Wakil Ketua Komisi IV DPR Budhy Setiawan menyoroti terungkapnya dokumen yang menunjukkan adanya kelalaian administrasi dalam pengadaan impor beras. Hal ini, membuktikan bahwa ada kesalahan tata kelola dan manajemen yang serius sehingga menyebabkan demurrage.
Ia mengatakan, kejadian ini adalah pelajaran berharga mengingat biaya demurrage yang terjadi akibat kelalaian tersebut berdampak pada anggaran negara. Selain itu, dampak ini juga dirasakan masyarakat dengan meningkatnya harga beras di pasaran
“Dan kita tahu bahwa kondisi ekonomi masyarakat yang berada di lapis bawah sangat terpengaruh imbas harga beras tersebut,” ucapnya kepada Inilah.com di Jakarta, dikutip Selasa (9/7/2024).
Budhy mengatakan perlu ada investigasi lebih lanjut terkait kelalaian administratif yang menyebabkan terjadinya demurrage dan dugaan mark up harga.
Menurutnya, investigasi tersebut dapat dilakukan secara transparan dan bisa memberikan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pengadaan beras impor. “Agar kecurigaan publik yang terbangun dari logika biaya demurrage bisa dijawab dengan baik,” ujarnya.
Ia juga meminta, adanya audit dan perbaikan dalam penerapan sistem neraca pangan dan penerapan satu pintu penyampaian data dan informasi, atau yang dikenal dengan Indonesia National Single Window (INSW). “Dan sistem audit yang lebih baik dapat membantu tercegahnya kejadian serupa terulang di masa yang akan datang,” tuturnya.
Klaim Badan Pangan Nasional (Bapanas) sebagai regulator yang berfokus pada pembangunan ekosistem pangan nasional dengan prinsip profesionalitas, akuntabel, dan kolaboratif ternyata cuma ‘omon-omon’ alias omong kosong belaka.
Sebab, klaim tidak sejalan dengan dokumen hasil riviu sementara Tim Riviu Kegiatan Pengadaan Beras Luar Negeri pada tanggal 17 Mei 2024 yang ditandatangani Plh Kepala SPI Arrahim K. Kanam.
Dalam dokumen hasil riviu sementara Tim Riviu Kegiatan Pengadaan Beras Luar Negeri disebutkan bahwa ada masalah dalam dokumen impor yang tidak proper dan komplet sehingga menyebabkan biaya demurrage atau denda yang terjadi di wilayah pabean/pelabuhan Sumut, DKI Jakarta, Banten dan Jatim.
“Terdapat keterlambatan dan atau kendala dokumen impor yang tidak proper dan complete sehingga menyebabkan container yang telah tiba di wilayah Pabean/Pelabuhan tidak dapat dilakukan clearance,” bunyi dokumen itu, dikutip Senin (8/7/2024).
Dokumen itu juga menyebutkan bahwa kebutuhan clearance di wilayah pabean atau pelabuhan belum dapat dilakukan lantaran dokumen impor belum diterima melebihi waktu yang telah ditentukan.
“Beberapa dokumen impor untuk kebutuhan clearance di wilayah pabean atau pelabuhan belum diterima melebihi tanggal estimate time arrival ETA/actual time arrival dan atau dokumen belum lengkap dan valid ketika kapal sudah sandar,” lanjut bunyi dokumen riviu tersebut.
Dokumen tersebut mengungkap telah terjadi kendala pada sistem Indonesia National Single Windows (INWS) di kegiatan Impor tahap 11 yang dilakukan pada bulan Desember 2023.
“Dokumen yang diterima belum lengkap dan valid sehingga perlu dilakukan perbaikan setelah submit ke aplikasi INWS berupa lembar survey (LS),” bunyi dokumen riviu tersebut.
Dalam dokumen riviu juga disebutkan terjadinya biaya demurrage atau denda karena perubahan Perjanjian Impor (PI) dari yang lama ke baru. Lalu ada juga phytosanitary yang expired dan kedatangan container besar dalam waktu bersamaan sehingga terjadi penumpukan container di pelabuhan.
Akibat tidak proper dan kompletnya dokumen impor serta masalah lainnya, telah menyebabkan biaya demurrage atau denda senilai Rp Rp294,5 miliar. Dengan rincian wilayah Sumut sebesar Rp 22 miliar, Rp 94 miliar dan Jawa Timur Rp 177 miliar.
Sebelumnya, Deputi Bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas) I Gusti Ketut Astawa mengatakan, Bapanas hanya sebagai regulator dalam soal impor beras dengan prinsip profesionalitas, akuntabel, dan kolaboratif. Hal ini disampaikan Gusti Ketut merespons laporan Studi Rakyat Demokrasi (SDR) ke KPK terkait skandal impor beras.
“Sebagai regulator yang diamanatkan Perpres 66 tahun 2021, tentunya prinsip profesionalitas, akuntabel, dan kolaboratif senantiasa kami usung,” katanya pada Inilah.com, Jumat (5/7/2024).
Diketahui, Studi Demokrasi Rakyat (SDR) melaporkan Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi dan Dirut Bulog Bayu Krisnamurthi terkait dugaan mark up (selisih harga) impor 2,2 juta ton beras senilai Rp2,7 triliun dan kerugian negara akibat demurrage impor beras senilai Rp294,5 miliar ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI, Jakarta, Rabu, (3/7/2024).
Direktur Eksekutif Studi Demokrasi Rakyat (SDR) Hari Purwanto meminta KPK dapat segera memeriksa Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi dan Direktur Utama Perum Bulog Bayu Krisnamurthi sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terkait dua masalah tersebut.
“Kami berharap laporan kami dapat menjadi masukan dan bahan pertimbangan untuk Bapak Ketua KPK RI dalam menangani kasus yang kami laporkan,” kata Hari di depan Gedung KPK, Jakarta, Rabu (3/7/2024)