Maraknya hoax di ruang digital menjadi perhatian serius Majelis Ulama Indonesia (MUI). Untuk menanggulangi dampak negatifnya, Komisi Dakwah MUI menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertema “Penanggulangan Hoax di Ruang Digital” di Jakarta.
Diskusi ini menghadirkan sejumlah pakar dan perwakilan instansi terkait untuk membahas solusi konkret dalam menangani penyebaran informasi palsu di dunia maya.
FGD ini menghadirkan KH. Cholil Nafis, (Ketua MUI), Ajeng Riska Rahmadhani (perwakilan dari Kementerian Komunikasi dan Digital/Komdigi), serta Dr. Ismail Fahmi (Infokom MUI) sebagai narasumber. Diskusi dipandu oleh KH. Ahmad Zubaidi, Ketua Komisi Dakwah MUI.
Hoax dan Dampaknya di Era Digital
Dalam paparannya, KH. Cholil Nafis menyoroti fenomena disrupsi digital yang menyebabkan perubahan besar dalam dunia informasi. Ia menyebut era ini sebagai electronic age, di mana arus informasi semakin cepat dan tidak terkendali.
“Media cetak semakin sulit bertahan, banyak yang gulung tikar. Sementara media berbasis digital berkembang pesat, tetapi di sisi lain justru memudahkan penyebaran hoax yang sulit dikendalikan,” kata KH. Cholil Nafis dalam keterangannya, Kamis (20/2).
Menurutnya, hoax yang terus-menerus dikonsumsi masyarakat dapat membentuk opini yang salah dan bahkan mengancam akidah serta hubungan sosial dalam bermuamalah. Oleh karena itu, diperlukan regulasi ketat serta literasi digital yang lebih luas bagi masyarakat.
MUI sendiri telah mengambil langkah untuk menanggulangi penyebaran hoax di media sosial dengan mengeluarkan fatwa tentang Fiqih Media Sosial dan mendorong dai-dai agar memahami cara berdakwah yang sesuai dengan perkembangan digital.
Komdigi Siapkan Regulasi untuk Media Sosial
Dalam sesi diskusi, Ajeng Riska Rahmadhani dari Komdigi mengungkapkan bahwa pemerintah sedang merampungkan Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pembatasan Media Sosial, yang kini dalam tahap harmonisasi dengan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
“Regulasi ini akan mengatur mekanisme pengawasan dan sanksi bagi platform digital yang tidak menindak penyebaran hoax. Harapannya, media sosial bisa menjadi ruang yang lebih aman dan informatif,” ujar Ajeng.
Menurutnya, Komdigi juga tengah menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk MUI, untuk meningkatkan literasi digital di kalangan masyarakat.
Hoax di Ruang Digital dan Peran Lembaga Keagamaan
Sementara itu, Dr. Ismail Fahmi dari Infokom MUI menambahkan bahwa hoax di media sosial tidak hanya bersifat politis, tetapi juga kerap menyerang isu-isu keagamaan dan sosial.
“Banyak berita bohong yang dibuat dengan tujuan provokasi, membelah masyarakat, bahkan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap institusi resmi,” kata Ismail Fahmi.
Ia menekankan bahwa hoax yang dibiarkan tanpa pengawasan dapat memperburuk situasi di masyarakat. Oleh karena itu, peran lembaga keagamaan seperti MUI menjadi penting untuk memberikan edukasi yang benar kepada umat.
Sinergi untuk Menangkal Hoax
FGD ini menegaskan bahwa penanggulangan hoax di ruang digital memerlukan sinergi antara pemerintah, organisasi masyarakat, dan pemuka agama. MUI berkomitmen untuk terus memberikan literasi digital kepada masyarakat, sementara Komdigi akan mengawal kebijakan yang dapat mempersempit ruang gerak hoax di media sosial.
“Hoax harus diperangi bersama, bukan hanya oleh pemerintah atau satu organisasi saja. Masyarakat juga harus lebih bijak dalam menyaring informasi sebelum menyebarkannya,” tutup KH. Cholil Nafis.