Tajikistan baru saja mengesahkan undang-undang larangan penggunaan hijab. Parlemen negara berpenduduk mayoritas Muslim itu mengadopsi rancangan undang-undang (RUU) tentang ‘tradisi dan perayaan’.
UU itu melarang penggunaan, mengimpor, menjual, dan memasarkan ‘pakaian asing bagi budaya Tajik’. Mayoritas pejabat dan publik menggambarkan larangan itu ditujukan terhadap pakaian khas Muslim. UU itu juga mencakup sanksi administratif dan denda bagi para pelanggarnya.
Salah satu alasan pemerintah melarang penggunaan hijab dan atribut keagamaan lainnya adalah ‘demi melindungi nilai-nilai budaya nasional’ dan ‘mencegah takhayul serta ekstremisme’.
Dalam beberapa tahun terakhir, Tajikistan memang terus memperketat larangan memakai pakaian dan atribut keagamaan, terutama pakaian Muslim, di sekolah-sekolah dan tempat kerja.
Dengan UU ini, Tajikistan dilaporkan akan memperluas larangan penggunaan hijab hingga di tempat publik. Dalam aturan baru ini, warga juga dianjurkan untuk semakin sering memakai pakaian nasional Tajikistan.
Dikutip Euro News, Selasa (25/6/2024), mereka yang melanggar undang-undang ini akan didenda mulai dari 7.920 somoni atau sekitar Rp12,1 juta untuk warga biasa, sekitar 54 ribu somoni (Rp82,6 juta), dan 57.600 somoni (Rp88,1 juta) bagi para tokoh agama.
Undang-Undang ini juga melarang tradisi umat Muslim Tajikistan ‘iydgardak’ yang berlangsung saat Hari Raya Idul Fitri. Iydgardak adalah tradisi ketika anak-anak mengunjungi rumah-rumah dan mendapatkan uang saku.
Pengesahan UU ini mengejutkan dunia internasional lantaran mayoritas penduduk Tajikistan adalah Muslim. Berdasarkan data sensus 2020, sekitar 96 persen dari total 10,3 juta penduduk Tajikistan merupakan umat Muslim.
Selama ini, pemerintahan Presiden Emomali Rahmon memang berupaya menerapkan paham sekuler dan mengesampingkan praktik keagamaan dalam politik dan sosial Tajikistan.