Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Andalas (Unand) Yoserwan tak masalah bila para hakim meminta kenaikan gaji pokok, karena kebebasan berpendapat memang menjadi hak asasi yang dilindungi konstitusi.
“Jadi siapa saja termasuk hakim yang menyampaikan aspirasi harus dihormati. Namun pelaksanaan hak tersebut harus sesuai UU. Hakim sebagai pejabat negara harus memperhatikan aturan yang ada, sehingga penyampaian aspirasi itu tidak melanggar hukum,” kata Yoserwan kepada Inilah.com saat dihubungi di Jakarta, Minggu (29/9/2024).
Hanya saja, cara penyaluran aspirasi lewat ancaman mogok massal kurang pas. Ia menyatakan penyaluran aspirasi ini harusnya disampaikan secara kelembagaan, yakni melalui Mahkamah Agung (MA) dan secara keorganisasian melalui Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI).
“Terkait tuntutan sudah sewajarnya hakim menuntut kesejahteraan. UU sudah menjamin kesejahteraan dan keamanan bagi hakim, namun realisasinya masih jauh dari seharusnya,” ucap dia.
Yosewan mengingatkan, permintaan peningkatan kesejahteraan hakim seharusnya diimbangi dengan integritas dan kapabilitas. Jangan cuma menuntut bisa hak, tapi saat menjalankan kewajiban malah asal-asalan.
“Seharusnya tidak ada lagi hakim yang terkait korupsi dan putusan yang tidak berkualitas. Jangan ada putusan hakim yang sekadar ketuk palu seperti dalam kasus Vina di Cirebon, Ronald Tannur, dan kasus-kasus lain yang kontroversial,” tutur dia.
Diketahui, Solidaritas Hakim se-Indonesia akan menggelar aksi mogok sidang melalui cuti massal selama sepekan mulai tanggal 7-11 Oktober 2024. Alasannya adalah gaji pokok yang dinilai tidak layak karena tak kunjung disesuaikan selama 12 tahun terakhir.
Juru bicara Gerakan Solidaritas Hakim se-Indonesia, Fauzan Arrasyid mengemukakan bahwa saat ini aturan gaji pokok para hakim masih disamakan dengan aturan gaji pokok Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Menurutnya, hal tersebut akan berdampak pada penghasilan para hakim ketika masuk masa pensiun, karena ketika pensiun para hakim hanya akan menerima gaji pokok.
“Saat ini besaran gaji pokok memang jauh lebih kecil dibandingkan dengan tunjangan jabatan, ketika seorang hakim pensiun, dia penghasilan pensiunnya juga akan turun drastis, mengingat ketika pensiun hanya memperhitungkan gaji pokok dari Hakim yang bersangkutan,” tuturnya di Jakarta dalam siaran pres, dikutip Sabtu (28/9/2024).
Menurutnya, selain harus mengacu pada angka inflasi dan harga emas, penyesuaian gaji pokok dan tunjangan para hakim juga harus mempertimbangkan besaran insentif yang cukup. Hal tersebut menurutnya, bertujuan untuk menarik individu berkualitas agar berminat mendaftarkan diri menjadi hakim di masa depan.
Dia menjelaskan bahwa gaji pokok serta tunjangan para hakim tidak pernah ada penyesuaian sejak 12 tahun yang lalu, hal itu diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012. “Tanpa kesejahteraan yang memadai, para hakim bisa saja rentan terhadap praktik korupsi karena penghasilan mereka tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari,” ujarnya.