Indonesia Institute for Social Development (IISD) menyatakan apresiasi lembaga tersebut terhadap Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 yang antara lain mengatur pengendalian zat adiktif (produk tembakau). Namun IISD mengakui bahwa pengaturan pemerintah tersebut belum optimal.
Dukungan dan apresiasi IISD tersebut dinyatakan Direktur Program IISD, Ahmad Fanani, dalam konferensi pers pasca-diskusi mengenai PP 28/2024, yang digelar IISD di Resto Aryaduta Hotel, Jakarta Pusat, Kamis (31/7) siang. Menurut Fanani, PP tersebut menandai berlakunya rezim baru pengendalian tembakau. Ia mengakui bahwa muatan pengaturan dalam PP tersebut belum mencerminkan norma pengendalian yang maksimal. Namun semua itu masih patut disyukuri sebagai “kado awal Agustusan”.
“Meskipun belum sempurna, mempertimbangkan proses politik dan tebalnya tantangan dari industri, ini merupakan titik capai yang patut disyukuri sebagai batu loncatan untuk pengaturan yang lebih ketat,”kata Fanani. Ia menegaskan pentingnya pengawalan publik terhadap implementasi PP tersebut agar semua pihak mematuhi aturan yang ditetapkan demi kesehatan masyarakat.
Beberapa hal yang diapresiasi IISD di antaranya adalah larangan penjualan kepada orang di bawah 21 tahun; larangan penjualan rokok batangan, kecuali cerutu dan rokok elektronik; larangan menjual rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak; tempat khusus merokok yang harus terpisah dari bangunan utama dan jauh dari lalu lalang orang; serta larangan merokok atau menampilkan rokok di media apa pun.
Berkaitan dengan larangan penjualan eceran, IISD memandang pengaturan tersebut penting. “Karena sebagaimana temuan Survey Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, perokok terbanyak masih di kelompok ekonomi menengah ke bawah dan pendidikan terendah, yang sebagian besar membeli rokok secara eceran,”kata Fanani.
Namun IISD masih memberikan catatan untuk beberapa hal. Misalnya, IISD menyayangkan larangan iklan rokok yang hanya berlaku di media sosial. Sementara iklan di media lain, seperti di website dan platform internet lainnya, masih dibolehkan. Demikian pula iklan di televisi, meski dibatasi mulai pukul 22.00 hingga 05.00; atau iklan di media luar ruang sepanjang lebih dari radius 500 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.
Padahal, dalam kajian IISD, salah satu faktor determinan penyebab “darurat rokok” adalah 'sihir iklan’. “Riset kami menemukan bahwa 71 persen perokok pelajar menyatakan bahwa iklan rokok itu kreatif dan inspiratif, merangsang mereka untuk merokok,”kata Fanani. Ia juga menunjuk, di ASEAN hanya Indonesia yang masih membolehkan adanya iklan rokok.
Selain itu, peringatan kesehatan dalam kemasan rokok yang hanya sekitar 50 persen ruang kemasan juga disealkan IISD. “Padahal, berbagai riset menunjukkan Pictorial Health Warning (PHW) hanya efektif dalam besaran di atas 80 persen,”kata dia.
Sebagaimana diketahui, pemerintah telah merilis aturan pelaksana Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan melalui PP no 28/2024. PP yang terdiri dari 1172 pasal itu ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 26 Juli 2024, dan diundangkan Menteri Sekretaris Negara, Pratikno, pada hari yang sama. [dsy]