Pertumbuhan yang melambat dan penurunan populasi selama bertahun-tahun membuat banyak perusahaan kecil dan menengah di Jepang harus berjuang keras untuk bisa hidup. Perusahaan ‘zombie’ seperti dibiarkan bangkrut.
Perusahaan-perusahaan di Jepang, biasanya mendapat bantuan pendanaan dan fasilitas dari pemerintah, kini menghadapi guncangan karena dukungan era pandemi menyusut dan suku bunga naik untuk pertama kalinya dalam 17 tahun.
Pemerintah Jepang bersedia membiarkan lebih banyak perusahaan yang berkinerja buruk bangkrut, menurut tiga pejabat senior pemerintah mengatakan kepada Reuters. Ini sebuah pengakuan, sebelumnya tidak dilaporkan yang menurut mereka mencerminkan kebutuhan mendesak untuk mengganti bisnis sklerotik dengan bisnis yang mampu menghasilkan pertumbuhan.
Meskipun para pejabat tidak menduga perubahan tersebut akan terjadi dengan cepat, mereka menggambarkan perubahan pola pikir negara yang biasanya berupaya menghindari kebangkrutan dan melindungi pekerjaan yang ada dengan mengorbankan produktivitas.
Langkah membangkrutkan itu akan membantu Jepang menyalurkan pekerja dan investasi ke perusahaan-perusahaan paling produktif di pasar tenaga kerja yang ketat, sekaligus meningkatkan upah, kata para pejabat yang meminta namanya tidak disebutkan untuk membahas masalah sensitif.
Yang pasti, pemerintah mengharapkan perubahan akan terjadi melalui merger dan akuisisi, bukan kebangkrutan dan PHK skala besar, kata salah satu sumber. Pemerintah memiliki pusat bantuan untuk memberi saran kepada usaha kecil tentang merger dan akuisisi (M&A).
Pemikiran ulang terhadap pendekatan tradisional Jepang terhadap bisnis ini menghadapi beberapa rintangan, salah satunya adalah kontrak sosial yang telah mengatur ekonomi pascaperang, menurut wawancara dengan 20 orang, termasuk lima pejabat pemerintah, bankir, pakar industri, dan tiga pemilik bisnis.
“Banyak pemilik pabrik kecil berasal dari generasi sebelum saya dan cenderung mengelola bisnis mereka sebagai insinyur,” kata Fujita yang berusia 46 tahun, yang mengelola Sakai Seisakusyo di Kakamigahara, Jepang bagian tengah. “Mereka tidak benar-benar memiliki keterampilan yang dapat diterapkan saat membeli perusahaan lain.”
Perusahaan Fujita membuat suku cadang untuk keran dan semikonduktor, dan ia ingin memperluas lebih jauh ke komponen yang bernilai lebih tinggi.
Dalam tanggapan tertulisnya, Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang mengatakan akan terus mendukung usaha kecil dan menengah (UKM) dengan pendanaan dan tindakan lainnya. Perusahaan juga perlu meningkatkan daya beli melalui investasi dan peningkatan produktivitas.
Menurut Kementerian itu, kebangkrutan sekarang dalam tren sedikit meningkat dan telah kembali ke tingkat sebelum pandemi, sementara para pekerja berpindah pekerjaan demi kondisi yang lebih baik, termasuk upah yang lebih tinggi. “Kami akan terus memantau situasi secara ketat untuk memastikan kebangkrutan tidak meningkat pada level tidak wajar yang dapat menyebabkan peningkatan angka pengangguran,” katanya.
Masalah Zombie
Sekitar 251.000 perusahaan menjadi ‘zombie’ tahun lalu, yang berarti laba mereka tidak dapat menutupi pembayaran bunga dalam jangka waktu yang lama, menurut firma riset Teikoku Databank. Ini merupakan angka tertinggi dalam lebih dari satu dekade. Sebagian besar perusahaan memiliki 300 karyawan atau kurang.
Berdasarkan langkah-langkah pemerintah yang dirilis pada bulan Maret, bank didorong untuk membantu membalikkan keadaan perusahaan yang lemah alih-alih terus mendukung mereka dengan pinjaman. Langkah-langkah tersebut tidak secara langsung menyebutkan ‘zombie’ atau “metabolisme ekonomi,” istilah yang digunakan para pembuat kebijakan untuk merujuk pada perusahaan yang lebih kuat menggantikan perusahaan lebih lemah.
Ketika ditanya apakah lebih banyak perusahaan akan dibiarkan bangkrut, salah satu pejabat senior berkata, “Ya, itu benar.” Namun pemerintah “tidak dapat mengatakannya secara eksplisit” karena akan berisiko menimbulkan reaksi keras dari masyarakat yang tidak diinginkan oleh partai berkuasa, pejabat tersebut menambahkan.
“Secara diam-diam, kami melakukan ini, secara bertahap,” kata pejabat itu. “Masa depan Jepang akan suram jika kami tidak dapat meningkatkan produktivitas.”
Kebangkrutan meningkat saat pinjaman jatuh tempo. Hampir 5.000 perusahaan bangkrut antara Januari dan Juni, jumlah tertinggi pada semester pertama dalam satu dekade, menurut Teikoku Databank.
Sementara firma riset kredit Tokyo Shoko Research mengatakan, jumlah kebangkrutan perusahaan di Jepang melonjak 42,9% dari tahun sebelumnya menjadi 1.009 pada bulan Mei. Jumlah bulanan melampaui 1.000 untuk pertama kalinya sejak Juli 2013, saat itu mencerminkan dampak berakhirnya langkah-langkah dukungan pendanaan untuk usaha kecil yang diperkenalkan setelah krisis keuangan global 2008.