Kanal

Mungkinkah Terbangun Pasangan Airlangga-Anies, Vice Versa?

Manuver yang dilakukan Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang dengan sigap membangun Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) manakala partai-partai lain masih saling menunggu, mulai memberikan manfaat. Paling tidak, survei terbaru yang dilakukan lembaga survei LSI Denny JA menyatakan manuver tersebut telah mempromosikan Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto, yang tadinya berada di ‘divisi satu’ laga Pilpres, kini terkerek ke ‘divisi utama’ kompetisi tersebut.

Mengapa Airlangga yang —katakanlah— paling diuntungkan dari pembentukan KIB? Wajar saja, Airlangga adalah tokoh yang digadang-gadang Golkar —partai terbesar dalam koalisi tersebut. Selain itu, di antara Airlangga, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan dan Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa, elektabilitas Airlangga relatif lebih baik daripada Zulhas dan Suharso.

Yang menarik untuk dibicarakan, dengan siapakah baiknya KIB memasangkan Airlangga pada Pilpres 2024? Ada beberapa nama dengan elektabilitas yang relative baik namun masih terkendala banyak hal. Mereka adalah Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, serta Ridwan Kamil, sebagai contoh di antara beberapa nama yang mencuat di hampir setiap survei pendapat publik.

KIB bisa saja menggaet Ganjar, sebagaimana menjadi kecurigaan satu dua kalangan di awal-awal pembentukannya. Tetapi bila KIB melakukan hal itu, koalisi itu tidak hanya membenarkan dugaan orang yang mungkin saja sejatinya tak pernah dipikirkan para tokoh KIB sebelumnya. Bila KIB menggaet Ganjar, hal itu otomatis akan menjustifikasi kecurigaan sementara publik bahwa koalisi itu dibentuk untuk mengakomodasi kepentingan Presiden Jokowi di masa datang. Dan tentu saja, yang terjadi tidaklah demikian.

Benar, bahwa dianggap seperti itu tidak sepenuhnya merugikan KIB. Kalau urusannya hanya sikap pragmatis —atau bahkan mungkin sebagian orang akan mengatakannya oportunis— dianggap menjadi proxy kepentingan Jokowi di masa datang artinya menjadi penampung suara masyarakat pemilih Jokowi saat ini. Dan bisa jadi, jumlahnya cukup signifikan. Bisa jadi, suara kalangan ini yang akan digaet dalam Pilpres pun lumayan.

Tetapi, menjadi proxy kepentingan Jokowi bagi sebagian kalangan lain pun bisa kongruen alias sama dan sebangun dengan menjadi proxy kepentingan oligarki. Dan karena dalam wacana politik Indonesia oligarki masih kental bermakna peyoratif alias cenderung negatif, maka selain keuntungan, yang akan ditangguk KIB pun tentu serenceng kerugian.

Hal lain berkenaan dengan proporsi KIB sendiri. Golkar bagaimanapun adalah partai yang mencitrakan diri dalam wajah nasionalis. PPP dan PAN, meski ingin, tak bisa memakai wajah tersebut. Keduanya lebih cenderung dianggap dan ditaksonomi sebagai ‘partai Islam’. Entah sebagai orang pertama atau kedua, Airlangga kuat kemungkinan akan dicalonkan KIB dalam pasangan capres mendatang.

Bila yang diambil adalah Ganjar, itu artinya komposisi pasangan capres-cawapres KIB adalah nasionalis-nasionalis. Lalu, di mana sisi keadilan bagi kedua partai lain, di satu sisi, serta peluang untuk meraih pemilih umat Islam, yang tentu saja tak bisa dinafikan?

Belum lagi KIB pun punya pekerjaan rumah mereka sendiri untuk mengelak dari tudingan bahwa koalisi itu semata proxy kepentingan Jokowi tadi. Dan itu, sejatinya sudah mulai digerakkan elit KIB.

Misalnya, selain meminta elit ketiga partai terus bekerja sama hingga tingkat akar rumput, Airlangga juga telah mengeluarkan pernyataan tegas bahwa KIB bukanlah sekadar sekoci bagi kandidat tertentu. Sukar untuk mencari kemungkinan lain, seiring tudingan yang bergaung kemarin-kemarin, bahwa pernyataan itu bukan menepis isu dibentuknya KIB hanya untuk menampung Ganjar. Artinya, Airlangga sendiri gerah dengan tudingan itu dan berusaha menolaknya.

Dalam hal ini, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, sepakat bahwa pernyataan Airlangga yang menginstruksikan agar kadernya bisa menepis dugaan tersebut, memang ditujukan kepada Ganjar.

“Saya kira KIB ingin menepis dugaan-dugaan bahwa KIB hanya sekadar sekoci untuk Ganjar Pranowo, misalnya. Jadi tidak mengherankan kalau kemudian KIB ingin terus melakukan konsolidasi di antara tiga partai anggotanya, dari pusat hingga daerah,” kata Adi.

Ridwan Kamil (RK) mungkin bisa dipaksakan sebagai tokoh yang mewakili kalangan Islam. Tetapi, selain kesan pemaksaan itu akan menguar di publik, yang jelas elektabilitasnya pun tak akan banyak membantu KIB memenangkan pasangan jagoan mereka, andai RK yang dipasangkan dengan Airlangga.

Peluang paling mungkin dan pas, adalah dengan Anies Baswedan. Anies adalah kalangan nasionalis yang —entah mengapa— dianggap publik mewakili pula citra sebagai wakil kelompok Islam di masyarakat. Selain itu, elektabilitas Anies yang selalu tinggi di setiap survei mana pun, membuatnya bisa membantu perolehan suara KIB dalam Pilpres.

Dengan menarik Anies, KIB pun punya peluang besar menarik tak hanya sekadar gerbong, melainkan lokomotif suara lainnya: suara pemilih Partai Nasdem, PKS, bahkan mungkin saja Partai Demokrat.

Sejauh ini, ketiga partai, yakni Nasdem, PKS, dan Demokrat, selain memiliki kesamaan visi yakni adanya hasrat menantang dominasi PDIP, juga memiliki kesamaan preferensi calon presiden pada sosok Anies Baswedan. Itu saja sudah cukup untuk menyatukan ketiga partai menjadi satu ikatan persatuan, minimal dalam urusan Pilpres.

Mengapa, karena bila saja prediksi LSI Denny JA soal hanya akan ada tiga poros dalam Pilpres mendatamg itu terjadi, lebih kecil peluang Demokrat akan merapat ke Poros PDIP, berdasarkan sejarah perseteruan Megawati-SBY selama ini. Peluang Demokrat merapat ke Poros Gerindra yang mengusung Prabowo pun tidak akan lebih besar dibanding peluang merapat ke KIB, manakala KIB telah menggandeng Anies.

Satu hal lain, tak mungkin pula Demokrat memilih sendirian, untuk menggenapkan kurun 15 tahun di era ‘kesunyian di luar kekuasaan’.

Harapan itu secara tak langsung dinyatakan Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra. “Kami ingin menang, ingin mengusung capres dan cawapres yang punya potensi terbesar dipilih oleh publik,” ujar dia, beberapa waktu lalu. Pernyataan yang secara implisit menegaskan bahwa Demokrat pun sudah mulai bosan berada di pinggiran, di luar kekuasaan.

Bagaimana posisi antara Airlangga dan Anies dalam paket tersebut, tentu koalisi yang sudah ditambahi anggota lain itu yang akan berunding dan memutuskan. Akan alot, tentu saja. Tetapi kehendak untuk berkuasa alias ‘der wille zur macht’ sebagaimana dikatakan Nietzsche di berbagai bukunya, terutama ‘Also Sprach Zarathustra’, akan membuat semua pihak di setiap elemen koalisi itu berpikir rasional. Keinginan mereka untuk menang, akan mengalahkan ego-ego pribadi yang masih jadi kerikil penghalang di antara mereka.

Anies punya elektabilitas lebih tinggi, sementara Airlangga dan dua petinggi partai di KIB punya mesin partai yang terbukti efektif. Anies lebih muda, punya peluang lebih lama berkuasa.

Untuk menang, mereka bisa mencari isu-isu populis plus mengangkat isu kepentingan kalangan umat Islam yang masih belum ditarik dari nasib sebagai pinggiran. Bukan tak mungkin, isu itu bisa menarik pemilih wong cilik, yang selama ini senantiasa menjadi klaim PDIP.

Tetapi, tentu saja bilamana formasi itu terbentuk, Airlangga sudah tak bisa lagi bicara soal komitmen untuk meneruskan seluruh kebijakan Presiden Jokowi, terutama yang masih menjadi perdebatan seingit di masyarakat. Soal Ibu Kota Negara (IKN), misalnya. Selain isu ini tidak popular di kalangan milenial, terbukti dengan munculnya petisi penolakan pemindahan Ibu Kota Negara di laman Change.or yang awal tahun ini didukung 24.000 responden hanya sepekan setelah dibuat, kondisi ekonomi pun tampaknya tidak berpihak kepada niat tersebut. Bukankah akan kurang elok untuk terus mengampanyekan pembangunan IKN, sementara keuangan negara tengah kedodoran dan rakyat pun tergencet aneka pajak?

Darmawan Sepriyossa

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button