Mimpi Kolektif, Realitas Inklusif


Di penghujung bulan Agustus 2023, saya berkesempatan mengunjungi New Delhi, India, untuk menghadiri G20 Trade and Investment Ministerial Meeting (TIMM). Saat itu, saya menjadi bagian dari delegasi Indonesia bersama Menteri Perdagangan dan sejumlah pejabat dari Kemendag, Kemenlu, dan BKPM RI. Ini waktu yang paling sempurna untuk mengunjungi India, negara yang saya bayangkan bisa saya datangi sejak kecil.

Narasi India selalu berada dalam kepala saya sejak SD. Negeri indah yang selalu ada dalam once in a lifetime travelling list saya. Di tahun 1990-an, film-film Bollywood menguasai air time televisi-televisi Indonesia. Tak terhitung berapa judul film Sridevi, Mithun Chakraborty, atau Sanjay Dutt yang sudah saya tonton. Tentu saja yang paling booming di zaman itu adalah Kuch Kuch Hota Hai. Siapa yang tak jatuh cinta pada Shahrukh Khan dan Kajol?

Film itu legendaris. Film wajib bagi siapa pun yang melintasi tahun 1990 dan belajar jatuh cinta. Orang yang suka pada India, seperti saya, akan berlanjut ke film-film lainnya: Kabhi Khushi Kabhie Gham, Mohabbatein, Kal Ho Naa Ho dan seterusnya. Demikianlah India pernah menguasai ruang imajinasi sebagian masyarakat Indonesia, seperti Korea Selatan melakukannya hari ini.

Namun, menginjakkan kaki di New Delhi, saya mendapatkan kesan dan pengalaman yang sama sekali berbeda tentang India: orang-orangnya, udaranya, nuansanya tak seperti dalam film. Kawasan-kawasan kumuh ibu kota India itu harus ditutup pemerintahnya dengan seng dan kain hitam, agar tamu-tamu dari luar negeri tak melihat wajah bopeng negara itu. Ternyata India yang saya bayangkan sejak kecil tidak seperti kenyataannya. Barangkali saya mendatangi kota yang keliru? Atau mungkin imajinasi saya tentang India yang salah?

Hari itu, 23 Agustus 2023, bertepatan dengan India membuat sejarah dunia. Pesawat ulang-aliknya berhasil mendarat di bulan! Cerita besar yang akan mengubah arah sejarah. Tapi dalam perjalanan saya dan rombongan ke sebuah hotel, jalanan New Delhi macet parah. Nyaris tak bergerak. Klakson bersahutan nyaring. Orang-orang marah dan beberapa berkelahi. Pemandangan yang membuat salah satu rekan saya nyeletuk, “Bagaimana mungkin negara ini bisa sukses melakukan misi luar angkasa, padahal ngurus jalan raya aja nggak bisa?”

Imaji dan Disparitas

India memang dikenal sebagai salah satu negara di dunia dengan tingkat kesenjangan sosial yang cukup tinggi. Meski bukan yang terburuk di dunia, negara ini punya angka koefisien Gini yang menunjukkan tingkat ketidakseimbangan pendapatan yang cukup signifikan: 32,8 pada tahun 2021. Ini sebenarnya skor yang “sedang” secara statistik, tetapi kalau kita lihat kenyataannya di New Delhi: di satu sisi ada CEO muda yang menunggangi Mercedes-Benz Maybach terbaru, tetapi di sisi lain ada gelandangan kumuh di tepi jalan yang kelaparan. Begitu timpang.

Hebat memang, India adalah satu dari sedikit negara yang punya misi luar angkasa, dengan matematikawan dan fisikawan kaliber dunia. Tetapi di saat yang sama, 23,49% masyarakatnya tidak mengenyam bangku pendidikan (usia 15–24 tahun). Orang terkaya dunia seperti Mukesh Ambani atau Ratan Tata ada di India, tetapi orang miskinnya juga masih banyak, jumlahnya hampir 230 juta jiwa (data 2021). Meskipun harus diakui, dalam kurun 15 tahun India juga berhasil memangkas kemiskinan secara signifikan—dari 415 juta jiwa (data 2006).

India adalah contoh negara yang punya narasi dan imajinasi, tetapi “keteteran” dalam hal eksekusi. Ada banyak faktor yang mempengaruhi, di antaranya soal jumlah penduduk. India adalah negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia, melampaui Tiongkok, yakni mencapai 1,438 miliar jiwa di tahun 2023. Tak mengherankan negara ini jadi mesin perekonomian paling gacor di antara kekuatan-kekuatan ekonomi global. Masalahnya, imajinasi besar India tak selalu selaras dengan realitas rakyatnya.

Jika kita belajar dari pengalaman India, yang perlu Indonesia perhatikan adalah soal keseimbangan dan pemerataan. Narasi besar butuh fondasi sosial yang kuat, bukan hanya berangkat dari kaum elite. Artinya, politik imajinasi atau narasi nasional harus bersifat kolektif. Kolektivitas ini akan melahirkan konektivitas, dan konektivitas menciptakan kohesivitas. Channel-nya adalah distribusi pengetahuan dan kesejahteraan.

Kalau politik imajinasi tidak lahir dari rakyat, narasi hanya akan dikuasai oleh elite. Implementasinya juga akan bersifat elitis. Arah masa depan bangsa yang didefinisikan kaum elite akan gagap diterima dan diterjemahkan oleh grassroots. Inilah yang terjadi dengan India hari ini. Punya segala narasi tentang kemajuan, teknologi canggih, strategi kebudayaan yang mengglobal, tetapi meninggalkan jurang kesenjangan di tengah masyarakatnya.

Narasi yang Inklusif

India pernah punya sebuah ide cemerlang untuk menulis ulang sejarahnya, Rewriting Indian History. Bukunya ditulis jurnalis dan aktivis Hindutva, François Gautier, diterbitkan tahun 1996. Gerakan ini merupakan sebuah upaya sistematis untuk merekonstruksi narasi sejarah India dari perspektif nasionalis Hindu. Gerakan ini bertujuan menentang dominasi interpretasi sejarah yang dianggap dipengaruhi oleh kolonialisme, Marxisme, dan sekularisme pascakemerdekaan. Sayangnya, gerakan ini bersifat sektarian. Ada tendensi anti-Islam yang kuat dalam gerakan ini.

Akibatnya, di satu sisi India membangun optimisme masa depan. Tetapi di sisi lain membuka luka masa lalu. Menciptakan potensi konflik antar-etnis dan antar-agama yang bersifat laten. Ongkos yang harus dibayarkan India sangat besar untuk ini. Hingga sekarang, konflik horizontal antar-Muslim dan Hindu di India terus berlangsung. Bukan hanya di desa-desa tetapi juga di kota. Bisa kapan saja menjadi “bom waktu” perang antar-etnis dan agama.

Masalah lainnya adalah budaya patriarki. Narasi yang dibangun India bersifat terlalu maskulin sehingga menempatkan perempuan India di posisi yang lemah dan tertindas. Secara budaya, konsekuensinya juga besar. Tingkat kekerasan kepada perempuan di India relatif tinggi. Perempuan-perempuan India kerap menjadi korban ketidakadilan sampai kekerasan—baik secara fisik, verbal, maupun seksual.

Apa yang Indonesia bisa pelajari dari India? Narasi nasional dan kesadaran untuk melakukan politik imajinasi saja tidak cukup. Belajar dari pengalaman India, narasi kebangsaan yang kita bangun harus bersifat inklusif. Tidak boleh bias kelas dan bias gender. Imajinasi Indonesia masa depan harus lahir dari pikiran dan kesadaran kolektif. Tugas para pemimpin atau elite adalah menampung dan merangkumnya menjadi sebuah strategi nasional yang adil dan beradab.

Untuk mencapai imajinasi kolektif dan realitas yang inklusif, kita perlu menciptakan ruang-ruang terbuka bagi publik untuk mengekspresikan ide dan pendapatnya. Kita butuh demokrasi deliberatif, meminjam teori Jürgen Habermas, yakni demokrasi yang memungkinkan terbukanya diskusi di ruang publik sebagai cara untuk membuat keputusan politik. Prinsip utama dari demokrasi deliberatif ini adalah bahwa setiap warga negara, tanpa diskriminasi, harus punya kesempatan yang setara untuk menyampaikan pandangan, argumen, dan harapan.

Inilah prinsip demokrasi. Negara harus mengakui dan melibatkan seluruh warga negaranya. Pengakuan adalah prasyarat utama untuk memperoleh rasa kebersamaan dan persatuan. Ia menghadirkan apa yang disebut sebagai harga diri kolektif (The Politics of Recognition, Charles Taylor, 1992). Negara harus memberi tempat yang setara dan terhormat kepada semua ekspresi budaya, agama, bahasa, dan sejarah. Dalam perspektif inilah kewarganegaraan bukan hanya status hukum, melainkan praktik sosial dan politik yang inklusif, mengedepankan hak untuk menjadi bagian, untuk didengar, berkontribusi, dan membentuk arah bersama (Theory of Inclusive Citizenship, Engin Isin & Bryan Turner, 2002).

Akhirnya, Indonesia masa depan yang kita bayangkan adalah Indonesia adil makmur untuk semua. Indonesia yang setara, tanpa dominasi dan non-diskriminatif. Negeri yang dimiliki dan dicintai semua warganya karena mengayomi setiap mimpi dan memberi kesempatan yang adil untuk semua orang. Di negeri semacam itu, kesenjangan adalah dongeng masa lalu. Dan kesejahteraan bukan hanya milik mereka yang punya kekuasaan. Itulah impian kita bersama: Indonesia maju yang mengikutsertakan semua anak bangsa.

Waktu itu saya pulang dari India dengan rasa kecewa. Ada patah hati yang serius karena India yang saya kunjungi tak seperti yang saya imajinasikan selama ini. Tapi optimisme justru lahir dari sana: optimisme tentang Indonesia. Keyakinan bahwa kita pasti bisa lebih baik dari India—jika kita pandai belajar dan mau berusaha.

Tabik!