Yang jelas, saat peluit kereta menjerit dari kejauhan, ia berdiri pelan, meninggalkan gelas kopi yang nyaris tak tersentuh. Sempat orang-orang berteriak ketika ia seolah hendak menyongsong datangnya kereta. Lalu, semua selesai dalam hitungan detik, saat langkahnya terhenti di tengah rel, dan tiba-tiba membaringkan tubuh untuk dilindas puluhan roda besi yang mencacahnya, meninggalkan trauma yang entah kapan bisa hilang dari kepala orang-orang di warung itu.
Menurut beberapa saksi mata, pria yang belakangan diketahui berusia 38 tahun itu lama duduk di warung kopi, dekat perlintasan rel kereta api. Matanya kosong saat menatap gelas kopi yang sudah dingin. Sejak datang, ia tak pernah terlibat dalam obrolan yang kerap tergelar di warung kopi yang biasa menjadi tempat berkumpulnya kaum marjinal itu. Hanya berdiam diri, seolah menunggu sesuatu yang hanya ia sendiri yang tahu.
Jaket hijau khas ojol yang dikenakannya tampak kusut, seperti dirinya yang gampang dinilai orang lain. Mungkin saja ia terbebani cicilan motor—barang produksi baginya–, atau uang sekolah anak, atau pembayar sewa rumah petak, atau butek memikirkan penghasilan harian yang tak seberapa. Yang jelas, saat peluit kereta menjerit dari kejauhan, ia berdiri pelan, meninggalkan gelas yang nyaris tak tersentuh. Sempat orang-orang berteriak ketika ia seolah hendak menyongsong datangnya kereta. Lalu, semua selesai dalam hitungan detik, saat langkahnya terhenti di tengah rel, dan tiba-tiba membaringkan tubuh untuk dilindas puluhan roda besi yang mencacahnya, meninggalkan trauma yang entah kapan bisa hilang dari kepala orang-orang di warung itu.
Tragedi yang menimpa—katakanlah–HK pada 11 Juli 2024 itu bukanlah kejadian pertama. Kasus serupa pernah pula terjadi di berbagai daerah; seorang ojol di Jakarta ditemukan gantung diri di kamar kos karena terlilit utang. Sementara di Medan, seorang pengemudi lain nekat menenggak racun karena tekanan ekonomi yang tak kunjung usai. Fenomena tersebut membuka mata kita, di balik kenyamanan layanan transportasi online yang dinikmati publik, ada kisah getir para pengojol yang jarang terungkap ke permukaan.
Kontras dengan Kondisi Pengojol Luar Negeri
Di era gig economy—ekonomi kontrak jangka pendek– yang menjanjikan fleksibilitas, para pengemudi ojol justru hidup dalam ketidakpastian. Penghasilan mereka terus tergerus potongan aplikator yang mencapai 15-20 persen. Konon, jika aplikator menggelar program diskon-diskon buat konsumen, pelanggan yang punya hati jangan keburu senang. Mungkin saja saat itu Anda sejatinya ditarik menjadi sekutu para aplikator kapitalistik, karena yang “menutup” diskon itu justru para pengojol. Kaum alit!
Ketua Umum Asosiasi Pengemudi Ojek Daring Garda Indonesia, Igun Wicaksono, menyebut kebijakan aplikator sering kali tidak berpihak pada pengemudi. Nasib nelangsa para pengojol itu kian nambah-nambah manakala pemerintah yang koppig justru bikin mereka tambah kisruh. Misalnya, seperti tahun lalu, saat ada rencana kebijakan pemerintah melakukan pemotongan iuran Tapera sebesar tiga persen dari penghasilan bulanan mereka.
Sengkarut Tunjangan Hari Raya (THR) tahun lalu, juga menjadi bukti betapa rendahnya perhatian aplikator terhadap kesejahteraan pengemudi. THR—yang dinanti semua orang hanya sampai malam Lebaran karena setelah itu nyaris tak bermakna– justru baru dibahas setelah Lebaran usai. Padahal kucing buduk jga tahu, kebutuhan pengemudi saat itu lebih banyak untuk merayakan hari besar agama, bukan buat acara apa pun sepekan setelahnya.
Nah, nasib para pengojol kita itu kontras dengan kondisi para rekan mereka di beberapa negara maju. Di sana pengemudi ojol jauh lebih baik karena adanya regulasi yang melindungi mereka. Itu karena pemerintah mereka, yang punya kewajiban menyediakan lapangan kerja, tidak langsung bungah amarwatasuta alias kelebihan gembira manakala kewajiban itu seolah ditangani swasta. Pemerintah mereka punya malu dan benar-benar bekerja.
Spanyol misalnya, telah menyepakati status driver ojol sebagai pekerja tetap untuk perusahaan seperti Deliveroo dan UberEats. Pemerintah dan serikat pekerja meneken komitmen bersama untuk menetapkan undang-undang pertama di Eropa yang memperjelas status mereka sebagai karyawan tetap.
Italia mengambil langkah serupa. Pengadilan Italia menetapkan bahwa para driver dan kurir UberEats serta layanan sejenis harus diperlakukan sebagai karyawan dengan gaji tetap, Artinya, meteka juga mendapatkan jaminan asuransi, memiliki akses penuh akan perlengkapan kerja yang memadai, seperti helm, sarung tangan, dan masker wajah.
Di Inggris, 70.000 pengemudi Uber di sana telah mendapatkan status karyawan tetap setelah Uber kalah dalam pertempuran hukum di Mahkamah Agung Inggris. Mereka kini berhak atas gaji minimum sebesar 8,72 poundsterling per jam, tunjangan pensiun, dan hak cuti berbayar.
Di Prancis, tahun lalu pemerintah telah menetapkan 4.500 driver ojol sebagai karyawan tetap dengan hak atas upah minimum dan jaminan sosial. Pemerintah Prancis memang telah lama berupaya memastikan bahwa pekerja sektor transportasi online mendapatkan perlindungan yang layak.
Di Amerika Serikat, negara bagian California telah mengesahkan undang-undang yang mewajibkan perusahaan ride-hailing seperti Uber dan Lyft untuk memperlakukan pengemudi mereka sebagai pekerja tetap dengan hak penuh atas gaji minimum dan asuransi.
Ah, ngapain juga jauh-jauh mencari benchmark. Negara-negara tetangga yang tingkat agregat kesejahteraannya tak laiknya bumi dengan langit dengan Indonesia pun banyak yang bisa dicontoh.
Di kawasan ASEAN, beberapa negara telah mengatur kesejahteraan pengemudi ojol dengan lebih baik dibandingkan Indonesia. Di Malaysia, pemerintah telah menguji coba regulasi yang memungkinkan pengemudi ojol mendapatkan kontrak kerja dengan gaji tetap, disertai perlindungan sosial seperti asuransi dan tunjangan kesehatan.
Di Thailand, pemerintah menetapkan tarif dasar yang jelas serta mengharuskan perusahaan ride-hailing untuk menyediakan asuransi bagi pengemudi. Regulasi ini bertujuan untuk memberikan perlindungan lebih bagi pengemudi sekaligus menjaga stabilitas ekonomi sektor transportasi online di negara tersebut.
Vietnam juga memiliki kebijakan yang relatif lebih berpihak kepada pengemudi ojol. Pemerintah mewajibkan perusahaan seperti Grab untuk memberikan jaminan kesehatan serta insentif tambahan bagi pengemudi yang telah bekerja dalam jangka waktu tertentu. Hal itu memberikan kepastian dan motivasi lebih bagi para pekerja sektor ini.
Dibiarkan Minim Regulasi
Berbanding terbalik dengan kondisi di negara-negara tersebut, di Indonesia, regulasi yang ada masih sangat timpang. Potongan dari aplikator yang tidak sebanding dengan biaya operasional, tuntutan pelanggan yang semakin tinggi, serta potensi perlakuan diskriminatif dalam pemberian subsidi BBM, menempatkan ojol di posisi paling rentan. Kementerian ESDM bahkan sempat berencana menghapus subsidi BBM untuk ojol, dengan alasan mereka bukan transportasi publik resmi. Padahal, kenyataannya, jutaan masyarakat bergantung pada layanan ini setiap hari. Kebijakan ini hanya menambah beban para pengemudi yang sudah berjuang keras untuk bertahan hidup.
Dengan ketimpangan daya tawar yang ada, nasib para pengojol kita boleh dibilang laiknya mengalami perbudakan, bahkan di era pasca-modern ini. Bukankah ironis manakala kebutuhan publik akan sarana transportasi terpenuhi, aplikator menangguk untung dari waktu ke waktu, sementara yang dinikmati para pengojol hanya nasib tragis?
Alternatif Solusi: Kembali ke Kemanusiaan
Perbudakan, dalam segala bentuknya, harus segera dihapuskan dari bumi pertiwi. Pemerintah perlu segera mengambil langkah konkret untuk memastikan kesejahteraan para ojol. Beberapa langkah yang bisa diambil antara lain:
-Regulasi yang Jelas dan Adil. Pemerintah harus menetapkan aturan yang mengakui ojol sebagai pekerja formal dengan hak yang setara.
-Subsidi dan Insentif. Diberikan bantuan berupa subsidi BBM dan insentif harian agar pengemudi dapat hidup layak.
-Pengawasan terhadap Aplikator. Potongan yang diberlakukan harus lebih transparan dan tidak membebani pengemudi secara sepihak.
-Peningkatan Kesejahteraan, melalui skema jaminan sosial yang bisa diakses oleh semua pengemudi ojol tanpa terkecuali.
-Konsolidasi dan Serikat Pekerja. Pengemudi harus diberikan hak untuk membentuk serikat pekerja guna memperjuangkan hak-hak mereka di hadapan aplikator.
Ala kulli hal, kisah HK di Malang serta sekian banyak ceita tragis lain tentang para pengemudi ojol, seharusnya menjadi cambuk bagi semua pihak untuk berbenah. Pengemudi ojol bukan sekadar roda yang diminta menggerakkan ekonomi digital. Mereka manusia yang berhak atas kehidupan yang lebih baik. Sebab, di era pasca-modern ini, eksploitasi manusia oleh manusia seharusnya telah menjadi kenangan masa lalu, bukan kenyataan yang terus berulang. [dsy]