News

Nelangsa Driver Ojol: Mitra yang Terus Dipaksa Menerima Keadaan

Wajah Thalib (32) terlihat lelah ketika inilah.com menemuinya di bilangan Pondok Pinang, Jakarta Selatan, pada suatu petang yang terik. Tubuhnya menyender di tembok yang sudah lusuh. Tangan kanannya memegang batang rokok yang hampir habis. Tatapannya kosong, seolah gairah hidupnya sedang melayang entah ke mana.

“Pusing, Bang,” ucapnya membuka obrolan dengan inilah.com pada Kamis, (29/9/2022). “Tapi, mau gimana lagi. Kondisinya emang gini. Nggak adil, lah, pokoknya.”

Thalib adalah driver ojek online (ojol), khusus antar makanan. Namun sudah sepekan berturut Thalib memilih bekerja dengan keterpaksaan. Penyebabnya bukan karena motornya rusak, atau ia tengah sakit, tapi kebijakan penyedia platform yang memaksanya mengambil jalan semacam itu.

Bagi banyak kurir makanan Go Food, seperti halnya Thalib, merger antara Gojek dan Tokopedia, kemudian berganti nama menjadi GoTo, pada akhir Mei silam, seharusnya membuka babak perjalanan baru yang lebih cerah, entah dari sisi kebijakan maupun perhatian terhadap para mitra yang selama ini membantu tumbuh kembang perusahaan.

Sayang, harapan Thalib yang sudah 5 tahun menekuni profesi tersebut belum sepenuhnya terwujud. Alih-alih mendukung keberadaan mitra dengan kebijakan yang tepat guna, pihak GoTo justru melakukan sebaliknya. Awal Juni lalu, pihak perusahaan memutuskan untuk memotong tarif insentif. Insentif dipangkas dari Rp10.000 per 5 kali pengantaran menjadi Rp10.000 per 9 kali pengantaran. Yang menyedihkan: semua diambil tanpa melibatkan mitra.

Lain lagi adanya penyesuaian tarif baru ojek online disahkan melalui Keputusan Menteri Perhubungan berdasarkan Nomor KP 667 Tahun 2022 mengenai Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat yang Dilakukan dengan Aplikasi, yang dirilis 7 September lalu.

Di dalam aturan itu disebutkan bahwa biaya potongan aplikasi naik menjadi 20 persen dan berlaku secara efektif mulai Minggu pekan lalu, 11 September 2022.

Potongan itu semakin berat dirasa apalagi setelah Presiden Joko Widodo menaikkan harga BBM hingga 30 persen, sementara kenaikan tarif ojek online hanya 8 sampai 15 persen.

Kebijakan tersebut jelas memukul Thalib. Ia sekarang harus lebih keras bekerja dengan kemungkinan pendapatan yang tak jauh berbeda. Tekanannya bertambah di tengah kondisi yang ia ingin segera wujudkan terjadi dalam waktu dekat: melamar sang kekasih dan meminangnya.

“Lagi ngumpulin buat modal nikah bulan depan. Jika begini terus, ya, mesti narik. Pulang bawa duit. Masalahnya, kalau kondisinya kayak begini, yang mau dibawa pulang nanti apa?” ia bertanya penuh sesal.

Di awal tahun 2017 ketika memulai jadi pengemudi ojol, ia bisa mengumpulkan uang lebih dari Rp 600 ribu per hari. Terlebih, bonus saat itu bisa mencapai Rp 200 ribu, katanya. Namun sekarang, dengan 15 orderan sehari penuh, penghasilan kotornya hanya mencapai Rp 250 ribu.

“Total dipotong uang rokok, kopi, bensin cuma dapet 150 ribu. Lebih sering lagi cuma Rp 200 ribu. Tapi dipotong 20 persen untuk biaya aplikasi,” tutur Thalib sambil memperlihatkan riwayat pesanan yang ia peroleh hari itu.

Ia mengaku pasrah pendapatannya terpotong melebihi ketentuan. “Mau protes juga nanti poin saya takut kenapa-kenapa,” kata dia.

Tarif baru dan Pemotongan Insentif

Jam menunjukkan pukul 4 Sore. Letih masih terpancar jelas dari raut wajah Ari (35). Rambutnya yang gondrong terurai berantakan. Ia segera meminta maaf karena mesti memperlihatkan pemandangan tersebut. Tak lama berselang ia mempersilakan inilah.com untuk duduk sejenak, sembari menawarkan kopi hitam atau aneka minuman lainnya—”terserah,” katanya.

Tempat para ojek online berkumpul itu terlihat sederhana. Dinamakan ‘Gebruk’ letaknya ada di ujung jalan sehingga mudah dikenali dari jarak jauh. Di luar bangunan ada deretan warung, juga cakruk dengan bangku panjang yang didesain untuk merebahkan badan. Di sinilah Ari, beserta rekan satu profesinya, banyak menghabiskan waktu selepas memeras keringat di jalanan.

“Jadi semacam markas buat kumpul. Biasanya anak-anak pada ke sini setelah nganter atau mengambil pesanan,” ucap Ari, yang terlihat sedikit segar usai minum es sari buah jeruk dalam gelas plastik.

Ari bukan sosok sembarangan di lingkaran ojol di kawasan Jakarta Selatan. Ia cukup populer dan disegani sebab dianggap memiliki jiwa kepemimpinan dan kepedulian yang tinggi. Ia menaruh perhatian untuk segala isu yang berkaitan dengan posisi kurir. Setiap muncul hal-hal ganjil, yang cenderung merugikan kurir, ia akan vokal dan berdiri di garda paling depan. Tak terkecuali urusan isu kenaikan tarif dan harga BBM yang muncul akhir-akhir ini.

Okay - inilah.com
Foto: inilah.com

Ari menilai kenaikan tarif ojek online lebih menguntungkan pihak perusahaan.“Potongannya kan dulu pertama 10 persen, naik jadi 20 persen sekarang naik buat asuransi customer jadi berapa persen infonya. Namanya pengusaha bagaimana mencari untung sebesar-besarnya, bawahnya seminim-minimnya,” kata Ari.

“Dulu itu (driver dapat bersih) Rp 9.600 sekarang Rp 10.400 buat driver-nya aja. Kalau Bayar Rp 15.000 ya sisanya palingan buat aplikator,” katanya.

Ari berharap jumlah potongan oleh aplikator dikembalikan ke angka 10 persen dari total biaya ongkos yang dibayar penumpang.

“Kalau saya mah mending dibalikin ke semula. Penarikan kantor (potongan) cuma 10 persen. Soalnya kalau sekarang itu kenaikan tarif nggak menguntungkan kita juga, cuma beratin penumpang, bikin pelanggan pindah,” kata pria yang sudah 4 tahun jadi driver ojol ini.

Perusahaan memutuskan kebijakan tersebut pada awal Juni. Kebijakan ini, secara garis besar, mengurangi insentif yang diterima kurir. Sebelumnya, untuk daerah operasi Jabodetabek, kurir bisa memperoleh Rp10 ribu untuk lima pengantaran.

Ketua Umum Asosiasi Pengemudi Ojek Daring Garda Indonesia Igun Wicaksono, kenaikan tarif saat ini belum menguntungkan pengemudi. Sebab, pembagian komisi masih diterapkan dengan pemotongan sebesar 15 persen—dari yang sebelumnya 20 persen. Dia menyebut potongan tersebut tidak sesuai permohonan asosiasi, yakni sebesar 10 persen.

“Permohonan asosiasi secara resmi adalah 10 persen. Tujuannya agar apabila tarif naik tidak tinggi pun kami bisa bernafas, dapat pendapatan ideal,” kata Igun. “Selagi masih di atas 10 persen, itu merugikan kami.”Ungkapnya.

Tarif anyar ojek daring terbagi menjadi tiga zona. Untuk zona I, yang meliputi Sumatera, Jawa (selain Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi atau Jabodetabek), serta Bali, tarif batas bawah naik 8 persen dari Rp 1.850 menjadi Rp 2.000. Sedangkan batas atas melonjak 8,7 persen dari Rp 2.300 menjadi Rp 2.500.

Sementara itu, zona II meliputi Jabodetabek. Tarif batas bawah di zona ini naik 13 persen dari Rp 2.250 menjadi Rp 2.550. Sedangkan batas atas melonjak 6 persen dari Rp 2.650 menjadi Rp 2.800. Adapun zona III, yang meliputi Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan sekitarnya, serta Maluku dan Papua, kenaikan tarif batas bawah sebesar 9,5 persen dari Rp 2.100 menjadi Rp 2.300. Sedangkan batas atas meroket 5,7 persen dari Rp 2.600 menjadi Rp 2.750.

Adapun biaya jasa minimal disesuaikan berdasarkan jarak 4 kilometer pertama. Biaya jasa di zona I pada 4 km pertama Rp 8.000-10 ribu, zona II Rp 10.200-11.200, dan zona III Rp 9.200-11 ribu. Sedangkan besaran biaya tidak langsung berupa biaya sewa pengguna aplikasi ditetapkan paling tinggi 15 persen, turun dari sebelumnya 20 persen

Menurut Ari, sejak tarif baru tersebut aktif ia yang biasa menjalankan aplikasi pada pukul 07.00-17.00, jumlah konsumen yang diantar tidak sesuai dengan harapan. “Yang pasti, lebih sedikit dari kemarin-kemarin,” kata dia.

Selain itu adanya pemotongan insentif bukan hal sepele dan oleh sebabnya perlu ditanggapi dengan langkah yang tak kalah serius. Perusahaan telah melewati batas dan abai terhadap keberadaan para kurir.

Ari bukannya asal bicara. Menjadi kurir bukan hal yang mudah. Ia membutuhkan kesabaran, juga kehati-hatian, yang ekstra. Selama empat tahun lebih Ari merasakan situasi tersebut. Berbeda dengan driver biasa, kurir bukan pekerjaan sampingan. Ia seperti halnya bentuk pekerjaan pada umumnya yang punya jam kerja, dari pagi hingga sore. Setelah matahari terbenam, kerja praktis selesai.

Driver Ojek Online Ini Tidur Sambil Berdiri Karena Lelah (Foto: ist)
Driver Ojek Online tidur sambil berdiri karena lelah (Foto: ist)

Keselamatan berkendara lalu jadi problem setelahnya. Dengan beban kerja yang seperti itu, posisi kurir begitu riskan. Ancaman kelelahan, juga potensi yang tak diinginkan macam kecelakaan, senantiasa mengintai di belakang.

Maka wajar belaka jika protes dilayangkan dalam menanggapi kebijakan perusahaan yang baru. Pekerjaan kurir sudah berat, dan pemotongan insentif hanya akan menambah berat situasi mereka.

“Itu uang yang bisa dibilang kami bawa pulang ke rumah, buat kebutuhan hidup dan yang lainnya. Sekarang, kalau sehari nggak sampai dapat Rp10 ribu, apa ini layak?” ungkap Budi, kurir yang Inilah.com temui di bilangan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

Menurut Ari statement dari perusahaan sekadar formalitas dan tak melihat fakta di lapangan seperti apa: kebijakan pemotongan itu nyata serta kurir merupakan pihak yang paling dirugikan.

Dipaksa menerima keadaan

Peneliti Institute of Governance and Public Affairs UGM, Arif Novianto, mengungkapkan aksi Driver ojol menyoal pemotongan insentif wajar belaka—dan memang seharusnya demikian. Ini terjadi lantaran, Arif bilang, insentif tak ubahnya seperti pendapatan harian. Ketika dipotong, otomatis pendapatan yang mereka peroleh ikut terdampak.

Yang perlu diperhatikan, Arif menambahkan, berdasarkan hasil survey yang ia lakukan, para kurir mayoritas merupakan perantau, yang tengah berupaya membangun kehidupannya di Jakarta. Pekerjaan kurir adalah salah satu jalan untuk mewujudkan mimpi tersebut.

Pemotongan insentif memperpanjang nelangsa yang dialami para kurir. Sebelumnya, mereka sudah terdampak dengan adanya pandemi. Riset Lembaga Demografi FE UI menyebut pandemi COVID-19 membuat 63 persen pengendara ojol tidak dapat penghasilan. Padahal, hampir semua driver memiliki tanggungan dan tak punya sumber penghasilan cadangan.

Temuan di atas diperkuat dengan riset Arif, yang menyebut bahwa sebulan setelah pandemi rata-rata pendapatan kotor ojol turun 67 persen dibanding dua bulan sebelumnya. Pemberlakuan kebijakan “Normal Baru” (New Normal) juga tidak memperbaiki keadaan itu.

Walhasil, banyak dari “mitra” ini yang kemudian memutuskan berhenti dari pekerjaannya lantaran tak cukup punya modal untuk bayar cicilan motor. Alasan lain: mementingkan kesehatan dan keselamatan di masa pandemi. Sementara yang bertahan, mengambil langkah yang tak kalah keras: meningkatkan jam kerjanya—bahkan ada yang sampai 24 jam. Semua ia tempuh guna mencukupi kebutuhan di tengah ketidakpastian nasib.

Deputy Chief of Corporate Affairs Gojek Indonesia, Audrey P. Petriny, menampik bahwa perusahaan mengubah skema pendapatan—atau tarif pokok per jarak tempuh—bagi mitra driver. Kebijakan penyesuaian, tambahnya, hanya dilakukan terhadap skema insentif untuk memberikan peluang yang lebih besar bagi banyak mitra.

“Kebijakan ini merupakan langkah untuk lebih memeratakan jumlah mitra yang dapat memperoleh insentif tersebut, sehingga semakin banyak mitra yang berpeluang mendapatkan penghasilan tambahan di masa pemulihan pandemi. GoSend juga memiliki berbagai program apresiasi bagi mitra dengan performa baik,” tegasnya.

Ari tak ingin mentah-mentah menerima pernyataan tersebut. Menurutnya, statement dari perusahaan sekadar formalitas dan tak melihat fakta di lapangan seperti apa: kebijakan pemotongan itu nyata serta kurir merupakan pihak yang paling dirugikan.

Bila ditelaah, kebijakan “pemerataan insentif” yang disebut oleh GoTo adalah bahasa lain dari usaha penambahan banyak mitra baru dan memaksakan kerja yang semakin tidak layak kepada mitra dengan pemotongan insentif.

“Di mana bentuk kepeduliannya? Jelas-jelas pemotongan itu ada dan berdampak buat kami,” tutur Ari.

Persoalan yang menimpa driver daring cukup kompleks, dan hal tersebut tidak sekali saja muncul. Selama bertahun-tahun, publik sering dapat suguhan berbagai tajuk ihwal masalah driver online, mulai dari cara kerja aplikasi yang rumit, penambahan biaya tertentu, hingga penghapusan bonus. Masalahnya memang banyak, namun semua punya satu kesamaan: posisi driver, atau mitra, acapkali lemah di mata perusahaan.

Kerap mereka melayangkan protes, berkali-kali pula hasil positif jarang didapatkan. Aksi mereka hanya menuntun pada titik awal mereka berpijak: dipaksa menerima keadaan.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button