Ngotot Naik Gaji, IKAHI ‘Tutup Kuping’ Rencana Mogok Massal Hakim Dikritik


Rencana mogok massal para hakim se-Indonesia menuai kritik. Sekretaris Bidang Advokasi Hakim PP Ikatan Hukum Indonesia (IKAHI) Djuyamto berpendapat, tuntutan kenaikan gaji pokok bagi para hakim, mestinya dapat direspons secara bijaksana.

“Tuntutan kesejahteraan hakim yang disebut  dengan cara cuti bersama, adalah salah satu bentuk aspirasi para hakim yang perlu direspon secara arif bijaksana,” ucap Djuyamto kepada Inilah.com saat dihubungi di Jakarta, Minggu (29/9/2024).

Ia menyebut sejak 2012-2024 belum pernah ada kenaikan atau penyesuaian besaran gaji maupun tunjangan untuk para hakim, sehingga Djuyamto menilai perlu untuk mengingatkan pemerintah untuk memberikan kenaikan atau penyesuaian.

“Sebenarnya tuntutan kesejahteraan dari para hakim ini, justru bertolak dari ketentuan pasal 48 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman bahwa Negara menjamin kesejahteraan dan keamanan hakim untuk menjaga independensi kekuasaan kehakiman, tapi kalau selama 12 tahun tidak ada kenaikan atau penyesuaian tentu jaminan kesejahteraan itu perlu ditanyakan,” katanya.

Ia menyebut akan tetap memperjuangkan tuntutan ini meski mendapat penolakan nantinya dari berbagai pihak. “IKAHI tetap akan memperjuangkan, tentu melalui mekanisme dan ketentuan UU yang berlaku,” ucap dia tegas.

Sebelumnya, ribuan hakim se-Indonesia berencana melakukan mogok kerja pada 7 Oktober hingga 11 Oktober 2024 mendatang. Aksi mogok yang dibalut cuti bersama itu dilakukan sebagai bentuk protes ke pemerintah yang dianggap belum memprioritaskan kesejahteraan hakim.

Cara ini dianggap pengamat hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul  Fickar Hadjar kurang elok. Ia mengingatkan, hakim merupakan pekerjaan terhormat, karenanya wibawa hakim harus terjaga,

Rencana mogok kerja ini, dinilai akan menggerus wibawa hakim di mata pubilk. “Padahal hakim itu di pengadilan dipanggil yang mulia,” kata Abdul Fickar, dikutip Antara, Sabtu (28/9/2024).

Ia menilai hakim seharusnya bisa menempuh cara lebih terhormat seperti membuka forum dialog dengan pemerintah eksekutif dalam memperjuangkan kenaikan gaji dibandingkan dengan mogok kerja selama berhari-hari. “Harusnya pakai forum yang lebih terhormat untuk adu argumen. Harus duduk bersama-sama,” ucapnya.

Hal senada juga disampaikan oleh Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Andalas (Unand) Yoserwan. Menurutnya, cara penyaluran aspirasi lewat ancaman mogok massal kurang pas. Ia juga mengingatkan, peningkatan kesejahteraan hakim seharusnya diimbangi dengan integritas dan kapabilitas. Jangan cuma menuntut bisa hak, tapi saat menjalankan kewajiban malah asal-asalan.

“Seharusnya tidak ada lagi hakim yang terkait korupsi dan putusan yang tidak berkualitas. Jangan ada putusan hakim yang sekadar ketuk palu seperti dalam kasus Vina di Cirebon, Ronald Tannur, dan kasus-kasus lain yang kontroversial,” tutur dia kepada Inilah.com.

Sementara, Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni meminta agar para hakim memikir ulang. Ia berharap langkah mogok kerja tidak benar-benar dilakukan.

“Kalau mogok jangan sampai terjadi, itu nggak baik bagi integritas hakim sendiri, langkah yang baik dengan cara yang baik, melalui mekanisme kelembagaan,” kata Sahroni.