Merger XL Smart, Hadapi Banyak Masalah


Merger antara XL Axiata dan Smartfren sudah selesai, tinggal menuntaskan beberapa kesepakatan yang segera dikerjakan, termasuk menyelenggarakan RUPS (rapat umum pemegang saham) entitas baru, XL Smart. Transaksi yang terjadi adalah terbesar 6,5 miliar dollar AS, sekitar Rp 104 triliun, lebih besar dari transaksi Indosat dan Tri yang mewujudkan Indosat Ooredoo Hutchison (IOH) sekitar Rp 90 triliun pada 2020.

Merger membawa kemajuan, efisiensi, dan konsolidasi, namun juga bisa membawa korban. Aksi korporasi ini juga bisa memperluas jangkauan, karena sekitar 20% – 30% BTS yang berdekatan akan direlokasi ke wilayah yang belum terjangkau layanan XL Smart.

Merger XL Smart – nama aslinya PT XL Smart Sejahtera – menjadikan operator seluler di Indonesia tinggal tiga: Telkomsel, IOH, dan XL Smart. Sebelumnya ada Telkomsel, Indosat Ooredoo, XL Axiata, Smartfren, Axis, dan Hutchison Tri Indonesia. Ada lagi Sampurna Telecom yang beroperasi pada 450 MHz, namun mati karena tidak mampu membayar kewajiban kepada negara akibat pelanggannya hanya puluhan ribu.

Konsolidasi dengan merger atau akuisisi selalu berbuntut pada pengambilan 10 MHz spektrum frekuensi oleh pemerintah untuk di rentang 2100 MHz. Namun, merger diyakini membuat industri lebih efisien, meski prosesnya tidak semudah membalik telapak tangan.

Seperti dalam pengadaan barang teknologi, SDM, dan akuisisi lahan (sitac – site acquisition) untuk BTS. Pekerjaan yang biasanya dilakukan dua operator, kini bisa oleh satu saja.

Masalah SDM

Ada masalah penting yang tidak bisa dipandang sebelah mata, antara lain soal SDM. Merger XL Smart membuat digabungkannya 4.803 karyawan, karena XL Axiata membawa 2.372 orang dan Smartfren membawa 2.431 orang. Separuh lebih pernah bekerja di operator yang pada triwulan ketiga tahun ini merugi sampai Rp 1 triliun, sementara sisanya bekerja di perusahaan dengan laba sebesar Rp 1,27 triliun pada saat yang sama.

Tampilan wajah masing-masing saja kelihatannya beda, sebagian pulang kerja dengan sumringah dan bersiul-siul, yang lain pulang tetap dengan penuh syukur, karena memang rezekinya hanya segitu. Kini kedua pihak bisa menampilkan wajah yang ceria, dijamin tidak ada PHK walau mungkin terjadi duplikasi pekerjaan yang biasanya dilakukan seorang kini dikerjakan dua orang.

Vivek Sood, Group CEO Axiata, Rabu (11/12) menjamin tidak akan ada PHK. “Jika nanti setelah jangka waktu tertentu ada rasionalisasi, support payment dan kompensasinya sudah diperhitungkan secara fair, bahkan mungkin lebih dari fair,” ujarnya.

Pengendali De Facto

Merger keduanya membuat Kelompok Sinar Mas, pemilik Smartfren, harus merogoh saku sebanyak 475 juta dolar untuk membuat Smartfren memiliki jumlah saham yang sama dengan XL Axiata, 34,8%. Saham keduanya yang jadi 69,6% ditetapkan sama-sama sebagai pemegang saham pengendali.

Padahal saham pengendali harus lebih besar dari saham milik pemegang saham lain, walau hanya beda 1%. Pemahaman umum akan memperkirakan satu saat nanti XL Smart tidak bisa mengambil keputusan karena saham kedua pengendali jumlahnya sama.

Selain mereka, publik tercatat memiliki sisanya, sebesar 30,4%, dan merunut sejarah, Axiata memegang 66,5% saham di XL Axiata, sisanya minoritas atau pemegang saham publik sebesar 33,5%. Di Smartfren, Sinar Mas sebagai pemegang saham mayoritas memiliki 77,5% dan pemegang saham minoritas sisanya, 22%.

Pemilikan saham minoritas/publik di XL Smart yang 30,4% mengindikasikan sebagian besar pemegangnya adalah mantan pemegang saham di XL Axiata. Nalarnya, mereka akan mendukung mantan rekannya di XL Axiata, sehingga tampaknya secara de facto kelompok Axiata merupakan pemegang saham mayoritas dan pengendali.

Merger membuat jumlah pelanggan XL Smart mencapai 94,5 juta, dengan 58,6 juta berasal dari XL Axiata, dan sisanya 35,9 juta pelanggan Smartfren. Jumlah frekuensi yang mereka miliki pun menjadi 152 MHz, dengan 90 MHz dari XL Axiata pada teknologi TDD (time division duplexing – dua frekuensi berpasangan digunakan bergantian untuk unduh dan unggah) dan 62 MHz dari Smartfren, selebar 22 MHz berteknologi TDD dan 40 MHz di spektrum 2300 MHz yang berteknologi FDD (frequency division duplexing – satu frekuensi digunakan bergantian untuk unduh dan unggah).

Komdigi belum berkomentar soal frekuensi gabungan ini, kecuali memberi persetujuan keduanya merger. Kebiasaan sebelumnya, sebagian spektrum milik operator yang merger harus dikembalikan ke pemerintah untuk kemudian dilelang dan hasilnya diserahkan ke Kementerian Keuangan sebagai PNBP (penerimaan negara bukan pajak).

Tidak ada formula yang digunakan, hanya pertimbangan bahwa operator yang merger memiliki spektrum lebih banyak dengan jumlah pelanggan lebih sedikit dibanding operator yang pelanggannya lebih banyak, misalnya Telkomsel. Umumnya, di setiap lelang frekuensi cabutan, dimenangkan Telkomsel.

Saat ini, XL Smart memiliki 40 MHz di rentang 2300 MHz ex-Smartfren, selain dimiliki Telkomsel selebar 50 MHz, sementara IOH tidak punya. Apakah pemerintah akan mengambil 10 MHz di FDD milik XL Smart, masih belum ada kejelasan.

Frekuensi Cantik

Frekuensi 2300 MHz FDD berkembang menjadi frekuensi cantik yang membuat kapasitas operator meningkat. Di teknologi telekomunikasi, makin tinggi frekuensi, jangkauan atau cakupannya makin sempit.

Pada spektrum 900 MHz, misalnya, cakupannya bisa sampai radius 5 km dengan radio BTS dipasang di atas menara. Jangkauan frekuensi 26000 MHz hanya sekitaran 200 meter, sehingga antenanya pun hanya berbentuk pole (tiang) pendek.

Karenanya, pada satu lahan yang sama, spektrum 2300 MHz dapat melayani jumlah 10 kali lipat pelanggan yang diliput spektrum 900 MHz atau 1800 MHz. Spektrum 2300 MHz sangat cocok digunakan di kawasan bisnis yang padat, sementara spektrum 700 MHz cocok untuk kawasan perkebunan, pertanian, dan untuk teknologi IoT (internet of things) di layanan 5G.

Frekuensi cantik banyak peminatnya, bahkan termasuk Komdigi jika merunut kebiasaan sejak menjadi Kominfo masa lalu. PNBP yang disetorkan Komdigi akan kembali lagi sebagai semacam cashback kepada Komdigi yang diberikan ke direktorat yang menyetor PNBP tadi, sebagai tukin (tunjangan kinerja) dan dibagikan mulai dari dirjennya sampai pegawai terbawahnya.

Tahun 2023, Kominfo menyetor PNBP sebesar total Rp 24 triliun, terbesar dari kementerian lainnya. Komdigi didapat selain dari lelang frekuensi juga dari setoran BHP (biaya hak penggunaan) frekuensi, dan dana USO (universal service obligation) yang didapat dari 1,25% pendapatan kotor operator, sekitar Rp 3,5 triliun setahun.

Baik Vivek Sood maupun Dian Siswarini, Presiden Direktur dan CEO XL Axiata, yakin pemerintah tidak akan mengambil sebagian frekuensi gabungan XL Smart seperti kasus-kasus merger dan akuisisi sebelumnya. Alasannya, frekuensi yang dimiliki Telkom sudah cukup sesuai jumlah pelanggannya.

Hal yang cukup berat bagi operator seluler, bukan hanya XL Smart, adalah meraih sejumlah frekuensi untuk layanan 5G di 700 MHz, 2600 MHz, 26000 MHz, serta mungkin 35000 MHz. Operator masih belum membayangkan berapa harga per kanal, jika operator harus membeli frekuensi yang sedikitnya harus 100 MHz untuk layanan generasi kelima itu.

Harga frekuensi di Indonesia mahal, misalnya untuk menebus 2,5 MHz, operator harus membayar hampir sebesar Rp 600 miliar. Spektrum frekuensi 700 MHz menyediakan lebar pita (bandwidth) sampai 90 MHz, rentang 2600 MHz menyediakan lebar pita 200 MHz, dan di pita 26 GHz tersedia pita selebar 2700 MHz. Semua harus siap-siap.