Kanal

Nasib PPP Pada Pileg 2024: Rumah Tua yang Ditinggalkan Penghuni

Tanpa harus terpaku pada figur-figur lama seperti Mardiono yang kini berada di puncak, PPP punya banyak nama-nama lebih muda. Tentu bukan Romahurmuziy yang terbukti sempat lancung dan dicokok KPK dan tampaknya berusaha come back ke pentas politik. PPP punya Khofifah Indar Parawansa, yang kini –anggap saja tengah dipinjamkan memperkuat skuad PKB. Atau ada pula Wakil Ketua Umum PPP versi Muktamar Jakarta 2014 Habil Marati, hingga kader yang bintangnya kian bersinar, putra Kiai ternama Purworejo KH. Thoifur, Arwani Thomafi. Tentu saja, asalkan, kata Ali Pasha, mereka bisa kembali membawa kebersamaan yang menjadi watak asli PPP.

Kurang dari dua tahun menuju Pemilu Legislatif (Pileg), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), malah memulai langkah dengan bertikai di dalam. Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa, yang memimpin partai berlambang Kakbah itu sejak 2019, dilengserkan tiga elite Mahkamah Partai melalui Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) di Serang, Provinsi Banten, Senin (5/9/2022) lalu. Muhammad Mardiono, pengusaha yang juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), naik menjadi pelaksana tugas alias PLT ketua umum PPP.

Suharso bukan tidak melawan. Sehari setelah ‘kudeta’, pada acara workshop Bimtek DPRD PPP se-Indonesia, di Hotel Red Top Pecenongan, Jakarta, Selasa (6/9) Suharso menolak hasul Mukernas Banten dan menegaskan dirinya masih menjadi ketua umum PPP. “Saya adalah ketua umum Partai Persatuan Pembangunan. Apa yang telah dikembangkan adalah tidak benar,” ujar Suharso. Selain meminta pihak Mukernas PPP tidak membawa-bawa nama Presiden Jokowi dan lembaga negara mana pun untuk melengserkan dirinya, Suharso menyebut bahwa Mukernas PPP yang mencopot dirinya tidak sah dan melanggar AD/ART partai.

Penolakan yang lebih rinci disampaikan Ketua DPP PPP, Syaifullah Tamliha. Menurut Syaifullah, hasil Mukernas batal karena tidak sesuai dengan ketentuan AD/ART partai. “Membatalkan rapat pengurus harian yang dikelola Pak Arsul Sani dan Pak Mardiono karena tidak sesuai dengan aturan partai. Kan rapat itu harusnya setidak-tidaknya ditandatangani oleh sekjen,”kata Tamliha, Kamis (7/9).

Dalam AD/ART partai, kata dia, untuk forum pengambilan keputusan penting, maka harus ada tanda tangan dari ketua umum dan sekjen partai. Sementara, untuk Mukernas tersebut tidak ada undangan sebagaimana yang ditandatangani ketum dan sekjen. “Karena itu tidak sah dan ilegal maka semua hasilnya pun tidak sah,” ujarnya.

Suharso juga mengatakan, berdasarkan laporan yang didapatnya, Mukernas lalu tidak mendapatkan STTB dari Polri. Karena Mukernas tingkatannya nasional maka harusnya yang mengeluarkan STTB adalah Mabes Polri. “Kami juga laporkan ke Kapolri, tidak benar (ada Mukernas). Kami sedang tidak melakukan Mukernas. Itu penting,”kata Suharso, saat itu.

Ia juga mengaku sudah melaporkan Mukernas tersebut kepada Menteri Hukum dan HAM, Yasosna H Laoly, dan menurut dia, Menteri Hukum dan HAM memahami hal itu. “Pada saatnya, nanti kami akan melayangkan surat banyak sekali ke Kepolisian RI, Kemenkumham, semua dalam rangka meletakkan kembali,”ujar Suharso.

Klaim Suharso juga dikuatkan para pengamat. Pengamat politik dari Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah dan praktisi hukum, Pitra Romadoni Nasution, misalnya. “Etika berpolitiknya sudah keliru. Bahkan bisa disebut sebagai sabotase, manuver ataupun kudeta. Alasan yang digunakan juga tidak baik dan sama saja tidak menghormati hak Suharso,”kata Dedi Kurnia Syah.

Menurut Dedi, tidak ada bukti atau alasan kuat untuk menggantikan Suharso. Kalau alasannya hanya soal kegaduhan, ketua umum terdahulu menurut dia juga demikian, tetapi faktanya mereka tidak sampai dibuat seperti ini. “Kecuali Suharso terbukti kriminal, maka bisa diambil tindakan seperti pemecatan,”kata dia. Lebih jauh, dia juga menanggapi opini yang dikembangkan bahwa Mardiono mendapatkan restu dari Presiden Jokowi.

“Jangan mengklaim. Kalau pun ada, itu ungkapan ormative dari Presiden karena posisi dia (Mardiono) sebagai orang dekat, lingkaran Istana, biasa saja. Jangan diartikan berlebihan sebagai dukungan yang membenarkan adanya pergantian ketua umum PPP tanpa alasan yang kuat dan benar,” kata di.

Dedi bahkan mengatakan, seharusnya bahkan Suharso dinilai berhasil, karena punya kontribusi dan andil besar dalam memimpin PPP. Contohnya saja, kata Dedi, dia mendapatkan porsi yang tinggi atau posisi yang baik di pemerintahan sebagai menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Pembangunan Perencanaan Nasional (Bappenas). “Posisi ini tidak mudah didapat, untuk itu harus dihormati,”kata Dedi.

Sementara Pitra Romadoni Nasution mengatakan, dengan tidak dihadiri ketua, sekretaris dan bendahara, sebagaimana layaknya organisasi, Mukernas hasil yang mendongkel Suharso tidak sah. Semua persoalan yang terjadi di organisasi, kata Pitra,  harus mengacu pada AD ART. “Jika ada yang bertentangan dengan AD ART maka hasil keputusannya  ilegal alias tidak sah secara hukum,”kata dia. Pitra menegaskan, pergantian ketua umum PPP juga harus jelas, apa salahnya hingga diganti.

Menjawab pertanyaan Inilah.com tentang kemungkinan pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM bersikap memilih kepengurusan baru hasil Mukernas Serang, menurut Pitra hal tersebut mungkin saja. Namun, kata dia, ditinjau dari perspektif legal-formal, kekhawatiran tersebut di atas agak berlebihan. “Kewenangan atributif Menkumham untuk mengesahkan perubahan kepengurusan parpol itu hanya dapat dilakukan dalam keadaan normal atau tidak terdapat konflik,”kata dia.

Alih-alih menyoal izin Mukernas dari polisi, Pitra malah lebih mempermasalahkan keputusann pergantian Suharso Monoarfa yang menurutnya terkesan mengandung hostile take over. “Jadi harus menyampaikan atas dasar apa mereka ganti ketumnya? Apakah ada kesalahan dan sudah dilakukan pemeriksaan oleh Mahkamah Partai? Sebab menurut UU No. 2 tahun 2011, Mahkamah Partai itu adalah organ partai untuk menyelesaikan tiap sengketa,”kata Pitra.

Tetapi tampaknya, baik curhat Suharso kepada koleganya di kabinet, Yassona, maupun pendapat hukum kedua pengamat tersebut, sama sekali tidak ampuh. Hanya berbilang hari, pada Jumat (9/9) Kementerian Hukum dan HAM sudah mengambil pilihan. Melalui Keputusan Menteri Hukum dan HAM no M.HH-26.AH.11.02 tahun 2022, pemerintah PPP dengan ketua baru hasil Mukernas Serang, Mardiono.

Nasib PPP di Pemilu 2024

Boleh dikatakan, Suharso kini harus bersiap untuk terkucil, ditinggalkan kawan-kawan separtainya sendirian. Bagaimanapun, turunnya keputusan pemerintah seiring kian ketatnya tenggat waktu untuk membenahi partai menyongsong Pemilu 2024, membuat posisi Suharso terpojok. Apalagi, bila Waketum PPP, Arsul Sani benar bahwa   dalam permohonan perubahan kepengurusan ke Kementerian Hukum dan HAM pun tidak ada perubahan susunan pengurus, kecuali posisi ketua umum dari Suharso menjadi Muhammad Mardiono sebagai pelaksana tugas ketua umum. Itu membuat perlawanan Suharso praktis hanya akan dianggap untuk kepentingan dirinya sendiri.

“Jadi tidak benar kalau disimpulkan terjadi pertarungan antara kubu Suharso dengan kubu Mardiono. Karena semua orangnya Pak Suharso tetap dalam posisinya masing-masing,”kata Arsul, menjawab pertanyaan wartawan.  Kemungkinan lain, daftar calon legislatif pun tak akan banyak dikotak-katik kepemimpinan baru karena hanya akan memantik persoalan. Sangat boleh jadi, daftar calon tetap yang akan keluar April 2023 nanti pun tak akan berubah dari yang sudah ditetapkan DPP saat ini.

Barangkali benar kata Arsul, ini hanya urusan pragmatis partai menyongsong Pemilu, yang tampaknya di mata elit politik akan buram di bawah kepemimpinan Suharso. “Ini urusannya agar PPP tetap eksis dalam pemilu 2024, kenapa mesti khawatir?” ujar Arsul kepada wartawan, Rabu (7/9) lalu.

Mungkinkah sisi pragmatis itu lebih ‘membumi’ lagi, semata urusan ‘pitih’? Paling tidak,  berdasarkan data laman Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dalam elhkpn.kpk.go.id, harta Mardiono mencapai Rp1.270.833.511.147 alias Rp1,27 triliun. Sementara  kekayaan Suharso yang didongkel, dalam LHKPN yang dilaporkannya ke KPK, hanya mencatatkan kekayaan sebesar  Rp99.966.251.075. Dengan total utang sekitar Rp Rp26,9 miliar, total hartanya menjadi Rp73,06 miliar.

“Bisa jadi, dalam banyak faktor di konteks Pemilu 2024, finansial memang menjadi penting,” kata Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR), Ujang Komarudin. Menurut Ujang, tanpa kekuatan finansial yang besar, kekhawatir PPP tergelincir dan tidak lolos ke Senayan, adalah hal yang wajar.

Tetapi pengalaman PPP dalam soal berhadapan dengan tenggat Pemilu yang mendekat, memang bukan hal baru. Asal tahu saja, pada saat Suharso dikukuhkan menggantikan Romahurmuziy pada 2019 lalu, Pemilu 2019 yang digelar 17 April itu hanya tinggal menghitung hari, tidak sampai satu bulan kemudian. Jadi, manakala PPP lolos ambang batas parlemen dengan persentase suara 4,52 persen itu, Suharso sejatinya telah berhasil meloloskan PPP dari jurang kepariaan; terlempar dari DPR. Dan memang, hanya itu harapan warga PPP saat itu, sebagaimana antara lain yang terungkap dari pernyataan tertulis Ketua Dewan Pimpinan Cabang PPP Kota Bandung, Zaini Shofari, yang beredar di antara wartawan saat itu. “Pengukuhan Pak Suharso ini menjadi ruh dan marwah PPP dalam mengelola kekuatan menjadi energi positif,” kata Zaini, melalui pernyataan tertulisnya saat itu.

Mampukah Mardiono, dengan dana (pribadi) yang lebih besar, kembali membangkitkan PPP melalui Pemilu 2024? Tentu saja, yang terbaik adalah menunggu hasil Pileg.

Namun tentu saja bukan pula tak bisa diprediksi. Sebelum konflik memuncak dan mendongkel Suharso, hasil penelitian SMRC memberi kabar buruk buat PPP. Elektabilitas PPP hanya tinggal 2,7 persen. Mengacu hasil survei tersebut, PPP dipastikan tidak memenuhi parliamentary threshold. Ia akan menjadi partai paria, dan untuk pertama kalinya akan absen, berada di luar Gedung parlemen sejak Pemilu 1977.

Apalagi setelah terjadinya konflik, meski dibantah dengan alasan apapun dari dalam. Analis kepemiluan Universitas Indonesia, Titi Anggraini, yakin bahwa  kisruh internal parpol bisa berpengaruh buruk terhadap reputasi partai politik di mata publik. “Keterbelahan partai bisa membuat masyarakat memiliki stigma bahkan antipati terhadap partai tersebut. Partai dianggap tidak mampu menjanjikan penjaringan aspirasi yang baik, atau perwakilan yang bisa optimal mewadahi aspirasi mereka,” ujar  Titi.  Hal tersebut tentu bisa berpengaruh terhadap kepercayaan publik dan animo untuk memilih partai tersebut.

Sebagai parpol yang secara resmi berasaskan Islam, ceruk pemilih PPP adalah kalangan Muslim. Alhasil, selain menampung pemilih non-Muslim dan golongan nasionalis, dalam perebutan pemilih PPP bersaing dengan, paling tidak, PKS dan  PKB. Pada saat pembonsaian parpol di era Orde Baru, pada pemilu 1977 PPP masih bisa meraup sekitar sepertiga suara pemilih, 27,5 persen dengan 99 kursi DPR RI, dalam ketatnya kompetisi dengan Golkar dan PDI, serta tekanan saat itu.

Sejatinya, dalam kisruh yang juga tengah melanda PKB yang setelah terpilihnya kepengurusan PBNU di bawah Ketua Umum KH Yahya Cholil Staquf dan Sekretaris Jenderal Syaifullah Yusuf yang lebih condong ke keluarga Gus Dur, PPP seharusnya bisa memanfaatkan momentum. Bukan tidak mungkin pada saatnya PBNU bisa melakukan penggembosan terhadap PKB yang selama sekitar dua dekade ini berada di tangan Muhaimin Iskandar.

Saat ini, di antara parpol yang ada di Parlemen, PPP menempati posisi paling buncit, tak sampai lima persen. Ketika perolehan suara mereka dikonversi menjadi jumlah kursi di DPR RI, kursi PPP tak sampai 4 persen, tepatnya hanya 19 kursi.

Di awal reformasi dengan sistem multipartai, PPP sebenarnya lebih baik. Pada Pemilu 1999 mereka mendapat 58 kursi di DPR, pada Pemilu 2004 juga 58 suara. Pemilu 2009 membuat kursi mereka turun menjadi 38, naik kembali satu kursi sesuai hasil Pemilu 2014, jadi 39 kursi. Namun pada Pemilu 2019, suara PPP anjlok menjadi 19 kursi.  Pemicunya karena kisruh internal, baik antara Suryadarma Ali dengan Romahurmuziy maupun setelahnya, Romahurmuziy dengan Djan Faridz. Suharso pada 2019 itu menggantikan Romahurmuziy karena dia ditangkap KPK. Tetapi tak setiap orang bisa belajar dari pengalaman mereka sendiri.

Menurut mantan anggota MPR, Ali Pasha, dalam artikelnya “Membaca Halaman Terakhir Buku PPP”, usai Reformasi sebenarnya PPP dianggap segera ‘tamat’. Semua tokoh Islam tersulut euphoria membuat parpol sendiri. Eksponen Muhammadiyah mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN), sementara  eksponen NU mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Anak-anak muda peserta pengajian kampus mendirikan Partai Keadilan. Muncul pula Partai Bulan Bintang (PBB), PPII Masyumi, dan Partai Masyumi Baru. Ceruk penghasil massa Islam telah terkapling ke dalam pecahan-pecahan kecil.

Tapi menurut Ali Pasha, bukan itu yang terjadi. Di bawah duet kepemimpinan Hamzah Haz-Ali Marwan, pada pemilu 1999, pemilu pertama di era reformasi, PPP yang diramalkan bakal habis itu justru berada pada peringkat ketiga hasil Pemilu. Pada periode inilah PPP menorehkan prestasi gemilang: menempatkan Ketua Umum Hamzah Haz sebagai wakil presiden, dua kadernya menjadi menteri, dan banyak kader menjadi gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota.

“Karena merupakan hasil fusi partai Islam, maka tradisi PPP adalah tradisi kebersamaan, kolektif-kolegial. Kepemimpinan PPP di seluruh tingkatan senantiasa mencerminkan semangat fusi,”kata Ali Pasha. Karakter kebersamaan PPP yang  memantangkan prinsip ‘pemenang mengambil semuanya’, serta mengadopsi sikap ‘semua menang, semua dapat’ itulah, menurut Ali Pasha, yang menguatkan PPP saat itu.

Semua itu menurut dia telah hilang, bermula dari Muktamar Ancol 2007. PPP yang selama ini mengakomodasi semua unsur fusi dalam semangat kebersamaan, yang dari muktamar ke muktamar selalu memilih pemimpin dengan sistem formatur, pada Muktamar 2007 sistem formatur itu diganti sistem pemilihan langsung.

Dan karena pemenang mengambil dan menentukan semuanya, Hamzah Haz yang mantan wakil presiden RI dan mantan ketua umum PPP itu pun tidak diakomodasi dalam kepengurusan. Konon, ada pendukung ketua umum terpilih yang mengancam akan mundur jika Hamzah Haz dimasukkan. Kepengurusan hasil muktamar berikutnya di Bandung, lebih mengerikan lagi. Ketua umum dipilih secara aklamasi, dan enam dari tujuh posisi kepemimpinan dipegang hanya oleh orang-orang yang berasal dari satu unsur. Ketika PPP dipimpin hanya oleh satu unsur inilah, PPP terpecah menjadi dua. Perpecahan akut yang sampai sekarang, menurut Ali Pasha, meski tak diakui, masih belum terselesaikan.

Sejatinya, tanpa harus terpaku pada figur-figur lama seperti Mardiono yang kini berada di puncak, PPP punya banyak nama-nama lebih muda. Tentu bukan Romahurmuziy yang terbukti sempat lancung dan dicokok KPK dan tampaknya berusaha come back ke pentas politik. PPP punya Khofifah Indar Parawansa, yang kini tengah meraup banyak pengalaman di luar. Atau ada pula Wakil Ketua Umum PPP versi Muktamar Jakarta 2014 Habil Marati, hingga kader yang bintangnya kian bersinar, putra Kiai ternama Purworejo KH. Thoifur, Arwani Thomafi. Tentu saja, asalkan, kata Ali Pasha, mereka bisa kembali membawa kebersamaan yang menjadi watak asli PPP. [dsy]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button