar Rp 1,29 triliun (naik 1.088,81% dari rugi Rp 108,93 miliar di 2023), dengan pendapatan sebesar Rp 11,4 triliun pada 2024.

Konon, upah karyawan—hingga direksi dan komisaris—Smartfren jauh di bawah, lima kali lipat, dibanding posisi sama di XL Axiata. “Akan dilakukan penyesuaian bertahap,” ujar seorang petinggi Smartfren suatu kali, tahun lalu.

Mungkin tetap akan menjadi kendala hingga dua tahun ke depan, budaya kerja keduanya yang agak berbeda. Apalagi dengan tugas yang sama, upah karyawan ex-Smartfren pada awalnya pasti lebih rendah dibanding kawannya ex-XL Axiata.

CEO Axiata, Vivek Sood, menjamin, mereka yang tidak betah bekerja dan mundur akan diberi pesangon, golden shake hand, yang sangat baik—jumlahnya besar dan belum pernah terjadi sebelumnya. Bayangan pesan itu: sabarlah dulu, semua berproses, dan semua akan mendapat yang terbaik.