Kanal

Obituari: Soni adalah Puisi

Tahun 2014, Soni menciptakan struktur  puisi Sonian yaitu puisi pendek, empat larik dengan pola tuang/ucap 6-5-4-3 suku kata perlarik.

Oleh  : Budhiana Kartawijaya

Soni Farid Maulana… sahabat saya, sang penyair, wartawan Pikiran Rakyat, subuh tadi berpulang ke hadirat Allah swt, dalam usia 60.

Menyesal juga rasanya, dua tiga minggu lalu ada rencana bersama teman-teman untuk menjenguknya yang sedang sakit di Ciamis.

Ciri khasnya adalah tidak pernah melepas jaketnya, sekalipun hari sedang panas. Di kantor dia seorang pendiam, bicara seperlunya. Dia lebih banyak duduk di depan komputer. Selepas menulis berita yang jadi tugasnya sebagai wartawan, Soni lebih banyak menulis puisi. Hampir tiga bulan sekali dia menghasilkan buku puisi. Kalau sudah terbit, dia mengetok pintu ruangan saya. Menyodorkan bukunya.

Soni adalah puisi.

Status medsosnya selalu dalam bentuk puisi. Dan ini pernah mengecoh saya. Suatu ketika statusnya bercerita tentang rasa sakit yang luar biasa.  Saya menengok ke rumahnya. Ternyata dia tidak apa-apa.

“Eta mah puisi atuh!” katanya. “Itu hanya puisi.” (red.)

Suatu hari, dia menulis status tentang sakit. Tentang darah, dan muntah. Status yang indah. Saya biarkan saja… karena itu puisi.

Tapi dari teman-teman saya dapat kabar, bahwa dia memang sakit.

Saya mau nengok, tapi dia keburu sembuh dan nongol di kantor.

Sugan teh puisi eta teh Son. Kudu aya pembeda atuh status asli jeung puisi,” kata saya. “Saya kira puisi, Son. Seharusnya ada pembeda antara status asli dengan puisi.” (red.)

Nya teu bisa dipisah…da urang mah nulisna kitu!” Tak bisa dipisahkan, saya memang begitu bila menulis.” (red.)

Iya….  karena Soni adalah puisi. Dulu saya tak paham puisi, dan menganggap penyair itu cengeng, lebay, dan seterusnya.

Tapi sejak jadi jurnalis awal 1990-an, tuntutan pekerjaan membuat saya harus nempel para budayawan nasional maupun lokal.

Yang menyadarkan saya tentang kekuatan kata, adalah Rendra. Saya terkagum, karena isi ratusan buku, bisa diringkas Rendra dalam satu atau dua bait puisi. Wacana keadilan, bisa direpresentasikan dalam satu puisi.

Soni juga berguru kepada Rendra.

Tahun 1993 saya mulai menulis puisi.

Kadang-kadang saya sodorkan ke Soni.

Son…alus teu?” Son, baguskah?” (red..)

Ah goreng…!” Jelek.” (red.)

Beuh….

Pernah juga saya traktir makan di kantin.

Saya sodorkan lagi puisi saya. Kali saja sekarang bilang bagus, karena udah disogok makan siang. “Ah goreng…tapi aya kamajuan dibandingkeun kamari!” Jelek, tapia da kemajuan dibandingkan kemarin.”

Begitulah di redaksi Pikiran Rakyat. Sekalipun saya atasan dia, urusan kepuisian mah dia masternya. Goreng nya goreng, jelek ya jelek. Belum ada satu pun puisi saya dimuat di Pikiran Rakyat. Padahal saya pemimpin redaksi lho. Kalau kata Soni goreng, ya mau apa dikata.

Tahun 2014, Soni menciptakan struktur  puisi Sonian yaitu puisi pendek, empat larik dengan pola tuang/ucap 6-5-4-3 suku kata perlarik.

    Pantai Teluk Penyu

Mentari Merekah

Ufuk Memerah

Pagi Cerah

Sumringah

(Karya Warsono Abi Azzam)

Puisi sonian kemudian merebak, tidak cuma se-Indonesia, tetapi juga ke Brunei, Malaysia, bahkan negara-negara lain. Sonian sudah menjadi milik dunia.

Soni pensiun dari Pikiran Rakyat pada 2017.  Sebelum pensiun dia pernah punya cita-cita ingin membuat sanggar untuk menebarkan ilmunya. Juga ingin bikin channel Youtube.

Tapi dua hal itu tidak pernah terwujud. Dari Bandung, Soni pindah ke Ciamis. Dari situ saya dengar dia sakit-sakitan karena diabetes.

Soni  sudah pergi menghadap Sang Maha Puitis.

Semoga kamu tenang di alam sana. [  ]

*Dari laman FB Budhiana Kartawijaya, dimuat atas idjin yang bersangkutan.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button