Hangout

Nyamuk Makin Kebal, Ancaman Semakin Besar

nyamuk-makin-kebal,-ancaman-semakin-besar

Minggu, 15 Jan 2023 – 01:01 WIB

Nyamuk Kebal

Selama ini, penyakit yang berasal dari nyamuk seringkali terlupakan. padahal kekuatannya makin bertambah dan mengancam jiwa. (foto: Unsplashed)

Nyamuk yang menularkan demam berdarah dan virus lainnya telah mengembangkan kekebalan terhadap insektisida. Selama ini, penyakit yang berasal dari nyamuk seringkali terlupakan padahal kekuatannya makin bertambah dan mengancam jiwa.

Masalah kesehatan yang berkaitan dengan nyamuk ini telah menjadi perhatian di banyak negara di Asia. Penelitian baru memperingatkan pentingnya cara baru untuk mengendalikannya perkembangan nyamuk penyebab berbagai penyakit terutama demam berdarah dengue (DBD).

Ilmuwan Jepang Shinji Kasai dan timnya memeriksa nyamuk dari beberapa negara di Asia serta Ghana dan menemukan serangkaian mutasi yang telah membuat beberapa nyamuk hampir kebal terhadap bahan kimia populer berbasis piretroid seperti permetrin.

“Di Kamboja, lebih dari 90 persen nyamuk Aedes aegypti memiliki kombinasi mutasi yang menghasilkan tingkat resistensi yang sangat tinggi,” kata Kasai seperti dilansir AFP.

Dia menemukan beberapa strain nyamuk memiliki resistensi 1.000 kali lipat, dibandingkan dengan 100 kali lipat yang terlihat sebelumnya. Itu berarti tingkat insektisida yang biasanya membunuh hampir 100 persen nyamuk dalam sampel hanya membunuh sekitar tujuh persen serangga. Bahkan dosis yang 10 kali lebih kuat membunuh hanya 30 persen nyamuk yang sangat kebal.

“Tingkat resistensi yang kami temukan pada nyamuk di Kamboja dan Vietnam sama sekali berbeda,” kata Kasai, direktur Departemen Entomologi Medis di Institut Penyakit Menular Nasional Jepang.

Angka kasus DBD

Nyamuk Aedes aegypti yang menjadi penyebab penyebaran demam berdarah ini sudah menginfeksi sekitar 100 hingga 400 juta orang per tahun, menurut laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

“Meskipun lebih dari 80 persen kasusnya ringan atau tanpa gejala,” ungkap WHO.

Di Indonesia, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengungkapkan kasus berdarah dengue (DBD) menunjukkan tren peningkatan sepanjang 2022. Jumlah kumulatif kasus konfirmasi DBD dari Januari-September 2022 yakni sebanyak 87.501 kasus dengan kasus kematian sebanyak 816 orang.

Kasus paling banyak terjadi pada golongan umur 14-44 tahun sebanyak 38,96 persen dan 5-14 tahun sebanyak 35,61 persen. Sementara daerah yang mencatatkan kasus DBD tertinggi di antaranya adalah Kota Bandung dengan 4.196 kasus, Kabupaten Bandung sekitar 2.777 kasus, Kota Bekasi dengan 2.059 kasus, Kabupaten Sumedang sekitar 1.647 kasus, dan Kota Tasikmalaya dilaporkan sebanyak 1542 kasus.

Sementara di Singapura, yang termasuk negara modern ini, menurut Badan Lingkungan Nasional Singapura (NEA) pada Desember 2022 lalu mengungkapkan, ada antara 200 hingga 300 kasus demam berdarah mingguan. Ini sekitar 20 persen lebih banyak dari jumlah rata-rata kasus yang dilaporkan untuk periode yang sama dan dari 2019 hingga 2021, meskipun angka mingguan menurun sekitar 80 persen dari puncaknya di bulan Mei.

Jumlah total kasus demam berdarah yang dilaporkan pada tahun 2022 adalah 30.969 pada 2 Desember – hampir enam kali jumlah total kasus yang tercatat sepanjang tahun 2021, dan sekitar 90 persen dari jumlah kasus yang tercatat pada tahun 2020, kata NEA.

Nyamuk makin tangguh

Tingkat resistensi nyamuk yang makin kuat ini tak hanya terjadi pada nyamuk jenis Aedes aegypti. Resistensi juga terdeteksi pada nyamuk jenis lain, yakni Aedes albopictus, meskipun pada tingkat yang lebih rendah.

Mungkin karena nyamuk jenis ini cenderung berada di luar rumah, dan seringkali mencari makan pada hewan. Selain itu mungkin lebih sedikit terpapar insektisida dibandingkan nyamuk Aedes aegypti yang menyukai manusia.

Penelitian menemukan beberapa perubahan genetik terkait dengan resistensi. Tingkat resistensinya berbeda, dengan nyamuk dari Ghana serta sebagian Indonesia dan Taiwan masih relatif rentan terhadap bahan kimia yang ada, terutama pada dosis yang lebih tinggi.

Tetapi penelitian menunjukkan ‘strategi yang biasa digunakan mungkin tidak lagi efektif’, kata Cameron Webb, seorang profesor dan peneliti nyamuk di NSW Health Pathology dan University of Sydney.

“Ada bukti yang berkembang bahwa mungkin tidak ada tempat untuk formulasi insektisida saat ini dalam mengendalikan populasi hama nyamuk utama,” kata Webb kepada AFP.

Dia mengatakan bahan kimia baru diperlukan, tetapi pihak berwenang dan peneliti juga perlu memikirkan cara lain untuk melindungi masyarakat, termasuk vaksin.

“Kita harus berpikir tentang merotasi insektisida… yang memiliki target berbeda,” tambah Kasai, yang penelitiannya dipublikasikan bulan lalu di jurnal Science Advances.

Kapan dan di mana mutasi resistensi muncul masih menjadi misteri, tetapi Kasai sekarang memperluas penelitian di tempat lain di Asia dan memeriksa sampel yang lebih baru dari Kamboja dan Vietnam untuk melihat apakah ada yang berubah dari periode studi 2016-2019.

Ia khawatir nyamuk dengan mutasi yang ditemukan dalam penelitian ini akan menyebar ke seluruh dunia dalam waktu dekat. Sebelum itu terjadi para ahli harus segera memikirkan solusinya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button