Negara kita acapkali disebut sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara. Sejak 1998 hingga kini, Indonesia telah mengalami perjalanan politik yang rumit sejak transisi dari pemerintahan otoriter. Meskipun sering dipuji karena kemajuan demokrasinya, beberapa tahun terakhir justru menampilkan kecenderungan kemunduran demokrasi dan potensi munculnya otoritarianisme politik.
Kekhawatiran tersebut sangat sesuai dengan argumen yang disajikan dalam buku “The Age of the Strongman: How the Cult of the Leader Threatens Democracy Around the World”, sebuah karya penting dari Gideon Rachman (2023). Dalam buku tersebut, Rachman menyajikan dengan cermat bagaimana ada nuansa bangkitnya otoritarianisme global. Oleh karena itu, dengan memahami sajian awal karya ini, kita sebagai warga pembaca dapat mengidentifikasi pola umum bagaimana norma-norma demokrasi terkikis dan kekuasaan terpusat di tangan para pemimpin yang karismatik dan sering kali diberi atribut populis.
Tulisan ini mencoba mengeksplorasi situasi politik kita, dengan menarik persamaan dan perbedaan dengan kerangka kerja yang ditetapkan dalam buku The Age of the Strongman, untuk menilai apakah Indonesia rentan terhadap atau sudah menunjukkan karakteristik tren global ini.
Untuk memahami keterkaitan analisis dalam gagasan besar atas isu tersebut terhadap Indonesia, adalah penting untuk terlebih dahulu menguraikan argumen inti dari The Age of the Strongman. Melalui karya fenomenal ini, Rachman mengajukan pendapat bahwa di seluruh dunia, demokrasi menghadapi tantangan bersama dari jenis pemimpin politik baru. Jenis “Orang kuat” ini, sebagaimana karya ini menyebutnya, bukan sekadar diktator tradisional; mereka sering dipilih secara demokratis, setidaknya pada awalnya, tetapi kemudian menggunakan berbagai strategi untuk mengonsolidasikan kekuasaan, melemahkan lembaga-lembaga, dan melemahkan sistem demokrasi yang membawa mereka ke kekuasaan.
Gagasan utama dari narasi konseptual tentang orang kuat ini adalah “kultus pemimpin.” Dalam praktiknya, orang kuat mengembangkan politik yang digerakkan oleh kepribadian, sering kali mengandalkan kharisma, nasionalisme, dan populisme untuk melewati struktur politik tradisional yang terhubung langsung dengan para pemilih. Hubungan langsung ini, yang sering kali difasilitasi oleh teknologi komunikasi modern dan media sosial, memungkinkan mereka untuk menghindari lembaga mediasi seperti partai politik, media independen, dan organisasi masyarakat sipil.
Dalam buku tersebut, ditemukan bahwa terdapat beberapa taktik utama yang digunakan oleh orang-orang kuat dalam berpolitik. Pertama, mereka sering mengeksploitasi perpecahan masyarakat yang ada, baik etnis, agama, maupun ekonomi, untuk menciptakan rasa “kami versus mereka” dengan memosisikan diri mereka sebagai pembela rakyat sejati terhadap musuh internal dan eksternal. Kedua, orang kuat secara sistematis melemahkan lembaga-lembaga demokrasi. Ini termasuk melemahkan peradilan, membatasi kekuasaan parlemen, dan menyerang independensi media. Ketiga, mereka sering terlibat dalam kronisme dan korupsi, memberi penghargaan kepada para loyalis dan menggunakan sumber daya negara untuk mempertahankan cengkeraman mereka pada kekuasaan.
Terakhir, mereka cenderung mempromosikan agenda hiper-nasionalis, yang sering kali disertai dengan penghinaan terhadap norma dan lembaga internasional, dengan memprioritaskan kedaulatan nasional di atas segalanya. Efek kumulatif dari taktik-taktik ini adalah terkikisnya pengawasan dan keseimbangan demokrasi, penindasan terhadap perbedaan pendapat, dan terciptanya lingkungan politik di mana pemimpin dipandang sebagai sosok yang sangat diperlukan.
Indonesia mengalami tantangan dan transformasi demokrasi yang tidak mudah pasca keruntuhan rezim Orde Baru. Meski berhasil beralih dari rezim otoriter yang sangat tersentralisasi menjadi demokrasi yang dinamis, hal tersebut masih terbatas pada prosedur demokrasinya. Pemilihan umum yang bebas dan adil telah menjadi norma, masyarakat sipil yang kuat telah muncul, dan pers yang relatif bebas telah berkembang pesat. Namun, di balik permukaan pencapaian ini, tren tertentu muncul yang memerlukan pertimbangan cermat berdasarkan analisis konseptual tentang peran orang kuat. Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah meningkatnya personalisasi politik individu di Indonesia, yang mungkin mencerminkan fenomena “kultus pemimpin” sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Presiden Joko Widodo telah menjadi tokoh yang sangat populer, menikmati approval rating yang tinggi secara konsisten selama dua periode jabatannya. Daya tariknya sering dikaitkan dengan citranya sebagai pemimpin yang rendah hati dan membumi, berbeda dari elit tradisional. Citra ini telah dipupuk dengan hati-hati, dan keberhasilan politik beliau secara signifikan didorong oleh kepribadiannya. Sementara kharisma pribadi tidak secara inheren tidak demokratis, gagasan tentang orang kuat memperingatkan terhadap bahaya politik menjadi terlalu bergantung pada pemimpin individu daripada lembaga dan ideologi yang kuat.
Di Indonesia, partai-partai politik menjadi semakin terfragmentasi dan lemah secara ideologis, sering kali bersatu di sekitar kepribadian daripada platform yang koheren. Tren ini melemahkan peran partai sebagai lembaga mediasi dan memperkuat hubungan langsung dan berpusat pada pemimpin antara politisi dan pemilih, sebuah pola yang diamati di banyak negara yang mengalami kemunduran demokrasi.
Lebih jauh lagi, pemerintahan terdahulu sebelum administrasi di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto telah dikritik karena tindakan-tindakan tertentu yang tampaknya mengikis norma-norma dan lembaga-lembaga demokrasi, menggemakan kekhawatiran tentang melemahnya pengawasan dan keseimbangan. Misalnya, melemahnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebuah lembaga utama dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, melalui amandemen legislatif dan pengangkatan tokoh-tokoh kontroversial, telah meningkatkan kekhawatiran tentang komitmen terhadap integritas kelembagaan.
Demikian pula, penggunaan undang-undang yang samar-samar, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), untuk membungkam perbedaan pendapat dan kritik, khususnya secara daring, telah dipandang sebagai ancaman terhadap kebebasan berekspresi. Meskipun tindakan-tindakan ini mungkin bukan merupakan serangan skala penuh terhadap demokrasi, tindakan-tindakan ini mewakili pola erosi kelembagaan yang mengkhawatirkan, sebuah taktik yang sering digunakan oleh orang-orang kuat untuk mengonsolidasikan kekuasaan.
Aspek lain dari politik Indonesia yang selaras dengan orang kuat adalah bangkitnya populisme dan nasionalisme. Seperti halnya negara lain, Indonesia juga menyaksikan lonjakan sentimen populis, yang sering kali terkait erat dengan politik identitas agama dan etnis. Isu identitas agama dan etnis semakin dipolitisasi, terkadang dieksploitasi untuk keuntungan politik. Meskipun nasionalisme dan populisme pada dasarnya tidak anti-demokrasi, ditemukan bahwa orang-orang kuat sering kali menggunakan ideologi-ideologi ini sebagai senjata untuk memecah belah masyarakat, memobilisasi dukungan, dan menjelek-jelekkan lawan. Merebaknya eksploitasi politik identitas, khususnya menjelang pemilihan umum, telah berkontribusi pada polarisasi masyarakat dan merusak semangat inklusivitas dan toleransi yang penting bagi demokrasi yang sehat. Penggunaan media sosial untuk menyebarkan informasi yang salah dan retorika yang menghasut, yang sering kali menargetkan kelompok minoritas, semakin memperburuk perpecahan ini, sebuah tren yang diamati di banyak negara yang bergulat dengan politik orang-orang kuat.
Selain itu, analisis tentang kecenderungan orang-orang kuat dikelilingi diri mereka dengan para loyalis maupun kroni, yang sering kali mengorbankan kompetensi dan meritokrasi. Meskipun Indonesia telah membuat langkah-langkah signifikan dalam memerangi korupsi, masih ada kekhawatiran tentang patronase dan perilaku mencari keuntungan dalam elit politik dan ekonomi. Konsentrasi kekuatan ekonomi di tangan beberapa orang, yang sering kali memiliki koneksi politik, dapat merusak persaingan yang adil dan menciptakan lapangan bermain yang tidak seimbang, yang selanjutnya melemahkan akuntabilitas demokrasi.
Jalinan bisnis dan politik, yang merupakan ciri umum di banyak negara demokrasi berkembang, dapat menciptakan peluang bagi kronisme dan korupsi, mengikis kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga dan memperkuat persepsi tentang sistem politik yang dicurangi demi kepentingan yang kuat.
Namun, penting untuk menghindari perbandingan yang sederhana dan mengakui nuansa situasi politik Indonesia. Indonesia belum menjadi rezim orang kuat dalam cetakan yang dijelaskan oleh gagasan utama “Strongman” di negara-negara seperti Rusia atau Turki. Indonesia mempertahankan banyak lembaga demokrasi formal, termasuk parlemen yang berfungsi, peradilan yang independen (meskipun telah menghadapi tantangan), dan masyarakat sipil yang bersemangat, meskipun terkadang tertekan.
Pemilihan umum masih kompetitif, dan kekuasaan telah ditransfer secara damai antara koalisi politik yang berbeda. Lebih jauh, lanskap politik Indonesia jauh lebih kompleks dan terdesentralisasi daripada banyak contoh dari negara lain. Keberagaman dengan variasi regional dan identitas lokal yang kuat, membuat kontrol otoriter yang terpusat lebih menantang. Masyarakat sipil di Indonesia tetap relatif kuat, dengan LSM aktif, gerakan mahasiswa, dan outlet media independen yang terus memainkan peran penting dalam meminta pertanggungjawaban kekuasaan.
Meskipun ada peringatan ini, tren yang diidentifikasi dalam konsep menguatnya orang kuat menawarkan kerangka kerja yang berharga untuk memahami tantangan yang dihadapi demokrasi Indonesia. Personalisasi politik, melemahnya lembaga, bangkitnya populisme dan nasionalisme, dan potensi kronisme adalah semua tren yang hadir di Indonesia dalam berbagai tingkatan. Meskipun belum menjadi rezim orang kuat yang tak terkendali, lintasan perkembangan politiknya memerlukan pemantauan yang cermat untuk masa ini di negara kita. Analisis konseptual ini berfungsi sebagai kisah peringatan, yang menyoroti risiko kepuasan demokrasi dan pentingnya kewaspadaan dalam menjaga norma dan lembaga demokrasi.
Agar dapat menjaga risiko kemunduran demokrasi dan potensi politik otoriter di negara, pemerintah perlu melakukan beberapa langkah antisipatif strategis yang semoga belum terlambat, yaitu: pertama, penguatan lembaga demokrasi harus segera dilakukan. Ini termasuk memastikan independensi dan efektivitas peradilan, memperkuat peran parlemen sebagai pengawas kekuasaan eksekutif, dan melindungi otonomi lembaga seperti KPK.
Kedua, menjamin masyarakat sipil yang kuat dan beragam. Ini melibatkan perlindungan kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berasosiasi, serta mendukung media independen yang memainkan peran pengawasan.
Ketiga, menumbuhkan budaya politik yang menghargai inklusivitas, toleransi, dan rasa hormat terhadap keberagaman sangat penting untuk melawan efek memecah belah dari populisme dan politik identitas. Pendidikan, dialog antaragama, dan mempromosikan identitas nasional bersama berdasarkan nilai-nilai demokrasi Pancasila semuanya penting dalam hal ini.
Tak kalah penting ialah memastikan tata kelola pemerintahan yang baik dan memerangi korupsi sangat penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap lembaga negara dan pemerintah, kemudian perlunya tindakan mencegah pemusatan kekuasaan dan kekayaan di tangan segelintir orang. Memperkuat mekanisme antikorupsi, mempromosikan transparansi dan akuntabilitas, dan memastikan lapangan bermain yang setara bagi semua warga negara sangat penting untuk demokrasi yang sehat dan tangguh.