Kanal

Momentum Anies dan Jalan Panjang Membentuk Koalisi NasDem-Demokrat-PKS

Di pilpres nanti wapres bukan sekadar pelengkap penderita, tetapi merupakan variabel penentu. Salah salah memilih wapres bisa terjadi kiamat politik. Dan politik adalah momentum yang harus dijaga. Paling tidak awal tahun depan sudah ada nama wapres yang mendampingi Anies.

Usai sudah riuh rendah dan kemeriahan acara perpisahan Gubernur Anies Baswedan Minggu (16/10/2022). Pasca lengser sebagai Gubernur DKI Jakarta, hari hari Anies dipastikan akan penuh dengan manuver dan jalan jalan politik.  Minggu malam (16/10/2022) misalnya, Anies  langsung menghadiri resepsi pernikahan putri Ketua Majelis Syura PKS, Salim Segaf Aljufri. Yang menarik, dalam acara itu, Anies duduk satu meja dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Jusuf Kalla (JK), Ketum Partai NasDem Surya Paloh, dan Presiden PKS Ahmad Syaikhu. Ada pula Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

Kesibukan Anies bersafari pasca lengser ini adalah konsekuensi logis dari deklarasi Anies sebagai Capres oleh Partai NasDem. Dan semua orang di jagad raya Nusantara ini tahu, Anies dan NasDem tidak bisa maju sendiri dalam kontestasi Pilpres 2024 nanti. Ini harga mati. Perlu koalisi untuk menembus ambang batas parliementry treshold yang 20 persen itu.

Itu sebabnya, pasca deklarasi 5 Oktober lalu, arena pertempuran Anies dan NasDem bergeser ke dua hal penting. Pertama, pembentukan koalisi dan kedua, penentuan cawapres. Dua-duanya harus berjalan seiring dengan memanfaatkan momentum terbaik.

Di mata dosen ilmu politik Fisip UIN Jakarta Adi Prayitno, di Indonesia ada dua mazhab besar yang biasanya menjadi role model terbentuknya poros koalisi politik, yakni koalisi terbentuk di tikungan akhir jelang pemilu, dan koalisi yang dideklarasikan jauh jauh hari sebelum pemilu dilaksanakan. Nah akselerasi dan pergerakan politik belakangan ini menegaskan semua partai politik condong mengikuti mazhab yang kedua.

“Menjajaki kemungkinan koalisi sejak dini. Pertemuan antarelite partai politik nyaris tanpa jeda. Semua ini dilakukan karena pertarungan Pemilu 2024 lebih kompetitif. Tak ada petahana dan tak ada figur dominan yang elektabilitasnya menyentuh angka psikologis mengamankan kemenangan,” tulis Adi Prayitno, dalam Media Indonesia, Jumat 22 Juli 2022, silam.

Dalam konteks Anies dan NasDem, koalisi yang sudah terlihat di depan mata adalah kongsi dengan Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Hari hari belakangan ini, Anies dan ketiga partai ini intens berkomunikasi, serta menggelar pertemuan elit yang nyaris tanpa jeda. Sehari setelah deklarasi misalnya, Anies menyambangi markas Partai Demokrat dan diterima dengan tangan terbuka langsung oleh Sang Ketum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

Tapi apakah ini akan berjalan mulus? Nanti dulu. Wakil Ketua Umum DPP Partai Nasdem Ahmad Ali, menyebut pembentukan koalisi bersama Demokrat dan PKS tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sebab, kata dia, ketiga partai mesti memiliki kesamaan dan kemauan bersama, termasuk ihwal calon presiden dan calon wakil presiden yang bakal diusung untuk berlaga di Pemilu 2024.

NasDem dan calon mitra koalisinya memilih berhati-hati daripada terburu-buru dalam meresmikan koalisi. Sebab, persoalan teknis mesti dituntaskan di antara calon mitra agar tidak tercerai-berai di kemudian hari.

“Persoalan teknis, perdebatan syarat, itu harus dihindari, jangan sampai saling mengunci. Ketika tidak dibicarakan secara tuntas kemudian umumkan koalisi, nanti bisa bubar di jalan. Lebih bagus terlambat daripada terburu-buru tapi bercerai,” kata Ali Selasa (27/9/2022) lalu.

Ali menerangkan dinamika di antara tiga partai kala mengkerucutkan nama capres dan cawapres yang akan diusung. Partai Demokrat sebelumnya disebut-sebut menginginkan AHY untuk maju dalam Pemilu 2024. Nama Anies dan AHY mencuat sebagai pasangan yang didambakan oleh partai berlambang Bintang Mercy itu.

Menurut Ali, jika Partai Demokrat berkukuh mencalonan sang ketua umum, maka hal ini sulit untuk tidak didiskusikan. Ia mempertanyakan nasib NasDem dan PKS jika salah satu mitra koalisi mensyaratkan kadernya untuk maju dalam Pilpres 2024.

“Bukan hanya PKS, tapi NasDem gimana posisinya kalau ada satu partai yang mempersyaratkan kadernya? Di sisi lain kami ingin bangun koalisi yang punya pandangan sama bahwa parpol hanya satu wadah yang diberi negara untuk melakukan sirkulasi kepemimpinan,” kata dia.

Kendati begitu Ali menyebut, komunikasi dengan Demokrat dan PKS semakin maju dan membaik. Ia tak menampik jika peluang terbentuknya koalisi mencapai 80 persen. “Hari ini persamaannya 80 persen akibat sering ketemu. Tidak ada yang deadlock, sedang dibangun komunikasi. Jadi, untuk kesamaan pandangan dan lain-lain itu,” ujarnya.

Img 20221017 101232 - inilah.com
Anies Baswedan saat duduk bersama satu meja dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Jusuf Kalla (JK), Ketum Partai NasDem Surya Paloh, Presiden PKS Ahmad Syaikhu, dan Ketum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). (Foto: Instagram AHY)

Sikap Demokrat dan PKS

Partai Demokrat sendiri sepertinya tetap menjalankan politik kehati-hatian. Selain keinginan kuat mengusung AHY maju sebagai cawapres, Demokrat juga menetapkan lima kriteria calon capres dan cawapres yakni, integritas, kapabilitas, elektabilitas, chemistry capres dan cawpres, serta mengusung semangat perubahan.

Dari lima kriteria itu Kepala Bakomstra Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra Herzaky menggarisbawahi pentingnya elektabilitas. “Mengapa elektabilitas karena kami ingin menang. Jadi Demokrat akan bergabung dengan koalisi itu tentunya untuk menang. Begitu juga dengan Capres dan Cawapres. Jadi pilihannya yang terbaik yang memiliki kemungkinan besar untuk menang,” kata Herzaky dalam sebuah dialog yang ditayangkan CNN Indonesia TV.

Bukan hanya itu, selain wajib menang, yang juga harus dimatangkan oleh koalisi, adalah bagaimana rencana dan strategi pemenangannya, persoalan logistik, dan apakah pencalonan itu punya efek ekor jas terhadap partai.

PKS sendiri terus mengikuti dinamika politik yang terjadi. Mereka diam diam juga menyiapkan nama kader mereka untuk mendampingi Anies. Ketua Departemen Politik DPP PKS Nabil Ahmad Fauzi mengakui bahwa rencana koalisi partainya dengan NasDem dan Demokrat dalam tahap pembahasan cawapres.

“Jika akhirnya kami resmi mengusung Anies, tentu kami akan memperjuangkan figur kami untuk pendamping capres yang kami usung,” kata Nabil.

Nabil menyebut dalam berbagai kesempatan PKS telah menyodorkan sejumlah kader kepada NasDem dan Demokrat. Mereka antara lain mantan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, hingga mantan Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno.

Tarik menarik tentang siapa yang akan mendampingi Anies inilah yang membuat koalisi NasDem, Demokrat dan PKS belum bisa disepakati.

Momentum dan Wapres adalah Kunci

Sebetulnya sebagian publik sangat menginginkan, bahkan meng-endorse terbentuknya koalisi di luar poros poros yang selama ini sudah muncul. NasDem, PKS dan Demokrat punya suasana hati yang sama yaitu ingin perubahan dan melawan rezim yang tengah berkuasa. Mengganti rezim PDIP dan kawan kawan yang sudah bercokol dua periode. Dilihat dari berbagai sudut penjuru angin, tiga partai ini sangat cocok untuk berkoalisi.

Ganjalannya adalah kalau Demokrat bersikukuh mensyaratkan AHY sebagai Cawapres. Disini akan menjadi pelik. Padahal selain tiga nama yang diusung PKS tadi, ada pula nama Andika Perkasa dan Khofifah Indar Parawangsa yang juga potensial dan masuk radar untuk menjadi pendamping Anies.

Pertanyaannya seberapa pentingkah figur wapres di pilpres 2024 nanti ? Ya pastilah penting banget. Di pilpres nanti wapres bukan sekadar pelengkap penderita tetapi merupakan variabel penentu selain memberikan intonasi politik.

Hasil berbagai lembaga survei menunjukkan, belum ada figur yang dominan. Tidak ada sosok yang meraih kepercayaan publik di atas 80 persen, atau tingkat elektabilitas 70 persen untuk mengunci kemenangan.

Beda dengan cerita posisi SBY di Pilpres 2009 silam. Kala itu kepercayan publik terhadap SBY di atas 80 persen dan tingkat elektablitasnya  lebih dari 70 persen. Realitas politik ini belakangan memunculkan candaan politik, dipasangkan dengan sendal jepit saja SBY bisa menang. Sekarang jelas sangat berbeda. Salah salah memilih wapres bisa terjadi kiamat politik.

Akhirnya, politik adalah momentum yang harus dijaga. Paling tidak awal tahun depan sudah ada nama wapres yang mendampingi Anies. Semakin lama dibiarkan, maka potensi “masuk angin” akan kian terbuka. Pernikahan politik ini diupayakan segera terjadi.

“If a process or movement gains momentum, it keeps developing or happening more quickly and keeps becoming less likely to stop”. (Jika suatu proses atau gerakan mendapatkan momentum, dia akan terus berkembang atau akan bergulir lebih cepat, dan semakin kecil kemungkinannya untuk berhenti).

Wiguna Taher (Pemimpin Redaksi Inilah.com)

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button