Tak terasa momen Lebaran Idul Fitri 2025 sudah dekat. Bagi para karyawan dan pekerja formal, Tunjangan Hari Raya (THR) adalah hak yang banyak dinantikan. Namun, bagaimana dengan pekerja lepas seperti mitra pengemudi ojek online (ojol) dan kurir yang beroperasi di bawah ekonomi gig?
Seiring berkembangnya ekonomi digital, muncul perdebatan terkait apakah mitra pengemudi harus diklasifikasikan sebagai pekerja tetap yang berhak atas THR, atau tetap dalam hubungan kemitraan sebagaimana yang berlaku saat ini. Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) mendesak pemerintah agar menetapkan regulasi yang mewajibkan perusahaan ride-hailing memberikan THR dalam bentuk tunai, bukan sekadar insentif.
Namun, kebijakan ini berpotensi menjadi beban tambahan bagi perusahaan yang masih berjuang untuk mencapai profitabilitas. Jika diwajibkan, biaya tambahan seperti THR bisa berdampak langsung pada model bisnis perusahaan, memengaruhi tarif layanan, insentif mitra, hingga berujung pada pemutusan hubungan kerja secara massal.
Berdasarkan data dari SBM ITB 2023, sektor ekonomi gig menyumbang sekitar Rp 382,62 triliun atau 2% dari total PDB Indonesia tahun 2022. Dalam kasus serupa di Inggris, ketika Uber diwajibkan membayar tunjangan tambahan bagi mitranya, harga layanan naik 10-20%, yang mengakibatkan permintaan turun hingga 15%. Di Spanyol, regulasi ketenagakerjaan yang lebih ketat membuat beberapa platform ride-hailing mengurangi jumlah pengemudi hingga 50%.
Di Indonesia, tuntutan THR bagi mitra pengemudi menuai pro dan kontra. Agung Yudha, Direktur Eksekutif Modantara, menyoroti bahwa industri ride-hailing telah berkontribusi pada kesejahteraan mitra melalui berbagai program, seperti bantuan modal usaha dan beasiswa. “Berdasarkan data internal perusahaan ride-hailing, sebagian besar mitra lebih memilih fleksibilitas kerja dibandingkan status karyawan tetap,” ujarnya.
Menurut Prof. Dr. Aloysius Uwiyono dan ekonom Wijayanto Samirin, mitra pengemudi tidak memenuhi unsur hubungan kerja yang diatur dalam regulasi ketenagakerjaan.
“Berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan, hubungan kemitraan tidak memiliki kewajiban pembayaran THR karena tidak ada ikatan kerja tetap,” kata Wijayanto dalam keterangannya ke media baru baru ini.
Sementara itu, mantan Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri mengingatkan bahwa kebijakan populis tanpa dasar hukum dapat mengganggu iklim investasi dan berpotensi mengancam keberlanjutan industri digital. “Jika regulasi ini diterapkan secara luas tanpa kajian mendalam, ada potensi peningkatan biaya operasional hingga 20%, yang bisa berdampak pada tarif layanan dan pengurangan jumlah mitra,” jelasnya.
Setiap platform ride-hailing memiliki pendekatan unik dalam mendukung kesejahteraan mitra mereka. Grab menawarkan berbagai keuntungan melalui GrabBenefits, termasuk asuransi kesehatan, diskon servis kendaraan, akses kredit, serta beasiswa untuk anak mitra.
Sementara Gojek menekankan perlindungan mitra dengan program loyalitas, asuransi kecelakaan, dan bantuan finansial lainnya. Lalamove, di sisi lain, mengandalkan bonus misi dan insentif bagi pengemudi berperforma tinggi, serta bekerja sama dengan BPJAMSOSTEK untuk perlindungan sosial.
Dengan tuntutan yang terus berkembang, dialog terbuka antara pemerintah, perusahaan, dan mitra kerja menjadi sangat penting untuk mencari solusi yang adil bagi semua pihak. Hanif Dhakiri menekankan bahwa regulasi yang terlalu kaku dapat menghambat pertumbuhan industri.
“Sektor ini telah menyerap lebih dari 1,8 juta pekerja di Indonesia. Jika beban operasional meningkat signifikan, bisa terjadi pengurangan jumlah mitra hingga 10-15%,” pungkasnya.