Kanal

Optimisme Konstan Azyumardi Azra

Sepanjang dekade 2000-an, kita berani memastikan tidak ada sarjana Indonesia yang melampaui prestasi Azyumardi dalam konteks undangan ke forum-forum mancanegara. Ia begitu sering tampil di forum-forum global di Amerika, Eropa, juga Jepang dan Asia Tenggara, dengan menyuarakan nada sama: bahwa Islam adalah agama damai yang sejalan dengan semangat kemanusiaan mondial, dan untuk itu orang luar perlu melihat the shining Islamic example of Indonesia, sebuah bukti kecocokan Islam dan demokrasi, bukan terpaku hanya ke Timur Tengah.

Oleh   : Hamid Basyaib

YAYASAN ROCKEFELLER  mengundang duapuluhan orang dalam diskusi meja bundar yang menyenangkan di tepi Danau Bellagio yang indah di utara Milan, Italia. Semua peserta adalah aktivis dan sarjana Islam dari sejumlah negara non-Arab. Yayasan New York itu ingin mendengar suara Islam dari pinggiran, bukan dari dunia Arab, “pusat” yang selama ini diidentikkan dan menjadi suara tunggal Islam yang didengar di Barat.

Saya senang karena turut diundang bersama tiga orang lain dari Indonesia. Saya semakin gembira karena Azyumardi Azra menjadi salah satu pembicara utama atau pemantik diskusi kecil yang hangat itu. Kami semua menginap di bekas kastil bangsawan paling ternama Italia, Medici.

Dari jendela kastil indah yang dibangun pada 1601 itu, yang bertengger di punggung bukit kecil dikepung taman asri, bekas milik sebuah keluarga yang disebut menjadi penggerak penting Renaissance Eropa (kemudian menyebar ke seluruh dunia), kita dapat melihat biara tua yang indah di bawah sana, juga perahu-perahu kecil dan beberapa rombongan angsa hilir-mudik di danau yang sering berkabut.

Panitia Rockefeller tampak sangat berhati-hati dalam menyelenggarakan diskusi. Mereka seakan ingin menunjukkan bahwa mereka semata hanya menyediakan forum bagi peserta, dan membiarkan mereka bicara sepuasnya. Moderator tetap pun dipilih Surin “Abdul Halim” Pitsuwan, orang Melayu Pattani yang pernah menjabat menteri luar negeri Thailand. Rockefeller was all ears, begitu kira-kira pesan yang mau disampaikan. Yayasan Amerika itu tak ingin terkesan menggiring-giring opini.

Di akhir 2005 itu ekor peristiwa 9/11 masih sangat terasa. Pemerintah Amerika sedang terus menerapkan kebijakan yang cenderung draconian bagi negara-negara Muslim, sambil memburu aktivis dan wajah-wajah bertampang Timur Tengah di dalam negeri.

Dengan bayangan peristiwa pengeboman menara WTC dan seluruh kebijakan pemerintah Amerika yang mengikutinya, diskusi Bellagio berjalan datar dan mulai membosankan. Kehati-hatian segera terasa menjadi norma standar.

Semua peserta–dari Afrika Selatan, Tanzania, Malaysia, Filipina dll; juga seorang aktivis-pengusaha kaya dari Kenya — seakan berlomba menyatakan bahwa “Islam kami” berbeda dari Islam Arab.

Membuka diskusi di hari kedua, Azyumardi Azra menekankan hal senada. Makalahnya dibuka dengan memperkenalkan sejarah, politik, dan geografi Republik Indonesia. Ia mengakui kuatnya pengaruh ulama dan gerakan-gerakan sosial Islam dari Timur Tengah, khususnya Ikhwanul Muslimin beserta tokoh-tokoh terpentingnya seperti Sayyid Qutb, di Indonesia.

Seiring keterbukaan politik berkat Reformasi, pengaruh itu kian terasa karena kelompok-kelompok yang selama ini menganut Qutbisme, juga grup-grup seperti Hizbut Tahrir, menjadi terbuka menampakkan pengaruh itu. Tapi, kata Kak Edi, (begitulah ia disapa oleh para juniornya di UIN Ciputat), yang melanda Islam Indonesia bukan hanya ide-ide radikal semacam itu, melainkan juga gagasan pemikir Pakistan yang menjadi profesor di Universitas Chicago, Fazlur Rahman. “Beliau memiliki dua murid utama di Indonesia, Nurcholish Madjid, dan Syafii Maarif,” katanya. Berkat mereka berdualah ide-ide Rahman menyebar di Indonesia. Keduanya waktu itu baru kembali dari Chicago.

Mendengar spirit Azyumardi yang saya anggap sekadar ingin menenteramkan pihak luar, dengan menekankan besarnya pengaruh Rahman melalui kedua muridnya itu — dan karenanya di Indonesia ada ide pengimbang yang andal untuk gejala radikalisme — saya “terpaksa” menghangatkan diskusi yang datar selama dua hari itu dengan menyanggah deskripsinya.

Meski pengagum berat Fazlur Rahman, saya merasa harus mengakui bahwa pengaruhnya kecil saja di Indonesia. Setidaknya sangat tak sebanding dengan pengaruh Qutbisme dan sejenisnya di kalangan gerakan-gerakan Islam Indonesia. PKS, partai yang punya suara signifikan di parlemen, adalah penganut garis Wahabbian dan Ikhwan, bukan “neo-modernisme” Fazlur Rahman.

Azyumardi menyanggah balik dengan cukup sengit. Istirahat makan siang membuat kejengkelannya tertunda — lalu kembali dituangkannya saat kami bertemu di depan kamarnya ketika ia akan salat zuhur. Dia agak emosional mendebat pendapat saya. (Ketika diskusi menghangat, anggota panitia di samping saya, seorang Amerika, berbisik, “My friend, ironis juga, ya, orang-orang ini berdiskusi tentang Islam di gedung milik Johnny Walker.” Kastil Medici memang sudah lama dibeli oleh perusahaan wiski itu, dan sering dipinjamkan kepada lembaga-lembaga seperti Rockefeller).

Tapi, saya bilang, nantilah kita lanjutkan debat ini; sekarang saya harus ke kafe di jalan ujung Bellagio bersama Mona Abaza, dosen sosiologi di Universitas Amerika Kairo yang kebetulan sedang beresidensi sebulan di Bellagio. “Oh, ada Mona Abaza?”tanyanya. “Tunggu, ya. Saya ikut!” Saya gembira melihatnya kontan melupakan debat kami, dan kembali menjadi “Kak Edi” bagi saya, juniornya; bukan lagi Profesor Azra yang angker.

Ia masuk ke kamar untuk salat. Saya langsung menuju kafe. Saya memilih untuk menikmati kopi sore berdua saja dengan Mona yang jelita (ia wafat di Berlin, Juli tahun lalu karena kanker).

*

Azyumardi Azra menandai karir intelektualnya di luar kampus dengan mengedit buku kumpulan kolom Fachry Ali di harian Kompas. Ia tampaknya menjadikan Fachry, kakak kelasnya setahun di IAIN (UIN) Ciputat, sebagai model bagi karir intelektualnya; mungkin karena Nurcholish Madjid terasa terlalu jauh dari segi pergaulan maupun generasi. Fachry Ali adalah model yang realistis.

Sebagai anak muda di usia pertengahan 20-an, Fachry Ali, anak Aceh yang sangat memahami sosiologi Betawi, sudah sukses menembus halaman opini Kompas, yang kala itu parameter dan altar penahbisan seorang intelektual-penulis Indonesia. Kecemerlangan Fachry memang seperti tak berpreseden: seorang mahasiswa dari sebuah sekolah tinggi Islam, yang kala itu pinggiran dan jauh kalah gengsi dibanding UI dan universitas-universitas besar lainnya, seakan tiba-tiba menyeruak dan berhasil merebut tempat di arena intelektual nasional yang didominasi para sarjana dari kampus-kampus sekuler.

Antologi Fachry Ali yang disunting Azyumardi itu diterbitkan oleh penerbit P2M Yogya pimpinan Amrullah Achmad; saya mengetahui prosesnya karena di awal 1980-an itu hampir tiap hari mengunjungi kantor lapang yang menyenangkan bagi mahasiswa yang serba kekurangan seperti saya.

Rupanya sejak itu tekad Azyumardi semakin mantap untuk menempuh karir akademis. Peluang besar muncul ketika Menteri Agama Munawir Sjadzali mengeluarkan kebijakan mengejutkan: sarjana Islam sebaiknya mulai belajar di Barat, tidak lagi menjadikan Timur Tengah sebagai kiblat akademis.

Belajar Islam di Barat, begitulah spirit pesan Menteri Munawir, akan membuat mahasiswa mampu berpikir analitis, memungkinkan mereka belajar dengan metode ilmiah yang sistematis. Khazanah pemikiran Islam di Timur Tengah memang sangat kaya, tapi mereka tidak mampu mengolah limpahan bahan itu karena tidak memiliki metode ilmiah.

Pada umumnya semangat besar di kalangan ulama di sana masih sangat diwarnai sentimen anti “Orientalis” — meski di saat yang sama sangat mengandalkan hasil studi-studi mereka di bidang hadis atau tokoh-tokoh sufisme dan filosof klasik Islam.

Studi agama diperlakukan sebagai orientasi iman, dan karenanya dipelajari tanpa didahului dengan pengambilan jarak akademis-objektif yang memadai. Agama pertama-tama dilihat sebagai doktrin ideologis, bukan objek riset kritis dengan perangkat metodologis yang umum berlaku bagi semua objek keilmuan di semua bidang.

Azyumardi masuk gerbong pertama proyek ini bersama antara lain Bachtiar Effendy (belajar politik di Universitas Ohio), Din Syamsudin (belajar Islam di Universitas California), Komaruddin Hidayat (ke Turki), dan Amin Abdullah (juga ke Turki).

Memang jauh sebelumnya sudah ada sarjana Islam yang belajar ke Barat, seperti H.M Rasjidi (Prancis dan Kanada), Harun Nasution (Kanada), Mukti Ali (Kanada), bahkan Nurcholish Madjid (Amerika). Tapi kepergian mereka di tahun 1950-an, 60-an dan 70-an itu karena inisiatif pribadi, bukan bagian dari program pemerintah yang digariskan oleh seorang menteri agama.

Maka Azyumardi dapat dikatakan bagian dari generasi emas sarjana kontemporer Islam, khususnya dari UIN Ciputat, yang berkesempatan dididik di universitas bergengsi di Barat (Amerika). Ia belajar sejarah Islam di Universitas Columbia, mulai strata S2 hingga S3. Ia membuktikan kebenaran keyakinan Menteri Munawir. Ia lulus dari Columbia dengan disertasi gemilang yang kemudian menjadi karya klasik tentang jaringan ulama Nusantara dan Timur Tengah di abad ke-17 dan 18 — sebuah studi yang mengharuskan ketekunan ekstra.

Tapi beasiswa pemerintah ternyata kurang. Penulisan disertasinya macet karena kehabisan biaya. Ia meminta tambahan dari Ford Foundation. Alan Feinstein, yang waktu itu manajer FF, bercerita bahwa bagi Azyumardi dana dari yayasannya lebih dari cukup, sehingga sebagian ia manfaatkan untuk naik haji. Jadi, kata Feinstein, sebagian pahala haji itu ia dapatkan juga — meski bagian terbesarnya tetaplah menjadi berkah bagi Azyumardi.

*

Sukses Azyumardi menandai sebuah era baru intelektual IAIN yang kehadirannya kemudian sangat mewarnai jagat pemikiran sosial-politik nasional, dan dapat dikatakan makin jauh meninggalkan reputasi para intelektual dari universitas-universitas sekuler. Ini gejala yang luar biasa diukur dari posisi pinggiran Ciputat — juga secara geografis, yang masuk Provinsi Banten, bukan Jakarta. Generasi-generasi sarjana UIN di bawah Azyumardi bermunculan dengan sangat subur; mereka bertebaran ke universitas-universitas Barat, termasuk Australia.

Dan dengan berubahnya IAIN menjadi universitas (UIN) di masa Azyumardi menjadi rektor di Ciputat (1998-2006), bidang kajian para dosen muda yang dikirim belajar ke luar negeri pun makin beragam, dengan ilmu politik menjadi primadona. Generasi Azyumardi seolah membukakan jalan lapang bagi mereka, dengan atau tanpa kelanjutan formal dari kebijakan Menteri Munawir Sjadzali.

Arena pemikiran politik Indonesia kemudian diwarnai oleh junior-junior Azyumardi seperti Saiful Mujani, Ali Munhanif hingga generasi di bawahnya lagi seperti Burhanudin Muhtadi dan Saidiman Ahmad. Memang tak semua anak-anak Ciputat itu meraih sukses gemilang, bahkan setelah mendapat peluang emas belajar di Amerika. Tapi secara umum kesuburan produktivitas Ciputat, tempat lahirnya Formaci, kelompok studi yang tangguh dan militan, menghadirkan potret baru yang menggembirakan.

Inspirasi UIN Ciputat juga melanda semua UIN lain, terutama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang sejak lama memang menempati posisi terpandang, selain UIN Syarif Hidayatullah Ciputat Jakarta.

*

Karir dan reputasi Azyumardi terus menanjak. Di tengah sayupnya suara Islam moderat di antara gemuruh kelantangan dan keterbelakangan wacana Islam abad 21 yang terus meningkahi laju perkembangan global, Azyumardi seakan tak kenal letih untuk menyuarakan Islam yang diyakininya, dengan argumen yang kurang-lebih akademis.

Sepanjang dekade 2000-an, kita berani memastikan tidak ada sarjana Indonesia yang melampaui prestasi Azyumardi dalam konteks undangan ke forum-forum mancanegara. Ia begitu sering tampil di forum-forum global di Amerika, Eropa, juga Jepang dan Asia Tenggara, dengan menyuarakan nada sama: bahwa Islam adalah agama damai yang sejalan dengan semangat kemanusiaan mondial, dan untuk itu orang luar perlu melihat the shining Islamic example of Indonesia, sebuah bukti kecocokan Islam dan demokrasi, bukan terpaku hanya ke Timur Tengah.

Kancah akademis mancanegara seperti berlomba ingin mendengar apa yang sedang terjadi di Indonesia, negeri berpenduduk Muslim terbesar dan satu-satunya yang menjalankan demokrasi, tetapi selalu kurang terdengar di tengah keriuhan suara Islam Timur Tengah. Kekosongan itu berhasil diisi oleh Azyumardi dengan mengesankan; dengan daya juang dan kesabaran yang gigih. Ia menjelma jadi juru bicara Islam Indonesia (dan dengan demikian mendesakkan sebuah versi Islam non-Arab yang bisa universal pula), kurang-lebih dalam bentuk yang secara ilmiah bisa diterima oleh kalangan akademis Barat.

Pengakuan formal untuk segenap upaya Azyumardi itu muncul dalam bentuk gelar ksatria kehormatan dari Kerajaan Inggris, Commander of Order of the British Empire (CBE). Azyumardi dengan tepat dinyatakan sebagai jembatan perdamaian yang menghubungkan Islam dan Barat.

*

Dalam beberapa tahun terakhir ia memperluas minatnya ke isu-isu umum, yang baginya tetap berada dalam garis sentimen yang sama dengan semangat keislamannya. Ia mengeluhkan kualitas demokrasi Indonesia. Ia gencar mengecam perilaku koruptif para pejabat negara. Ia tak pernah melewatkan kesempatan mengritik setiap terlihat indikasi perilaku buruk pemerintah — dari ketaklayakan ibu kota baru sampai pembengkakan biaya pembuatan jalur kereta api cepat Jakarta-Bandung.

Ia menyebarkan semua kritiknya itu melalui begitu banyak media cetak dan online — kadang di hari yang sama kolomnya muncul di 5-6 media — membuatnya menjadi komentator yang digandrungi stasiun-stasiun televisi. Watak dasarnya yang kalem dan selalu mampu mengontrol emosi membuatnya menjadi pembicara yang dingin dan datar, namun selalu yakin bahwa yang penting adalah pesan lagunya, bukan gaya penyanyinya. Ia mengritik dengan wajar, menjalankan fungsi intelektualnya, tanpa pernah tergoda untuk sinis atau sarkastis.

Sebagai jurnalis yang pernah berkarir lama di majalah Islam Panji Masyarakat, ia beberapa bulan lalu diangkat untuk jabatan di bidang yang tak asing baginya: Ketua Dewan Pers 2022-2025.

Tetapi concern sejatinya tetaplah kajian Islam dan kondisi umat Islam dan apa yang mungkin diupayakan untuk menjamin kecemerlangan masa depan mereka dalam kompetisi nasional dan global. Dan semangat yang diusungnya tetap sama dengan spirit yang disampaikannya di diskusi roundtable Bellagio itu: bahwa di sela-sela kemuraman potret Islam dalam beberapa abad terakhir, selalu terselip potensi besar yang memungkinkan Islam berjaya seperti di masa silam.

Semangat itu pula yang ingin disampaikannya dalam sebuah seminar di Selangor, Malaysia, pada 18 September 2022. Makalah yang ditulisnya untuk forum itu dengan jelas menegaskan optimismenya, sambil mengakui kondisi hari ini yang jauh dari ideal.

Langkahnya terhenti beberapa kilometer dari gedung seminar. Makalah yang menunjukkan optimisme tipikalnya itu tak sempat dibacakannya. [ ]

*Hamid Basyaib; Aktivis dan mantan wartawan; menerbitkan sejumlah buku tentang Islam, masalah-masalah sosial, dan politik internasional.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button