Nasib Guru Honorer Madrasah, Pahlawan Pendidikan di Kasta Terendah


Madrasah kini menjadi pilihan utama masyarakat untuk menyekolahkan anak-anak mereka di berbagai daerah. Namun, di balik popularitasnya, ada ironi yang menyedihkan: kesejahteraan guru honorer di madrasah justru berada di tingkat paling rendah dibandingkan dengan guru di sekolah umum.

Menurut data terbaru, rata-rata gaji guru honorer madrasah di Indonesia bahkan jauh di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP). Misalnya, guru honorer Madrasah Ibtidaiyah (MI) hanya menerima Rp780 ribu per bulan, sedangkan Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) masing-masing Rp785 ribu dan Rp984 ribu. Bahkan di beberapa daerah, guru honorer madrasah hanya dibayar Rp500 ribu atau kurang setiap bulannya.

Desakan Perhatian untuk Guru Madrasah

Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid (HNW), mengkritik minimnya perhatian pemerintah terhadap guru madrasah. Ia menyebut guru madrasah sebagai tulang punggung pendidikan agama yang sering kali terabaikan.

“Menteri berganti, kebijakan berubah, tapi guru madrasah masih menanti sertifikasi dan kesejahteraan yang tak kunjung membaik. Pemerintah harus segera memperkuat keberpihakan kepada guru madrasah,” ujar HNW saat bertemu dengan Wadah Silaturahmi Madrasah Tsanawiyah Swasta (Wasilah) di Jakarta, Kamis (28/11).

Pantas saja HNW mengucap hal tersebut, berdasarkan data dari Kementerian Agama menunjukkan bahwa dari 981.296 guru madrasah, hanya 24,4 persen yang telah tersertifikasi. Artinya, lebih dari 741.000 guru belum mendapat sertifikasi yang diperlukan untuk meningkatkan pendapatan mereka.

Krisis Kesejahteraan Guru Honorer

Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS) mencatat bahwa madrasah menjadi institusi pendidikan dengan rata-rata gaji guru honorer terendah di Indonesia. Angka ini jauh dibandingkan dengan guru honorer di sekolah umum, di mana rata-rata gaji di tingkat SD mencapai Rp1,2 juta dan tingkat SMA Rp2,7 juta.

“Ini menunjukkan bahwa guru madrasah berada di kasta terendah dalam sistem pendidikan kita. Padahal mereka memiliki tugas yang sama beratnya dengan guru sekolah umum,” ungkap Agung Pardini, Direktur Advokasi Kebijakan IDEAS.

Ubaid Matraji, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), menyebut guru madrasah sebagai “anak tiri” dalam sistem pendidikan nasional. 

“Guru madrasah sering kali diperlakukan seperti kelompok pinggiran dalam tata kelola kebijakan pendidikan. Padahal amanat UU Guru dan Dosen seharusnya berlaku untuk semua guru,” tegasnya.

Tantangan Sertifikasi dan Antrian Panjang PPG

Selain rendahnya kesejahteraan, guru madrasah juga menghadapi tantangan besar dalam memperoleh sertifikasi pendidik. Dari total 484.737 guru madrasah yang belum tersertifikasi, mayoritas adalah guru non-ASN yang tidak memiliki akses memadai untuk mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG).

JPPI memperkirakan, dengan kuota PPG untuk guru madrasah yang hanya 9.000 orang per tahun, waktu tunggu untuk sertifikasi bisa mencapai 53 tahun. “Antrian ini bahkan lebih lama dibandingkan antrian haji,” sindir Ubaid.

Solusi untuk Kesejahteraan Guru Madrasah

IDEAS merekomendasikan langkah-langkah untuk memperbaiki kondisi guru madrasah, termasuk mengadopsi kebijakan seperti di DKI Jakarta yang mengangkat guru honorer menjadi Guru Kontrak Kerja Individu (KKI). Kebijakan ini memberikan status kerja yang lebih jelas dan penghasilan yang lebih layak.

“Intervensi langsung dari pemerintah pusat dan daerah diperlukan. Jangan hanya bergantung pada Dana BOS, karena alokasi ini tidak cukup untuk meningkatkan kesejahteraan guru secara signifikan,” kata Agung Pardini.

Sebagai penutup, Ubaid mengingatkan bahwa tanpa perubahan kebijakan yang mendasar, guru madrasah akan tetap berada di bawah bayang-bayang ketidakadilan. “Jika tidak ada perubahan, kebijakan pemerintah seperti tambahan gaji Rp2 juta hanya akan dinikmati segelintir guru yang sudah tersertifikasi. Guru non-ASN dan belum tersertifikasi akan terus terpinggirkan,” pungkasnya.