Mirip Krisis Moneter 1998, Deflasi 5 Bulan Beruntun Berdampak Kepada Perbankan


Jangan pernah remehkan deflasi selama 5 bulan beruntun, karena, pengamat perbankan, Arianto Muditomo membandingkannya dengan krisis moneter 1998. 

“Indonesia memang mencatat deflasi lima bulan berturut-turut sejak Mei 2024. Deflasi beruntun tersebut merupakan pertama kali terjadi sejak 1999 atau 25 tahun terakhir,” kata dia, Jakarta, dikutip Sabtu (5/10/2024).

Ketika daya beli masyarakat melemah, lanjutnya, permintaan kredit untuk investasi dan konsumsi cenderung berkurang, sehingga kredit yang telah disetujui bank tidak langsung disalurkan (undisbursed).

“Tren deflasi juga bisa mencerminkan penurunan aktivitas ekonomi, yang membuat perusahaan lebih berhati-hati dalam menggunakan fasilitas kredit untuk ekspansi atau operasional,” kata Didiet, sapaan akrabnya.

Di sisi lain, lanjutnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat pertumbuhan kredit perbankan mencapai 11,4 persen secara tahunan (year on year/yoy), atau Rp 7.508 triliun per Agustus 2024.

Didiet juga mengatakan, pertumbuhan dua digit baik dalam penyaluran kredit maupun undisbursed loan menunjukkan adanya keinginan dari pelaku usaha untuk mendapatkan akses pembiayaan, namun ada penundaan dalam realisasi penggunaan kredit tersebut.

“Ini bisa berarti bahwa meskipun ada pertumbuhan kredit yang baik, banyak nasabah yang belum menggunakan dana pinjaman mereka secara maksimal, mungkin karena ketidakpastian ekonomi atau masih lemahnya permintaan di pasar,” ujar Didiet.

Hal ini disebut Didiet, secara umum, mengindikasikan adanya kepercayaan dalam mendapatkan kredit, tetapi ketidakpastian atau hambatan dalam pengambilan keputusan ekonomi yang menyebabkan tertahannya realisasi kredit.

Adapun, kredit menganggur kemungkinan besar berasal dari sektor-sektor yang terkait dengan investasi dan proyek infrastruktur, seperti konstruksi, manufaktur, dan properti.

“Sektor ini biasanya mengajukan kredit dalam jumlah besar, namun realisasi penggunaan dana bisa tertunda karena berbagai faktor, seperti perizinan yang tertunda, hambatan proyek, atau penundaan ekspansi,” ucapnya.

Selain itu, sektor usaha yang terkait dengan komoditas atau perdagangan juga bisa mengalami keterlambatan dalam menggunakan kredit, tergantung kondisi pasar.

Hingga akhir 2024, tren undisbursed loan pun diproyeksikan akan tetap tinggi jika ketidakpastian ekonomi, baik global maupun domestik, masih berlangsung.

Namun, kata Didiet jika ada perbaikan dalam daya beli, stabilisasi inflasi, dan kepercayaan pasar meningkat, maka sebagian kredit yang menganggur dapat terealisasi, terutama dari sektor-sektor yang menunggu sinyal pemulihan ekonomi.

“Namun demikian, jika kondisi ekonomi belum stabil, undisbursed loan bisa terus tumbuh seiring dengan penyaluran kredit yang juga meningkat,” tandasnya.

Kredit menganggur atau undibursed loan di sejumlah bank juga terlihat masih menumpuk, meskipun rata-rata pertumbuhan kredit mereka meningkat dua digit.

Ambil contoh PT Bank Mandiri Tbk yang mencatatkan pertumbuhan kredit sebesr 23 persen hingga Agustus 2024, mencapai Rp1.222,13 triliun.

Namun kredit menganggur di Bank Mandiri masih cukup besar, bahkan naik secara tahunan seiring dengan kredit yang bertumbuh.

Bank Mandiri mencatat total kredit menganggur mencapai Rp 236,28 triliun pada Agustus 2024, atau naik 15,04 persen (yoy) dari periode yang sama tahun lalu, sebesar Rp205,39 triliun.

Tidak hanya Bank Mandiri, PT Bank Central Asia Tbk (BCA) juga mencatatkan total kredit menganggur yang lebih besar, yakni Rp 405,04 triliun pada Agustus 2024. Naik 11,19 persen (yoy) dari periode yang sama tahun lalu sebesar Rp364,27 triliun.

Kenaikan kredit menganggur tersebut seiring dengan pertumbuhan kredit BCA yang sebesar 16 persen (yoy) pada Agustus 2024 mencapai Rp842,71 triliun.

EVP Corporate and Social Responsibility BCA, Hera F Haryn mengatakan, kenaikan undisbursed loan perseroan dikarenakan meningkatnya pembiayaan di semua segmen, seperti UKM, Korporasi, hingga kredit konsumer.

“Pada prinsipnya, BCA berkomitmen menyalurkan kredit ke berbagai sektor untuk menunjang program hilirisasi yang dicanangkan pemerintah,” kata Hera.

Di sisi lain, bank di jajaran KBMI 3 juga mencatatkan kredit menganggur yang masih menggunung, seperti PT Bank Danamon Indonesia Tbk (Danamon), kendati mencatatkan penurunan kredit sebesar 7,41 persen (yoy) pada Agustus 2024, sebesar Rp2,00 triliun.

Tetapi total kredit menganggur Danamon justru meningkat, mencapai Rp103,71 triliun pada semester I-2024, naik 31,43 persen (yoy) ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp78,91 triliun.

Sementara PT Bank CIMB Niaga Tbk mencatat total kredit sebesar Rp4,36 triliun pada Agustus 2024, naik 4,31 persen (yoy) dari periode yang sama tahun sebelumnya Rp4,18 triliun.