News

Negara Adidaya Tak Berdaya Hadapi Teror-teror Penembakan

Peristiwa demi peristiwa penembakan mengerikan di Amerika Serikat (AS) terus berulang. Korban pun terus berjatuhan termasuk anak-anak sekolah. Mengapa AS tidak bisa melakukan apa pun untuk menghentikan penembakan massal? Apa saja penyebabnya?

Peristiwa terakhir yang memilukan terjadi pada Selasa (17/5/2022) di Kota Ulvade, Texas yang dilakukan seorang remaja pria bernama Salvador Ramos berusia 18 tahun dengan penembakan brutal yang menewaskan 19 siswa Sekolah Dasar (SD) Robb.

“Mengapa kita rela hidup dengan pembantaian ini? Mengapa kita terus membiarkan ini terjadi?” kata Presiden AS Joe Biden di Gedung Putih, mengomentari peristiwa penembakan massal terakhir ini.

“Sudah waktunya untuk mengubah rasa sakit ini menjadi tindakan. Untuk setiap orang tua, untuk setiap warga negara di negara ini, kita harus menjelaskan kepada setiap pejabat terpilih di negara ini: inilah saatnya untuk bertindak,” ucapnya.

Masih pada bulan Mei, kurang dari dua minggu sebelum penembakan di Uvalde, juga terjadi penembakan massal yang menghancurkan. Seorang pria bersenjata melepaskan tembakan ke sebuah toko kelontong di Buffalo, New York. Dia menembak mati 10 orang, kebanyakan dari mereka adalah ras Afrika-Amerika.

Menurut Arsip Kekerasan Senjata AS, tahun ini telah terjadi 213 penembakan massal, yang didefinisikan sebagai insiden di mana setidaknya empat orang lebih ditembak atau terbunuh, telah terjadi di AS. Pada 2021, terjadi 692 penembakan massal tercatat, meningkat dibandingkan dengan 610 selama tahun 2020.

Penembakan massal sering terjadi di tempat umum seperti sekolah atau bar. Namun, sebenarnya penembakan lebih sering terjadi di tempat-tempat privat seperti di rumah. Berbeda dengan penembakan massal di tempat umum yang cenderung mendapat lebih banyak perhatian media, penembakan di tempat-tempat pribadi ini kurang mendapat perhatian media.

Mengapa begitu sering terjadi?

Yang menjadi pertanyaan di benak publik warga dunia adalah mengapa sering terjadi peristiwa penembakan di AS? Mengapa pula orang dengan mudahnya melakukan penyerangan menggunakan senjata? Padahal kita tahu bahwa AS memiliki perangkat penegakan hukum yang modern dan canggih sehingga bisa melakukan deteksi dini terhadap peristiwa kriminal seperti halnya aksi-aksi terorisme.

Mungkin, beberapa orang berspekulasi, itu karena masyarakat AS luar biasa kejam. Atau perpecahan rasialnya telah merusak ikatan masyarakat. Atau warganya tidak memiliki perawatan mental yang layak. Atau juga warga AS senang bersikap seperti koboi memiliki senjata dan dibawa ke mana-mana.

Soal senjata ini yang paling banyak mendapat sorotan dan menjadi kambing hitam dari tingginya tingkat penembakan massal di AS. New York Times pernah menulis bahwa orang AS menjadi bagian dari sekitar 4,4 persen populasi global tetapi memiliki 42 persen senjata dunia.

Dari tahun 1966 hingga 2012, sebanyak 31 persen pria bersenjata dalam penembakan massal di seluruh dunia adalah orang AS, menurut sebuah studi tahun 2015 oleh Adam Lankford, seorang profesor di University of Alabama.

Fakta lain juga menyebutkan bahwa puluhan juta orang AS memiliki senjata sendiri. Empat dari 10 orang AS tinggal di rumah tangga dengan senjata api, sementara 30 persen mengatakan mereka memilikinya secara pribadi, menurut survei tahun 2021 oleh Pew Research Center.

Mungkin warga AS merasa lebih suka memegang senjata dana. Ini pula yang menjadi hambatan terwujudnya undang-undang senjata yang lebih ketat.

AS adalah salah satu dari tiga negara yang memasukkan hak kepemilikan senjata dalam konstitusinya, bersama dengan Meksiko dan Guatemala. Hak ‘rakyat untuk menyimpan dan memanggul senjata’ yang diabadikan dalam Amandemen Kedua, didirikan pada abad ke-18 untuk memungkinkan negara-negara membentuk milisi untuk melindungi diri mereka sendiri dari penindasan oleh pemerintah federal.

Mungkin karena ini pula, meskipun ratusan penembakan massal di AS setiap tahun, Kongres telah berulang kali gagal meloloskan undang-undang kontrol senjata utama. Hal ini karena banyak rintangan untuk memberlakukan undang-undang senjata yang lebih ketat di AS.

Berbeda dengan AS, di Inggris setelah terjadi penembakan massal pada tahun 1987, negara itu memberlakukan undang-undang kontrol senjata yang ketat. Begitu pula Australia setelah penembakan tahun 1996. Tetapi AS telah berulang kali menghadapi peristiwa penembakan massal tetapi masih belum ada kesepatan untuk pengaturan ketat kepemilikan senjata.

Lebih parahnya, penggunaan senjata dalam serangan massa itu tidak hanya jenis pistol, tetapi juga senjata serbu serta magasin berkapasitas tinggi. Akibatnya menimbulkan lebih banyak kematian dan cedera.

Antara tahun 2009 dan 2020, lima insiden penembakan massal paling mematikan di AS semuanya melibatkan penggunaan senjata serbu dan/atau magasin berkapasitas tinggi seperti di Las Vegas, Orlando, Newtown, Sutherland Springs, dan El Paso.

Terkait penyakit jiwa?

Selain faktor kepemilikan senjata yang sangat luas di AS, ada sorotan lain tentang perilaku penembakan massal ini yang makin meluas ini. Faktor ini adalah soal kesehatan mental. Namun, hubungan antara penyakit mental dan kekerasan seperti penggunaan senjata ini juga masih menjadi perdebatan.

Beberapa bukti kuat menunjukkan bahwa penembak massal sering sakit mental dan terpinggirkan secara sosial. Torrey, seorang psikiater, pernah menyatakan bahwa ‘kira-kira setengah dari pembunuhan massal dilakukan oleh orang-orang dengan penyakit mental yang parah, kebanyakan skizofrenia, dan jika mereka dirawat, mereka sebenarnya dapat dicegah’.

Mahkamah Agung AS juga mendukung larangan kepemilikan senjata oleh penjahat dan orang sakit jiwa karena potensi khusus mereka untuk kekerasan.

Masih dalam kaitan kesehatan mental ini, banyak pihak di AS yang mendesak para ahli dan pekerja kesehatan mental lebih banyak memberi peran pencegahan terhadap pelaku penembakan massal.

Para ahli jiwa ini bisa melakukan deteksi dini terhadap siapa saja orang yang berpotensi melakukan kejahatan termasuk penembakan sadis. Ia harus bekerja sama dengan petugas dan melaporkan apapun yang mencurigakan.

Satu lagi yang menjadi sorotan adalah penggunaan obat-obatan psikotropika dan alkohol yang makin meluas. Kombinasi toxic penyakit mental, kondisi sosial ekonomi, senjata api, dan obat-obatan psikotropika berkontribusi pada beberapa kasus penembakan massal.

Kompleks memang yang dihadapi Negeri Paman Sam ini dalam urusan tembak-menembak ini. Musuhnya bukan negara lain atau aksi terorisme. Karena itu, tanpa penyelesaian persoalan yang mendasar seperti pengetatan kepemilikan senjata, penggunaan obat-obat psikotropika, hingga memperhatikan kesejahteraan mental dan ekonomi warganya, peristiwa seperti ini masih berpotensi terjadi. [ikh]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button