Otak-atik DPA di Tengah Anggaran Cekak


Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ‘secepat kilat’ menyulap Undang-Undang tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) kembali menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Langkah ini mendapat banyak kritik mengingat anggaran yang diperlukan bagi lembaga negara ini jelas akan menambah cekak keuangan negara.

Terlepas dari berbagai kontroversi seperti sangat singkatnya proses revisi UU ini serta kritikan tentang perlunya amandemen Undang-undang Dasar 1945, ada poin yang menarik selain penggantian nama Wantimpres menjadi DPA. Ini terkait tidak adanya batasan jumlah anggota DPA serta statusnya sebagai pejabat negara.

Poin-poin ini penting karena sangat terkait dengan anggaran. Anggaran bisa sangat besar mengingat jumlah anggota DPA tergantung dari keinginan Presiden. Dalam UU Wantimpres jumlah anggota dibatasi sebanyak 8 orang. 

Tentu presiden bisa memasukkan banyak orang yang selama ini membantunya atau para tokoh ‘kritis’ yang dianggap bisa memperlancar rencana pemerintahannya diangkat menjadi anggota DPA. Ini mengingatkan lagu lama yang bakal kembali diputar yakni bagi-bagi jabatan sebagai hadiah.

Lihat-lihat saja tontonan akhir-akhir ini banyak tokoh diangkat sebagai ‘give away’ mulai dari mendapat kursi menteri, wakil menteri hingga komisaris di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Publik melihat ini sebagai hadiah kepada orang-orang yang telah membantunya dari pemerintahan Presiden Joko Widodo maupun presiden terpilih Prabowo Subianto.

Fenomena seperti ini memunculkan kekhawatiran bakal terjadi juga pada penunjukkan anggota DPA. “Kerjanya hanya memberikan nasihat tapi jumlah [anggota] berjibun, buat apa? Jadi beban APBN, padahal anggaran dikeluarkan harus berbasis kinerja,” ujar pakar hukum administrasi negara, Dian Puji Simatupang.

Poin penting berikutnya adalah para anggota DPA itu nantinya akan mendapat fasilitas layaknya pejabat negara. Para anggota DPA dan para pejabat di bawahnya tentu akan menerima hak keuangan serta fasilitas lainnya sesuai yang diberikan kepada petinggi lembaga negara lainnya serta para anggota kabinet. 

Tak heran muncul dugaan bahwa pembentukan DPA ini hanya memberikan fasilitas kepada orang-orang senior sebagai balas jasa. Ide mengaktifkan kembali DPA ini juga tak lepas dari tudingan sebagai langkah mengakomodasi ide presidential club ala Prabowo yang berisi para mantan presiden yakni Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarnoputri, termasuk Joko Widodo.

defisit APBN
Ilustrasi defisit APBN. (Foto: iStock)

Merujuk pada lembaga penasihat yang dibentuk Joko Widodo, seperti Kantor Staf Presiden (KSP), Wantimpres, dan tujuh milenial Staf Khusus Presiden, presiden sebetulnya tidak kekurangan nasihat. “Justru keberadaan mereka, tidak ada gunanya dan hanya membuang-buang anggaran negara. Sementara bagi Wantimpres, dilihat dari sejarahnya, mereka diberi jabatan padahal nasihatnya bisa didengar atau tidak, ” kata Pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti.

Makin Membebani Anggaran

Tantangan terberat pemerintahan berikutnya adalah terbatasnya anggaran. Karenanya, pembentukan kembali DPA ini jelas mendapat banyak kritik mengingat akan ikut menguras anggaran yang sangat terbatas. Padahal begitu banyak program penting yang harus diwujudkan.

Banyak pengamat menilai warisan APBN dari pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin kepada Prabowo-Gibran dalam status ‘tidak baik-baik saja’. “Masalahnya sekarang ini kan kita sudah gali lubang tutup lubang. Jadi intinya kita bayar cicilan utang itu dari utang yang lain. Nah ini kan yang harus menjadikan kita lebih waspada,” kata Esther Sri Astuti, Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) kepada media.

Kementerian Keuangan para akhir Maret mengungkapkan jumlah utang pemerintah Indonesia mencapai Rp8.353,02 triliun. Berdasarkan proyeksi Produk Domestik Bruto (PDB) Triwulan II 2024, rasio utang tersebut sebesar 38,71% terhadap PDB. Hampir 90% utang ini dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN).

Meskipun angka ini kerap digembar-gemborkan masih di bawah ambang batas aman rasio utang 60% sesuai ketentuan, tapi angka rasio utang era Jokowi lebih tinggi dibandingkan era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Saat peralihan pemerintahan, tercatat utang pemerintahan era SBY sebesar Rp2.608,7 triliun dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 24,7%.

Sementara jatuh tempo utang pemerintah pada 2025 mencapai Rp800 triliun, hampir dua kali lipat dari tahun ini. Utang pemerintah yang jatuh tempo ini terdiri dari jatuh tempo SBN Rp705,5 triliun dan pinjaman sebesar Rp94,83 triliun. Utang jatuh tempo pemerintah dengan nilai serupa juga akan berlangsung pada 2026, 2027, serta 2028 (Rp719,8 triliun), dan 2029 (Rp 622,3 triliun).

Selain besarnya utang jatuh tempo, Kemenkeu memprediksikan defisit APBN tahun ini akan mencapai Rp609,7 triliun atau 2,70%. Meleset dari estimasi defisit APBN 2024 di awal tahun yang mencapai Rp 522,8 triliun atau 2,29% dari Produk Domestik Bruto (PDB). 

pajak
Ilustrasi pajak, penghitungan pajak, pajak penghasilan. (Foto: ShutterStock/Sutthiphong Chandaeng).

Sedangkan realisasi pendapatan negara yang berasal pajak, penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dan penerimaan hibah pada semester satu 2024 mencapai Rp1.320, triliun atau 47,1% terhadap APBN 2024. Pencapaian ini mengalami pelemahan 6,2% dibandingkan dengan periode yang sama pada 2023. Untuk realisasi belanja negara pada semester satu 2024 mencapai Rp1.398,0 triliun atau 42% terhadap pagu APBN tahun 2024 atau naik 11,3% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Program Unggulan Butuh Anggaran

Di tengah warisan anggaran yang masih ‘meriang’ ini, pemerintah yang akan datang juga bakal dibebani beberapa proyek ambisius baik berupa proyek lanjutan hingga janji program pemerintahan baru. Misalnya saja proyek Ibu Kota Nusantara (IKN). Dengan sepinya investor di IKN, belanja negara bakal banyak tersedot untuk proyek yang diperkirakan mencapai Rp466 triliun. Sejauh ini, APBN yang masuk ke IKN telah mencapai Rp71,8 triliun atau sekitar 15,4% dari estimasi.

Belum lagi anggaran untuk program makan siang gratis atau sekarang disebut makan bergizi gratis untuk anak sekolah yang direncanakan masuk APBN 2025 sebesar Rp71 triliun. “Jadi pembentukan DPA akan menguras anggaran,” kata Daniel Johan, Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Jelas bahwa daripada memboroskan waktu dan anggaran hanya untuk mengutak-atik Wantimpres menjadi DPA, apalagi tujuannya hanya akal-akalan memberi tempat kepada tokoh pendukung atau para senior sebagai balas jasa dan tujuan politis ini, mending batalkan saja.

Namanya saja lembaga Dewan Pertimbangan Agung, tentu tak cocok jika orang-orang yang ditempatkan di lembaga ‘agung’ untuk kepentingan para penguasa dan membebani keuangan negara. Lagi pula, daripada membangun DPA demi mendapatkan nasehat, malah akan lebih baik presiden mendengarkan nasehat dan suara rakyat yang ‘agung’ tanpa perlu mengeluarkan anggaran serta sangat baik bagi iklim demokrasi.