Kanal

Nasib Airlangga Hartarto Setelah KIB Jadi ‘Masa Lalu’

Oleh   :  Darmawan Sepriyossa

Jika sampai hari ini Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), yang terdiri dari Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) belum juga menyatakan secara resmi siapa pasangan calon presiden dan calon wakil presiden mereka untuk Pilpres 2024, hal itu sepenuhnya bisa dimengerti. Tetapi kita pun bisa memahami ketidaksabaran warga masing-masing partai tersebut—terutama PAN dan PPP–seiring kian gemuruhnya warga partai politik lain mengelu-elukan jagoan mereka.

Dalam konteks ketidaksabaran yang mungkin tak terlampau renggang dari kesal itu, kita bisa memahami pernyataan bekas Ketua Umum PPP, Romahurmuziy, sekitar sepekan lalu. Saat itu Romy mengatakan hal yang kontan membuat telinga semua elit KIB memerah: KIB sangat potensial bubar.

Saya sendiri tidak yakin KIB akan bubar. Setidaknya, KIB tampaknya tidak akan pernah dinyatakan bubar secara resmi, apalagi sebelum Pilpres 2024 berlangsung. Hanya, saya tidak yakin KIB akan bisa bekerja optimal, baik untuk kepentingan bersama ketiga anggotanya, atau bagi masing-masing parpol tersebut.

Dari sisi kemampuan dan daya, sejak lahir KIB tak bisa dipandang sebelah mata. Dengan kepemilikan 23,67 persen suara di DPR RI (12,31 persen dari Partai Golkar; 6,84 persen PAN dan 4,52 PPP), KIB sudah lebih dari cukup untuk mengusung pasangan mereka sendiri untuk maju ke Pilpres 2024. Bukankah dengan 19,33 persen saja PDIP sudah terkesan tak mau dicolek parpol lain untuk membentuk koalisi?

Namun benar kata Romy, buat apa maju ke Pilpres hanya untuk menerima kekalahan? Di sisi inilah kelemahan KIB, yang membuat koalisi itu belum juga bisa menegaskan siapa pasangan calon mereka. Mereka tak punya calon internal dengan elektabilitas yang meyakinkan.

Di sisi kohesivitas—ataukah adhesi karena berbeda parpol?–, koalisi itu tak bisa dikatakan tidak solid. Tidak hanya sekian banyak pertemuan di antara mereka telah digelar dengan meriah, hangat, kompak dan mesra. Manakala Romy ikut nimbrung dengan melontarkan pernyataan soal potensi bubarnya KIB pun kita lihat semua elit dari ketiga partai politik anggotanya segera gegap gempita merespons . Laman media massa dan media sosial kontan ingar-bingar.

Tapi manakala mereka kembali berpikir soal pasangan calon, ketiga parpol dalam KIB seluruhnya bingung. PAN dan PPP sadar dengan suara mereka yang tidak signifikan, karena itu tak mungkin minta jatah orang pertama. Tetapi dengan suara Airlangga yang tak pernah nyaring di semua survey, kedua parpol itu seharusnya cenderung untuk meminta Partai Golkar mundur setapak. Biarlah posisi orang pertama dalam pasangan capres-cawapres diberikan kepada balon-balon yang memiliki suara elektabilitas tinggi di rata-rata survey.

Dari sisi inilah kita bisa memaklumi upaya Zulkifli Hasan (Zulhas) yang selama ini cenderung dilihat sebagai manuver politiknya, alih-alih menguatkan KIB. Apa yang dilakukan Zulhas sejatinya tak lain untuk membuka lorong-lorong baru yang akan mencegah KIB menemui jalan buntu dan mengalami kondisi terparah: bubar. Apalagi membubarkan diri jelas menyia-nyiakan potensi besar koalisi yang telah sah memiliki hak mengajukan calon sendiri pada Pilpres 2024 itu.

Tersandera Munas

Ada pula kelemahan KIB yang lain, yakni di sisi Golkar, parpol pemilik suara terbesar di koalisi tersebut. Partai itu terlampau ngotot menjadikan Airlangga sebagai calon presiden mereka. Alasannya, elit Partai Golkar selalu bilang bahwa Munas 2019 mengamanatkan agar Airlangga menjadi calon presiden. Itulah yang selalu diuar-uar para elit Golkar, bahkan sejak awal-awal terbentuknya KIB.

Sementara kita tahu, di sekian banyak survey pun suara Airlangga tak pernah nyaring bunyinya. Ia tidak pernah masuk ke dalam tiga besar calon presiden dengan elektabilitas tinggi. Alhasil, mandat Munas yang seharusnya memberi jalan lapang, justru saat ini telah membuat partai berlambang pohon beringin itu seperti tersandera. Sayangnya, justru itu yang dimainkan sementara kalangan elit Golkar saat ini.

Saya kira Airlangga sendiri sejak lama menyadari hal itu, dan akan dengan legowo menyerahkan posisi orang pertama tersebut demi kepentingan partai yang lebih besar.   Persoalannya, tampaknya hingga kini ia masih membiarkan suara-suara para die harder pro Munas bergaung keras. Pada beberapa sisi, hal itu berpotensi mempersulit Golkar dan Airlangga sendiri.

Misalnya, pernyataan Juru Bicara Partai Golkar, Tantowi Yahya. Ditanya soal pasangan capres-cawapres KIB beberapa waktu lalu, Tantowi menjawab panjang. “KIB ini kan ada tiga partai. Golkar sudah jelas akan mengusung Airlangga Hartarto sesuai dengan mandat Munas Golkar,” kata Tantowi, seperti dimuat Republika.co.id, Rabu (8/3) lalu. “Calon Golkar tetap Airlangga Hartarto. Itu keputusan Munas yang harus dipatuhi. Untuk mengubahnya diperlukan keputusan baru yang diambil pada forum setingkat. Itulah tertib organisasi, tertib berpartai,” kata Tantowi.

Jika yang dimaksud Tantowi sebagai “forum setingkat” itu adalah Munas, sejatinya hal itu riskan buat Airlangga. Siapa dapat menjamin bahwa Munas tersebut bisa di-setting dengan baik untuk kepentingan kepengurusan Partai Golkar saat ini? Siapa bisa memberi garansi itu hanya akan membicarakan pasangan capres-cawapres 2024, dan bukan malah mengarah kepada Munaslub yang tak menutup kemungkinan memilih ketua umum baru?

Artinya, elit Golkar tidaklah bijak terus menggaungkan mandat Munas 2019, terutama soal keharusan untuk menjadikan Airlangga calon presiden yang mereka usung resmi. Golkar bisa saja mengambil bentuk musyawarah lain dengan pembicaraan pokok menyoal pasangan calon mereka serta mencari alternatif langkah untuk memenangkan Pilpres 2024.

Alternatif jalan keluar

Saya kira Partai Golkar harus realistis. Ngotot menjual Airlangga sebagai calon presiden, sementara waktu Pilpres kurang dari setahun lagi, adalah pekerjaan ekstra berat. Lain halnya untuk mengusungnya sebagai cawapres. Jika kita jujur, bukankah kebesaran nama Airlangga selama ini senantiasa berhubungan dengan hal-hal teknis?

Airlangga sukses sebagai salah satu pimpinan dalam penanganan COVID-19 dan perekonomian Indonesia selama pandemic. Sebagai menko perekonomian, prestasinya pun cukup bagus, kalau kita tak hendak menyatakan cukup moncer.

Artinya, kapabilitas Airlangga untuk menjadi wakil presiden yang mumpuni telah terbukti. Tinggal, siapa yang layak digadang-gadang Golkar, atau saat ini KIB,  sebagai capres?

Ada kelebihan yang miliki KIB dengan proporsi mereka yang beranggotakan Golkar, PPP dan PAN. Dengan Golkar sebagai partai yang mendaku rumah kaum nasionalis-relijius, serta PAN-PPP yang kerap dianggap partai Islam,   koalisi itu bisa adaptif untuk memasuki koalisi mana pun yang telah ada. KIB bisa bergabung dengan Koalisi Perubahan, dengan Koalisi Gerindra-PKB, atau bahkan merapat ke PDIP.

Opsi terakhir, dalam bayangan saya, paling kecil kemungkinan terjadi dibanding dua opsi sebelumnya. Meski senantiasa disebut “ber-DNA pemenang”, chemistry Golkar-PDIP selalu terkesan sangat kurang, bahkan dibandingkan manakala Golkar harus bergabung dengan Koalisi Perubahan yang sangat mungkin akan dimasuki unsur-unsur “sayap kanan” (istilah yang dipakai hanya untuk memudahkan ‘taksonomi’—redaksi).

Tinggal bagaimana Golkar membincangkan opsi-opsi tersebut dengan PAN dan PPP. Boleh jadi, dengan kian kuatnya kemungkinan PDIP untuk mengusung Puan, dengan siapa pun ia dipasangkan kecuali Ganjar, KIB sangat mungkin untuk menarik Ganjar sebagai calon. Pada posisi apa? Nah, kalau itu yang terjadi, saya sendiri melihat call Ganjar ketinggian bila meminta posisi pertama.  Jadi, baru manakala ada Ganjar dalam pasangan yang mereka ajukan, baik Golkar, PAN maupun PPP berada pada posisi paling memenuhi kehendak mereka. Golkar bisa mengedepankan Airlangga sebagai capres, sementara Hasrat PAN dan PPP mengusung Ganjar pun terlaksana.

Mungkinkah KIB ikut Koalisi Perubahan? “Tak ada yang mudah,”kata Napoleoan Bonaparte, dalam “Buku Saku Pramuka” para Penggalang era Orba. “Tapi tidak ada yang tidak mungkin.”

Hanya saja, itu bisa jadi bahasan kita selanjutnya. [ ]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button