ODGJ Nyoblos Pemilu, Suaranya Dibutuhkan Kesejahteraannya Terlupakan

Sebanyak 22.871 disabilitas mental atau orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) DKI Jakarta untuk Pemilu 2024. Di beberapa daerah para ODGJ ini juga bakal ikut memilih. Bagaimana aturan tentang hak pilih ODGJ dalam pemilu? 

Jumlah keseluruhan Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk Pemilu 2024 di DKI berjumlah 8.252.897 pemilih. “Dari total keseluruhan 8,2 juta jumlah pemilih tersebut, 61.747 di antaranya merupakan penyandang disabilitas termasuk 22.871 disabilitas mental atau orang dengan gangguan jiwa (ODGJ),” kata Fahmi Zikrillah Anggota Divisi Data dan Informasi KPU DKI Jakarta, Selasa (12/12/2023).

KPU DKI memberikan kesempatan kepada ODGJ sebagai pemilih atau memiliki hak suara pada Pemilu 2024. KPU memastikan nanti ada pendampingan kepada ODGJ saat mendatangi tempat pemungutan suara (TPS) pada hari pencoblosan. Dia mencontohkan salah satunya di Jakarta Timur yang terdapat Panti Sosial Bina Laras sekaligus tercatat sebagai TPS Pemilu 2024.

Pemerintah Kota Surabaya bersama KPU juga akan menyediakan TPS di UPTD Liponsos dan UPTD Griya Werdha. Penghuni Liponsos dan Griya Wedha seperti warga terlantar dan ODGJ bisa menggunakan hak suara di Pemilu 2024.

Kepala Dinas Sosial Surabaya, Anna Fajriatin menyampaikan bahwa ini merupakan kebijakan pertama sekali setelah adanya judicial review. “Ini baru pertama kali setelah adanya judicial review, yang mana mereka-mereka ini punya hak untuk memilih dan untuk dipilih. Makanya, KPU bersama kita memfasilitasi mereka untuk menggunakan hak pilihnya nanti,” kata Anna.

Anna menegaskan tidak semua ODGJ akan dimasukkan ke dalam daftar pemilih mengingat setiap dari mereka mempunyai tingkat gangguan jiwa yang berbeda. Maka dari itu, pihaknya harus memilah terlebih dahulu mana penghuni yang memungkinkan dimasukkan ke daftar pemilih.

Mengapa ODGJ Boleh Memilih?

Dibolehkannya ODGJ ikut mencoblos ini memunculkan pro dan kontra. Banyak yang menilai belum saatnya ODGJ ikut pemilu. Untuk melakukan kewajibannya dalam beragama seperti sholat atau datang ke gereja saja mereka masih belum bisa sedangkan saat ini mereka diberi kewajiban untuk mencoblos. Ada pula yang menanggapinya dengan nyinyir. Ketika suaranya dibutuhkan mereka harus ikut pemilu semetara setelah pemilu seperti sebelum-sebelumnya kesejahteraan para ODGJ ini terabaikan. 

Hak untuk memilih bagi ODGJ dijamin dalam UUD 1945, UU HAM, UU Kesehatan, dan UU Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas. ODGJ dalam pengalaman kepemiluan di Indonesia, tidak seluruhnya menggunakan hak pilih, meski sudah terdata sebagai pemilih. Salah satu persoalan yang dihadapi saat hari pemungutan suara, mereka tidak mampu hadir dan tidak mampu menggunakan hak suaranya, seperti pemilih normal.

Berdasarkan UU Pemilu, masyarakat yang memiliki hak pilih harus memenuhi enam syarat, yakni warga negara Indonesia, berusia 17 tahun, tidak sedang terganggu jiwa atau ingatannya, tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, berdomisili di wilayah administratif pemilih yang dibuktikan dengan KTP elektronik, dan tidak menjadi anggota TNI atau Polri.

Tidak sedang terganggu jiwa atau ingatan menjadi syarat sebagai pemilih, sempat menimbulkan polemik menjelang Pemilu 2014, dan kembali menjadi perbincangan politik menjelang Pemilu 2019. Kini persoalan itu muncul kembali terkait posisi orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dalam Pemilu 2024.

Pada Pemilu 2014, penyelenggara pemilu memberi hak kepada ODGJ untuk memilih. Kebijakan itu semata-mata mengakomodasi hak ODGJ sebagai warga negara. Namun pada saat itu, tidak ditemukan kategori orang yang menderita penyakit jiwa seperti apa yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan memilih saat pemilu. Penggunaan hak pilih oleh pemilih ODGJ dikembalikan pada masing-masing individu untuk digunakan atau tidak.

Kemudian Pemilu 2019, Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan syarat “tidak sedang terganggu jiwa atau ingatan” bertentangan dengan konstitusi, sepanjang frasa terganggu jiwa atau ingatan tidak dimaknai sebagai mengalami gangguan jiwa atau ingatan permanen menurut profesional bidang kesehatan. Keputusan MK tersebut menjadi pedoman bagi jajaran KPU RI untuk menetapkan ODGJ sebagai pemilih.

Gangguan Jiwa Memiliki Berbagai Jenis

Gangguan jiwa merupakan permasalahan internasional yang apabila tidak ditangani akan cenderung meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2013 menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun ke atas sebesar 6% atau sekitar 14 juta orang, sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat seperti skizofrenia adalah 1,7 per 1000 penduduk atau sekitar 400.000 orang. 

Sementara Kementerian Kesehatan pada Triwulan II tahun 2022 mencatat sebanyak 4.304 ODGJ di Indonesia hidup dengan cara dipasung oleh keluarga dan kerabatnya. Jumlah tersebut menurun dibanding tahun 2019 yang mencapai 4.989 orang. Tahun 2020 jumlah ODGJ di Indonesia mencapai 6.452 orang, dan tahun 2021 sebanyak 3.223 orang.

Menurut American Phsychiatric Association, gangguan jiwa merupakan kondisi kesehatan di mana individu tersebut mengalami perubahan dalam pola pikir, emosi, atau perilaku maupun gabungan dari ketiga perubahan tersebut. Gangguan jiwa berhubungan dengan distres atau masalah dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau masalah keluarga. 

Gangguan jiwa meliputi berbagai masalah dengan tanda gejala yang berbeda. Sementara menurut WHO, secara umum, gangguan jiwa ditandai dengan beberapa kombinasi dari pola pikir abnormal, emosi, perilaku, dan hubungan dengan yang lain. Sedangkan gangguan jiwa menurut Kemenkes RI adalah suatu perubahan pada fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, sehingga dapat menimbulkan penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam melaksanakan peran sosial.

Gangguan jiwa dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor biologi yang meliputi otak, sistem endokrin, genetik, sensori, dan faktor ibu selama masa kehamilan. Juga faktor psikologis yang meliputi pengalaman awal, proses pembelajaran, dan kebutuhan dalam hidup. Ada juga faktor sosial budaya yang meliputi stratifikasi sosial, interaksi sosial, keluarga, perubahan sosial, dan sosial budaya itu sendiri, serta yang terakhir adalah faktor lingkungan.

WHO membagi gangguan jiwa menjadi lima jenis. Pertama adalah depresi yang merupakan gangguan mental yang umum dan salah satu dari penyebab utama disabilitas di dunia. Selain itu, depresi juga merupakan penyebab utama seseorang melakukan bunuh diri. Secara global, diperkirakan 350 juta orang mengalami depresi. Depresi ditandai dengan perasaan bersedih, perasaan putus asa, pesimis, perasaan bersalah, tidak berharga, kesulitan berkonsentrasi, mengingat dan membuat keputusan, pikiran bunuh diri bahkan percobaan bunuh diri. 

Banyak faktor yang dapat menyebabkan individu mengalami depresi seperti faktor genetik, trauma, kehilangan orang yang berharga, ketidakmampuan menjalin hubungan atau situasi lainnya yang dapat menyebabkan stres. Depresi seringkali terjadi pada dewasa awal antara usia 20 sampai 30 tahun. Depresi dapat ditangani menggunakan obat-obatan berupa antidepresan dan psychotheraphy atau talk therapy (National Institute of Mental Health).

Jenis kedua adalah Gangguan Bipolar. Gangguan bipolar dialami oleh lebih dari 60 juta orang di dunia. Bipolar terdiri dari dua episode manik dan depresi yang biasanya diperantarai oleh episode normal. Episode manik ditandai dengan peningkatan mood, aktifitas berlebih, harga diri meningkat, penurunan kebutuhan untuk tidur. Orang yang mengalami episode manik tanpa mengalami episode depresi juga di klasifikasikan mengalami gangguan bipolar.

Sementara yang ketiga adalah Skizofrenia. Skizofrenia diderita oleh lebih dari 21 juta jiwa di dunia. Skizofrenia ditandai dengan distorsi pikiran, perspesi, emosi, bahasa, dan perilaku. Skizofrenia di tandai dengan adanya halusinasi penglihatan, pendengaran, atau merasakan sesuatu yang tidak ada. Gejala lain dari skizofrenia dapat berupa delusi, dan juga perilaku abnormal seperti penampilan aneh, bicara tidak koheren, berkeliaran, bergumam atau tertawa sendiri, dan pengabaian diri. Skizofrenia dapat ditangani dengan penggunaan obat-obatan dan dukungan psikososial.

Jenis keempat dari gangguan jiwa adalah Demensia. Diperkirakan sekitar 47,5 juta orang mengalami demensia. Demensia biasanya bersifat kronik atau progresif dimana terdapat penurunan fungsi kognitif (kemampuan memproses pikiran) melampaui apa yang dapat diharapkan dari penuaan normal. Demensia mempengaruhi memori, proses pikir, orientasi, kalkulasi, kapasitas belajar, bahasa, dan pengambilan keputusan. Kerusakan fungsi kognitif umumnya disertai dan kadang kadang didahului dengan penurunan pengendalian emosi, perilaku sosial, atau motivasi.

Sementara yang kelima adalah Gangguan Tumbuh Kembang. Gangguan tumbuh kembang biasanya terjadi pada anak kecil tetapi dapat bertahan sampai dewasa, menyebabkan kerusakan, atau penundaan fungsi berhubungan dengan maturitas sistem syaraf pusat.

Untuk penderita ODGJ yang sedang atau berat memang agak sulit melakukan pemilihan suara. Petugas juga akan mengalami kesulitan untuk membantunya. Karena itu, KPU RI perlu mengatur secara tegas ODGJ yang berhak memiliki hak suara berdasarkan klasifikasi atau tingkat kesehatan jiwa. Untuk mengklasifikasikan hal tersebut, KPU RI tidak dapat memutuskan sendiri, melainkan harus melibatkan ahli kesehatan jiwa.

Yang tidak boleh dilupakan adalah siapapun yang terpilih entah itu presiden/wakil presiden maupun anggota legislatif di tingkat daerah hingga pusat, tak boleh melupakan untuk mendorong kesejahteraan kaum disabilitas termasuk ODGJ. Jangan sampai mereka dibutuhkan suaranya namun biasanya terbuang ketika sudah terpilih.

Sumber: Inilah.com