NTT Data: AI Bukan Sekadar Tren, Harus Dipahami Agar tak Jadi Senjata Makan Tuan


Kecerdasan buatan (AI) semakin menjadi fokus utama bisnis di Indonesia. Namun, CEO NTT Data Indonesia, Hendra Lesmana, menegaskan bahwa AI bukan sekadar tren teknologi, tetapi harus diterapkan dengan strategi yang matang agar benar-benar memberikan nilai tambah bagi perusahaan.

Dalam acara Media Gathering “Potensi GenAI untuk Transformasi Bisnis”, Hendra menyoroti pentingnya memahami bagaimana AI bekerja sebelum mengadopsinya.

“Harus ada isi-isinya, mana yang boleh disentuh, mana yang tidak boleh disentuh, dan AI tetap harus dicek oleh manusia,” ujarnya. 

Menurutnya, banyak perusahaan yang menggunakan AI tanpa memahami logikanya, yang bisa menimbulkan masalah dalam penerapan di dunia bisnis.

NTT Data sendiri memiliki empat pilar utama dalam penerapan AI:

1. Strategi bisnis yang jelas sebelum mengadopsi AI.

2. Teknologi yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan.

3. Manfaat bisnis yang nyata agar AI tidak hanya jadi alat yang mahal tanpa hasil.

4. Keamanan dan tata kelola data untuk memastikan AI digunakan secara bertanggung jawab.

Hendra juga menekankan bahwa banyak perusahaan sudah menyadari pentingnya AI, tetapi tidak semuanya siap menggunakannya secara optimal. 

Survei internal NTT Data terhadap ratusan perusahaan di Indonesia menunjukkan bahwa mayoritas eksekutif setuju AI harus segera diadaptasi, dan banyak yang sudah merencanakan investasi khusus untuk Generative AI dalam dua tahun ke depan.

Indonesia Punya Infrastruktur Kuat, Tapi Masih Ada Tantangan

Selain faktor strategis, Hendra mengungkapkan bahwa perusahaan yang bergerak di bidang teknologi informasi dan layanan bisnis berpusat di Tokyo, Jepang itu memiliki keunggulan dalam infrastruktur yang mendukung adopsi AI. Salah satunya adalah kabel data bawah laut, di mana sekitar 40% kabel bawah laut dunia dimiliki oleh NTT Data. Infrastruktur ini menjadi fondasi penting untuk AI dan digitalisasi di Indonesia.

Namun, tantangan tetap ada, terutama dalam kesiapan perusahaan untuk beradaptasi dengan AI. Banyak perusahaan di Indonesia masih menggunakan metode konvensional dan belum memiliki data governance (tata kelola data) yang baik. Padahal, tanpa data yang bersih dan terstruktur, AI tidak bisa memberikan hasil yang maksimal.

“Kalau datanya tidak bersih, AI-nya juga tidak akan akurat. Makanya, AI bukan sekadar teknologi, tetapi butuh ekosistem yang mendukung, termasuk tata kelola data yang baik,” jelasnya.

Di sisi lain, adopsi AI di Indonesia terus berkembang pesat. Dalam beberapa tahun ke depan, Hendra memperkirakan bahwa AI akan menjadi standar di berbagai sektor, termasuk logistik, kesehatan, dan manufaktur.