Muncul Gerakan Kotak Kosong di Pilkada Sukoharjo, KPU Sebut Terlalu Dini
Dinamika kontestasi Pilkada Sukoharjo semakin memanas pasca munculnya tagline 'Sukoharjo Rekoso' atau Relawan Kotak Kosong). Serta gerakan 'Masyarakat Sukoharjo Peduli Demokrasi' yang menggaungkan dukungan terhadap kotak kosong.
Gerakan tersebut selaras dengan perkembangan politik di Pilkada Sukoharjo yang berpotensi diikuti calon tunggal. Dengan kata lain, calon tunggal tersebut akan melawan kotak kosong.
Dikutip dari Inilahjateng.com, calon tunggal didukung 7 parpol pemilik 45 kursi di DPRD Sukoharjo. Di mana paslon tunggal itu adalah Etik Suryani dari PDIP dan Eko Sapto Purnomo dari Partai Gerindra.
Sedangkan bakal paslon perseorangan diwakili Tuntas Subagyo-Djayendra Dewa, masih menunggu hasil verifikasi faktual (verfak) KPU.
Adapun syarat Pilkada Sukoharjo, yakni peserta dari parpol atau gabungan parpol harus mengantongi minimal 9 kursi. Dengan seluruh parpol pemilik kursi DPRD Sukoharjo sepakat bergabung, maka hanya calon perseorangan yang kemungkinan menjadi lawan dengan catatan lolos verfak.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Sukoharjo, Syakbani Eko Raharjo, mengatakan, jika pilkada diikuti paslon tunggal, maka akan tersedia kolom foto paslon tunggal dan kolom kotak kosong tanpa foto di surat suara.
Menurutnya, memilih paslon tunggal maupun memilih kotak kosong sama-sama memiliki legitimasi. Syakbani mencontohkan, dalam Pilkada di Kabupaten Sragen 2020 lalu, paslon tunggal juga melawan kotak kosong.
“Itu (memilih paslon tunggal atau memilih kotak kosong) tetap sah,” kata Syakbani, Sabtu (10/8/2024).
Merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.100/2015, bahwa kolom kotak kosong merupakan fasilitas yang diberikan kepada para pemilik suara sehingga paslon tunggal tidak serta merta menang secara aklamasi.
Di sisi lain, memilih kolom kotak kosong, tidak dapat disamakan dengan golongan putih (golput) alias tidak memilih. Salah satu perbedaannya adalah kampanye. Mengampanyekan memilih kotak kosong tidak dapat dipidanakan atau dikategorikan sebagai pelanggaran pemilu.
Sementara, mengkampanyekan golput bisa dihukum berdasarkan Pasal 515 dalam Undang-Undang 7/2017 tentang Pemilihan Umum. Bahkan terancam pidana tiga tahun penjara serta denda Rp36 juta
“Kalau tujuannya (golput) itu untuk menggagalkan Pemilu dengan cara menghalang-halangi, menghasut, pasti nanti urusannya dengan bawaslu,” terang Syakbani.
Namun begitu, ia mengingatkan bahwa terlalu dini membicarakan paslon tunggal maupun kotak kosong. Hal tersebut lantaran saat ini semua tahapan Pilkada 2024 masih berproses. Dimana KPU sendiri masih melaksanakan tahapan verfak bakal paslon perseorangan.
“Proses pemilihan bupati dan wakil bupati Sukoharjo ini, kan kita belum tahu semuanya. Baik itu pencalonan yang dari parpol maupun gabungan parpol belum ada, dan pendaftarannya juga masih panjang waktunya,” tandas Syakbani.
Beri Komentar (menggunakan Facebook)