Mertua Kiky Saputri Sebut Kasus Etik KPK tak Boleh Asal Dipubliksi, Salah Satunya Gaya Hedon


Ketua Pengadilan Tinggi Banjarmasin, Gusrizal menilai tidak perlu sejumlah kasus etik yang diusut oleh Dewas KPK diekspose ke masyarakat. Hal ini, menurut Gusrizal, demi menjaga kredibilitas lembaga antirasuah dimata publik.

Pernyataan itu, disampaikan oleh Gusrizal ketika menjalani proses seleksi wawancara menjadi Calon Dewas KPK (Cadewas) untuk periode 2024-2029, di Gedung Kemensetneg III, Jakarta Pusat, Kamis (19/9/2024).

Mulanya, anggota Panitia Seleksi (Pansel), Laode M Syarif yang juga eks Wakil Ketua KPK menanyakan kepada Gusrizal, terkait cara meningkatkan kepercayaan publik ke KPK seperti awal berdiri, yang saat ini anjlok di bawah Polri.

“Kalau Bapak terpilih, hal apa yang Bapak akan lakukan?, untuk mengembalikan tadi kepercayaan masyarakat (ke KPK) yang dulu selalu nomor satu tiba -tiba sampai di bawah polisi itu?,” tanya Laode kepada Gusrizal.

Gusrizal atau mertua dari Kiky Saputri ini memaparkan cara untuk meningkatkan kepercayaan publik tersebut. Ia mengatakan apabila terpilih menjadi Dewas, akan menjaga kepercayaan publik kepada KPK, mengklasifikasi kasus etik internal KPK yang diusut, dan tidak mengungkapkan sejumlah kasus etik ke publik.

“Ketiga, untuk menjaga muruah KPK itu, tidak seluruhnya harus diekspos ke masyarakat. Ini untuk menjaga terhadap kreditas KPK tersebut, tetapi tentang pelanggaran tersebut harus dicatat,” kata Gusrizal.

Angkatan Hakim Tipikor pertama ini membawa konsep restorative justice atau keadilan restoratif, adalah pendekatan dalam sistem peradilan pidana yang berfokus pada pemulihan hubungan yang rusak akibat tindakan kriminal.

Akan tetapi, pernyataan dari Gusrizal di skatmat oleh Laode, Laode menilai kasus etik dan pidana merupakan suatu hal yang berbeda.

“Restorasi justice, penyelesaian secara musyawarah terhadap pengaduan tersebut, terhadap pengaduan masyarakat. Kedua, sebagai Dewas, tentu menjaga integritas dan nama kepada publik tentang dewas tersebut,” ucap Gusrizal.

“Bapak Hakim ya, kira -kira mana yang lebih bermanfaat bagi perbaikan nama baik KPK menggunakan dalam tanda kutip restoratif justice. Walaupun kurang tepat itu, restoratif justice untuk kasus yang itu, atau zero tolerance terhadap pelanggaran etik?, Kira -kira mana yang lebih baik buat menurut Bapak?,” respons Laode mengkritisi pernyataan Gusrizal.

Gusrizal menjelaskan lebih lanjut, untuk kasus etik yang tidak boleh diungkapkan ke publik tergantung berat atau ringannya suatu perkara etik.

Gaya Hedon

Bagi dia, kasus etik gratifikasi boleh diungkapkan ke publik. Sedangkan, kasus etik perilaku hidup mewah atau gaya hedon pegawai KPK tidak boleh diungkapkan ke masyarakat.

Laode pun hanya bisa terheran-heran dengan jawaban dari Ketua Hakim PT Banjarmasin tersebut yang saat ini mencalonkan diri sebagai dewas KPK Periode 2024-2029.

“Kira -kira di benak Bapak pelanggaran di KPK itu yang kira -kira dianggap ringan seperti apa?, yang sedang seperti apa dan yang berat seperti apa?,” tanya Laode kepada Gusrizal.

“Yang berat misalnya menyangkut dengan gratifikasi,” jawab Gusrizal.

“Ya kalau itu masuk, sudah masuk tindak pidana sih kalau menurut saya,” kata Laode.

“Gratifikasi, kemudian komunikasi dengan pihak -pihak yang tersangkut dengan kasus tipikor. Kemudian yang ringan tentu menangkut dengan penampilan hedon terhadap petugas KPK atau pimpinan KPK maupun pegawai bersangkutan,” jelas Gusrizal.

“penampilan fisik?,” tanya Laode.

“Ya penampilan ya. Oke…,” ucap Laode memberikan respon terheran-heran.