Obat HIV mirip vaksin baru saat ini harganya lebih dari US$40.000 (sekitar Rp640 juta) per orang per tahun. Namun sebenarnya bisa dibuat dengan biaya jauh lebih murah hanya US$40 atau sekitar Rp64 ribu sehingga dapat dijangkau pasien di negara-negara dengan insiden tinggi tapi memiliki sumber daya terbatas.
Obat antiretroviral Lenacapavir, yang dikembangkan raksasa farmasi AS Gilead, telah dipuji sebagai pengubah permainan potensial dalam perang melawan HIV. Uji coba awal menunjukkan bahwa pengobatan tersebut 100 persen efektif dalam mencegah infeksi HIV. Pengobatan tersebut hanya perlu disuntikkan dua kali setahun, sehingga obat tersebut jauh lebih mudah diberikan daripada pengobatan saat ini yang mengharuskan penggunaan pil setiap hari.
“Pada dasarnya ini seperti memiliki vaksin,” kata Andrew Hill, seorang peneliti di Universitas Liverpool Inggris, kepada AFP. Perawatan saat ini menelan biaya pasien lebih dari US$40.000 atau sekitar Rp640 juta per tahun di berbagai negara termasuk Amerika Serikat, Prancis, Norwegia, dan Australia.
Penelitian baru, yang dipresentasikan Hill pada Konferensi AIDS Internasional di Munich pada hari Selasa (23/7/2024), mengungkap seberapa besar biaya pembuatan obat dapat turun jika Gilead mengizinkan versi generik yang lebih murah untuk diproduksi. Obat tersebut untuk satu tahun dapat dibuat dengan biaya hanya US$40 (sekitar Rp640 ribu) atau 1.000 kali lebih murah dari harga saat ini, menurut penelitian yang belum ditinjau sejawat.
Harga ini didasarkan pada volume produksi yang setara dengan perawatan 10 juta orang. Jika obat itu diberikan kepada orang-orang yang berisiko tinggi tertular HIV – seperti pria gay atau biseksual, pekerja seks, narapidana atau khususnya wanita muda di Afrika – pada dasarnya dapat “menghentikan penularan HIV,” tegas Hill. “Kita sebenarnya bisa mengendalikan epidemi itu .”
Ada 1,3 juta infeksi HIV baru tahun lalu, sementara 39 juta orang hidup dengan virus tersebut, menurut Organisasi Kesehatan Dunia WHO.
Kesempatan untuk Menyelamatkan Dunia
Untuk memperkirakan biaya, para peneliti mempelajari pengiriman bahan baku obat, dan berbicara dengan produsen obat generik besar di China dan India yang sudah membuat “bahan dasar” obat tersebut, kata Hill. Tim peneliti internasional telah terbukti benar tentang perkiraan serupa di masa lalu, tambahnya.
Satu dekade lalu, tim tersebut mengatakan bahwa biaya pembuatan obat hepatitis C Gilead – yang saat itu dihargai US$84.000 per pasien atau sekitar Rp1,3 miliar dapat turun hingga US$100 (Rp1,6 juta) jika obat generik diizinkan. “Sekarang biaya untuk menyembuhkan Hepatitis C hanya sekitar US$40 (sekitar Rp640 juta),” kata Hill.
Penelitian baru ini diumumkan sehari setelah kepala UNAIDS Winnie Byanyima meminta Gilead untuk “menciptakan sejarah” dengan membuka Lenacapavir ke Medicines Patent Pool yang didukung PBB, yang akan memungkinkan obat generik dijual di bawah lisensi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. “Gilead memiliki kesempatan untuk menyelamatkan dunia,” katanya kepada AFP.
Seorang juru bicara Gilead mengatakan kepada AFP bahwa perusahaan tersebut masih menunggu data uji klinis fase 3 tentang penggunaan Lenacapavir untuk mencegah HIV, jadi masih terlalu dini untuk menyatakan apa yang dapat dilakukannya di masa mendatang.
Perusahaan tersebut memiliki strategi untuk “menyediakan versi Lenacapavir berkualitas tinggi dan berbiaya rendah” di negara-negara “yang paling membutuhkannya,” kata juru bicara tersebut.
Juru bicara tersebut menambahkan, pihaknya juga “bergerak dengan urgensi” untuk menegosiasikan kontrak bagi program lisensi sukarela guna mempercepat akses ke versi Lenacapavir tersebut di negara-negara dengan insiden tinggi tapi memiliki sumber daya terbatas.