Oleh Fahd Pahdepie*
Sabtu pagi, sehari selepas pemakaman Puang Syafruddin, kenangan tentang sosok istimewa itu menyelinap dalam ingatan. Saya masih ingat senyumnya yang hangat, tawanya yang menggelegar, atau suara baritonnya yang berwibawa. Tepat sebulan lalu, di kantor Dewan Masjid Indonesia (DMI), saya masih sempat menemani beliau makan siang.
Siang itu kami berjalan bersama menuju masjid At-Taqwa di Jalan Sriwijaya. Bersama Bang Muchlis Hasyim, pendiri Inilah.com, saya menjumpai beliau untuk silaturahmi. Beberapa saat menjelang kumandang adzan, kami bergegas menyusuri Jalan Jenggala yang rimbun menuju Jalan Sriwijaya. Saat itu ada seorang Jenderal purnawirawan Polri yang berjalan bersama kami, tamunya Puang Syaf, bercerita sepanjang perjalanan.
“Kalau bukan karena jasa Pak Syaf, saya tidak akan seperti ini, Mas. Saya pertama kali menjadi Kapolda karena didorong beliau. Beliau banyak membina adik-adiknya,” cerita jenderal itu kepada saya.
Saya melirik ke arah Puang Syaf. Beliau hanya tersenyum, ekspresi wajahnya menunjukkan isyarat bahwa itu bukanlah hal yang istimewa. “Kalau nggak jadi, nggak usah ikut Syafruddin. Nggak ada itu, yang ikut saya, nggak pinter,” candanya. Puang Syaf memang selalu rendah hati, meski ia sudah membantu banyak sekali orang. Banyak yang merasa terbantu atau tertolong, tapi itu memang kebiasaan Puang Syaf. Hidupnya untuk menolong orang lain.
Tak lama, kami tiba di masjid. Beberapa sajadah sudah disiapkan. Kami shalat di sayap utara masjid megah itu, area yang cukup tersembunyi dan bersahaja. Saya ingat suatu ketika pernah shalat jumat bersama Bang Muchlis di masjid itu, kami shalat di dalam masjid, waktu itu Bang MHJ–begitu saya menyapanya–berbisik kepada saya, “Biasanya Pak Syaf shalat di situ, Kang. Di dekat pintu yang itu,” katanya sambil menunjuk.
Rupanya ini tempatnya, pikir saya, sambil memperhatikan sekeliling. Berarti Puang Syaf memang ahli masjid, sampai sudah punya tempat sendiri yang ‘masyhur’ di mata orang. Bahkan orang tahu sambil berbisik-bisik, ‘Itu tempatnya Pak Syafruddin. Biasanya beliau di situ’. Berapa banyak sih dari kita yang ‘terkenal’ punya tempat khusus di masjid?
Selesai Jumatan kami kembali ke kantor DMI. Pak Syaf sempat bertanya kepada saya perkembangan kantor media tempat saya berkhidmat. Ia memuji Inilah.com yang menanjak pesat. Rupanya Puang Syaf memperhatikan perkembangan media kami. “Hebat Inilah.com, Fahd. Banyak yang cerita ke saya kalau Inilah.com yang viralkan, bisa goyang percaturan,” candanya, kami tertawa.
Belakangan saya baru tahu ternyata Puang Syaf adalah salah satu pendiri Inilah.com. MHJ bercerita bahwa beliau lah yang pertama kali mendukung pendirian media ini, sekitar 17 tahun lalu. Bahkan Puang Syaf ikut membantu dana, koneksi, akses dan lainnya. Memang saya sudah tahu bahwa Puang Syaf adalah bagian dari keluarga besar Inilah.com, karena begitu dekatnya MHJ dengan beliau, tapi saya baru tahu bahwa Puang Syaf adalah salah satu pendiri.
Setiba di kantor DMI, kami langsung disuguhi makan siang yang enak. Ada nasi padang dengan aneka lauk yang menggugah selera. Saya ingat Puang Syaf bercerita bahwa siang itu ia ingin makan enak. “Tadi pagi sempat jogging sebentar di treadmill. Habis mandi, shalat dhuha, eh ketiduran. Makanya sekarang laper,” ceritanya sambil tertawa. Kalau Puang Syaf sudah bercerita, kami hanya bisa menyimak saking serunya cerita itu. Siang itu beliau bercerita tentang rencananya keliling negara-negara Timur Tengah untuk memperjuangkan beasiswa para penghafal Quran asal Indonesia.
“Kamu duduk di situ, Fahd,” kata Puang Syaf setelah saya mengambil hidangan prasmanan makan siang. “Muchlis, di sini, di samping saya. Nanti di situ ada rektor yang mau datang. Kampus kita.” Ciri khasnya yang lain adalah kerapian dan ketertiban. Puang Syaf selalu detail, termasuk soal urutan tempat duduk. “Sudah sampai di mana Pak Rektor?” Tanyanya kepada ajudan, “Suruh cepat. Makan siang sudah siap.”
Itulah Puang Syaf yang saya kenal. Sosok besar yang penuh teladan dan inspirasi. Sebagai seorang polisi, ia mencapai prestasi yang tinggi, jenderal bintang tiga. Terakhir menjabat sebagai Wakapolri. Puang Syaf juga pernah menjabat Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo periode pertama. Tapi yang paling mengesankan saya adalah kiprahnya di Dewan Masjid Indonesia (DMI) dan Yayasan ASFA. Selepas pensiun, di sana Puang Syaf mendedikasikan hidupnya untuk perjuangan Islam.
Setiap kabar Puang Syaf yang kami terima di kantor redaksi Inilah.com adalah perjalanan beliau menemui pemuka-pemuka agama dan ulama di berbagai belahan dunia. Beliau memperjuangkan ratusan beasiswa Al-Azhar Mesir setiap tahunnya untuk para pelajar Indonesia. Tak terhitung pula berapa masjid yang sudah beliau bangun di tanah air. Terakhir beliau ingin menyusun buku, saya sempat ikut mengusulkan beberapa ide untuk buku itu, di antaranya tentang upaya menjadikan Islam Indonesia sebagai contoh untuk model perdamaian dunia.
Kamis petang, sekitar pukul 18.25 saya mendapatkan panggilan mendadak yang menggelegar dari MHJ. Di ujung telepon suaranya bergetar, “Kang, Pak Syaf meninggal. Serangan jantung.” Saya kaget bukan main. Baru sehari lalu saya membaca posting beliau tentang kunjungannya ke Oman, lalu beberapa jam lalu tentang pertemuannya dengan rektor Al-Azhar. Secepat itu beliau pergi, di usia yang masih tergolong muda, 63 tahun. Ternyata Allah tak sabar memanggil pejuang Islam itu pulang segera ke sisi-Nya.
Saya menyesal tak bisa langsung melayat ke rumah duka, karena sedang berada di luar kota. Saya yakin beliau pulang dalam keadaan yang baik, ‘husnul khotimah’. Banyak orang bersaksi tentang kebaikan Puang Syaf. Bahkan lisan tak perlu diperintahkan untuk membacakan al-Fatihah saat menerima kabar duka kepergian beliau, tanda bahwa Puang Syaf memang orang baik dengan jasa-jasa yang luar biasa untuk umat dan bangsa.
Jumat (21/2/2025) Puang Syaf dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata. Banyak sekali orang yang mengantar beliau ke tempat peristirahatan terakhir. Mereka yang bersaksi bahwa Puang Syaf adalah ayah, suami, kakak, teman, sahabat, kolega yang baik. Tembakan salvo mengiringi jenazah pejuang itu ke liang lahat… diiringi air mata yang berderai, doa-doa yang tak putus.
Sore hari saya kembali berbincang dengan MHJ tentang Puang Syaf. “Sedih banget, Kang. Kaget. Padahal baru beberapa jam sebelumnya teleponan dan masih semangat. Malamnya lewat tengah malam masih telepon dan masih semangat. Katanya beliau mau mengamalkan sunnah Rasul, mau pakai tongkat, karena kakinya juga sudah agak sakit. Ternyata Allah panggil beliau lebih cepat.”
Saya tertegun mendengarkan cerita Bang MHJ tentang Pak Syaf. Tidak semua dari kita akan diceritakan secara baik dan luar biasa oleh orang-orang yang dekat dengan kita, bukan? Apalagi cerita itu begitu tulus dan penuh cinta. “Pak Syaf meninggal setelah berbuka puasa, katanya ingin makan steak. Setelah makan, beliau sesak nafas dan muntah-muntah. Ternyata serangan jantung. Beliau wafat tak lama setelah itu di RSPP.”
Selamat jalan, Puang Syafruddin. Terima kasih atas segala teladan dan inspirasi yang diberikan. Selamat kembali ke haribaan, kembali kepada Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Puang berpulang di usia 63 tahun, di malam Jumat, usia dan waktu berpulangnya Rasulullah.
Alfatihah.
Jakarta, 22 Februari 2025
FAHD PAHDEPIE
CEO Inilah.com