Hangout

P2G Harap Presiden Jokowi Turun Tangan Tuntaskan Karut-Marut Seleksi Guru PPPK

Dalam peringatan Hari Guru Nasional (HGN) 2022, nasib para guru khususnya guru honorer belum ada perubahan menuju perbaikan. Adapun seleksi guru PPPK yang semula diharapkan menjadi solusi atas minimnya kesejahteraan guru, ternyata makin terlihat carut-marut. Janji yang pernah diungkapkan Mendikbudristek dan Menpan RB untuk mengangkat 1 juta guru honorer menjadi ASN PPPK ternyata dinilai ghosting belaka. Pada 2021 hanya 293 ribu yang dapat formasi PPPK, padahal kebutuhannya mencapai 1 juta guru.

Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) sebagai salah satu organisasi profesi guru memandang peringatan HGN 2022 harus dijadikan momentum yang tepat bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah mengevaluasi semua kebijakannya mengenai guru. P2G menilai ada 5 (lima) catatan kritis evaluatif terkait persoalan guru di tanah air saat ini.

Mungkin anda suka

Pertama, kesejahteraan guru khususnya honorer masih jauh panggang dari api. Padahal negara berutang besar kepada guru honorer, yang berjumlah lebih dari 1 juta orang. Mereka masih digaji jauh di bawah UMP/UMK daerah. Rata-rata 500 ribu – 1 juta perbulan. Padahal berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 14: “Guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial.”

Indonesia tengah mengalami darurat kekurangan guru ASN di sekolah negeri. Proses dan keberlanjutan pembelajaran di sekolah selama ini sangat ditopang oleh tenaga Guru Honorer.

“Sampai 2024 Indonesia membutuhkan 1,3 juta guru ASN di sekolah negeri. Pada 2021 saja kita membutuhkan 1.002.616 guru ASN PPPK secara nasional. Tapi sialnya, hanya 293.860 guru yang lulus dan dapat formasi dari Pemda. Lebih mengenaskan, sebanyak 193.954 guru lulus tes PPPK namun tak kunjung mendapatkan formasi hingga November 2022 ini,” ungkap Satriwan Salim, Koordinator Nasional P2G dalam keterangannya kepada inilah.com, Kamis (24/11/2022).

Satriwan melanjutkan, janji Mendikbudristek dan Menpan RB akan mengangkat 1 juta guru ASN PPPK, tinggal janji saja.

“Lagi-lagi para guru honorer dighosting oleh Pemerintah. Janji mengangkat 1 juta guru gagal total. Sementara itu nasib dari 193 ribu guru tidak jelas, terombang-ambing oleh kacaunya seleksi PPPK hingga sekarang, belum lagi guru madrasah swasta yang ga bisa ikut, terkesan diskriminatif,” lanjut guru SMA ini.

Dia menjelaskan mestinya 3 tahapan proses seleksi guru PPPK tuntas pada 2021, namun faktanya sampai November 2022 pemerintah baru membuka tahapan yang ke-3. Molornya 1 tahun. Sementara itu, 193 ribu guru yang tak dapat formasi tidak jelas nasibnya seperti apa. Sebagian dari mereka bahkan sudah tak lagi mengajar karena sudah dipecat Yayasan. Bukannya untung ikut seleksi PPPK, malahan buntung.

Bagi P2G, skema P1, P2, P3, dan umum dalam seleksi Guru PPPK tahapan ke-3 justru menimbulkan ketidakadilan baru. 193 ribu guru yang masuk kategori P1 anehnya banyak yang turun level ke P2 dan di bawahnya.

“Mestinya 193 ribu guru itu dulu yang dipastikan tuntas dibuka formasi dan ditempatkan oleh pemda. Jadi Pansel urai satu persatu dulu, jangan yang 193 ribu P1 belum beres, ini malah membuka prioritas 2 dan 3,” sambung Satriwan.

P2G berharap Presiden Jokowi turun tangan menuntaskan karut-marut pengelolaan guru di tanah air, termasuk menuntaskan persoalan seleksi Guru PPPK dan manajemen PPPK yang berantakan hingga sekarang. Guru masih jauh dari sejahtera.

“Kenapa Pak Jokowi kami minta turun langsung membereskan persoalan guru? Sebab Pak Presiden pernah punya legacy baik di masa lalu, tercatat dalam sejarah guru memberikan peningkatan kesejahteraan guru saat menjabat Gubernur DKI Jakarta. Semoga Pak Presiden juga meninggalkan legacy kebaikan serupa, di akhir masa periode beliau sebelum 2024 nanti,” lanjut guru Pendidikan Pancasila ini.

Kedua, P2G sangat menyayangkan masih terjadinya kekerasan (bullying) di satuan pendidikan baik yang korbannya siswa maupun guru. P2G mendesak organisasi profesi guru terlibat memberikan pemahaman mengenai hak-hak anak seperti UU Perlindungan Anak bagi guru agar tidak menggunakan kekerasan dalam mendidik siswa. P2G juga mendesak Dinas Pendidikan tiap daerah proaktif mengedukasi bahkan memfasilitasi sekolah agar menjadi sekolah ramah anak. Hendaknya Dinas Pendidikan memberikan sanksi tegas bagi sekolah yang belum membentuk “Gugus Tugas Pencegahan Kekerasan di Satuan Pendidikan” dan sekolah yang belum memasukkan strategi Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan dalam dokumen Kurikulum Operasional Sekolah mereka, sesuai amanah Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015.

“Kekerasan di sekolah makin menjadi-jadi, sekolah sudah keadaan darurat. Kemdikbud, Kemenag dan Pemda mesti gercep. Jangan sampai kita menormalisasi kekerasan apapun bentuknya. Banyak sekolah yang belum sadar kewajiban mereka mencegah dan menanggulangi kekerasan sesuai Permendikbud 82 Tahun 2015,” lanjut Satriwan.

Maraknya guru yang terjebak “pinjaman online” (pinjol) juga meresahkan bagi P2G. Sebab guru sebagai figur pendidik yang semestinya bertindak rasional dan melek literasi finansial ternyata sebaliknya. Data OJK menyebutkan, sebanyak 42% masyarakat yang terjerat pinjol ilegal adalah guru, artinya guru paling banyak terjebak pinjol. Ini fakta sangat menyedihkan sekaligus menimbulkan pertanyaan lebih lanjut.

“Apakah 42% guru yang terjebak pinjol itu berstatus guru honorer atau swasta dengan upah yang tidak layak? Atau statusnya PNS? Jika yang kena guru honorer, kami rasa pantas saja, dampak buruk rendahnya gaji mereka. Gelap mata, pakai jalan pintas. Gaji sebulan 500 ribu punya anak lebih 2 orang. Upah minimum pun tidak. Apalagi sejahtera, solusi memenuhi kebutuhan hidupnya ya ikut pinjol,” pungkas Satriwan.

Ketiga, P2G menilai kebijakan Mendikbudristek melakukan digitalisasi pendidikan khususnya melalui kanalisasi tunggal Platform Merdeka Mengajar (PMM) justru kontraproduktif dengan semangat Merdeka Mengajar. P2G menerima laporan dari para guru di daerah termasuk anggota P2G, keberadaan PMM ternyata menyulitkan dan menambah beban administratif guru dalam mengimplementasikan Kurikulum Merdeka.

“Dalam implementasi Kurikulum Merdeka, guru diwajibkan oleh Dinas Pendidikan dan Pengawas Sekolah mengisi sampai tuntas PMM. Bahkan kepala sekolah akan diberi sanksi jika guru terlambat atau tidak mengisi konten PMM. Dulu kami dibebani administrasi, sekarang guru dibebani aplikasi,” cetus Iman Zanatul Haeri, Kepala Bidang Advokasi P2G.

Perubahan kurikulum dari 2013 menjadi Kurikulum Merdeka bagi P2G tidak masalah sepanjang diberikan diseminasi, pelatihan yang komprehensif dan tuntas kepada guru dari narasumber kompeten. Para guru tidak mempermasalahakan perubahan kurikulum, karena menjadi keniscayaan. Namun ketika ada tuntutan beban aplikasi PMM, ini menimbulkan masalah. Apalagi masih banyak guru yang literasi digitalnya rendah.

“Alih-alih merdeka mengajar, yang terjadi guru fokus mengisi konten aplikasi sehingga waktu banyak tersita. Sementara itu, Mas Menteri di PBB mengklaim PMM produk inovasi 400 tim bayangan yang dibanggakan. Padahal PMM itu kontennya kan diisi guru, karya guru, bukan karya tim bayangan,” lanjut Iman yang merupakan guru honorer.

P2G juga mendesak Kemdikbudristek agar memperhatikan dan menjamin keamanan digital (digital security) bagi data jutaan guru yang mengunduh PMM. Bahkan yang sangat disayangkan, absennya isu hak kekayaan intelektual dari konten-konten pembelajaran dan kurikulum yang diunggah oleh guru di PMM.

“Kemdikbudristek agaknya belum menghargai karya-karya guru yang diunggah di PMM. Guru tak memperoleh feedback baik secara materil maupun non materil atas karyanya. Padahal hak kekayaan intelektual guru dijamin dalam Pasal 14 ayat (1) UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen: “Dalam melaksanakan tugas guru berhak: (c) memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual,” jelas Iman.

Keempat, P2G mendesak Kemdikbudristek untuk membuka kembali dan melanjutkan uji publik RUU Sisdiknas secara dialogis dengan semua stakeholder pendidikan. Paska ditolaknya RUU Sisdiknas oleh Badan Legislasi Nasional DPR RI September 2022 lalu, Kemdikbudristek tidak lagi mengadakan uji publik dan dialog mengenai RUU Sisdiknas. Padahal ditundanya RUU masuk Prolegnas hendaknya dijadikan momentum bagi Kemdikbudristek memperbaiki Naskah Akademik dan Batang Tubuh RUU Sisdiknas agar sesuai dengan aspirasi seluruh pemangku kepentingan pendidikan nasional.

“Kami meminta Mas Nadiem melanjutkan dialog uji publik dan membentuk Tim Kerja atau Pokja RUU Sisdiknas yang mewakili semua unsur stakeholders pendidikan, agar partisipatif sesuai dengan konsep meaningful participation. Perbaikan naskah RUU mutlak dilakukan, termasuk isu Tunjangan Profesi Guru,” terang Iman.

Perihal masih ada 1,6 juta guru yang belum disertifikasi, P2G meminta Kemdikbudristek mempermudah syarat bagi guru dalam jabatan untuk mengikuti PPG (Pendidikan Profesi Guru) Dalam Jabatan. Bahkan Kemdikbudristek dapat membuat kebijakan pemutihan bagi guru yang belum disertifikasi. Mas Menteri Nadiem jangan membangun narasi bahwa UU Guru dan Dosen lah yang menjadi penghambat guru belum disertifikasi. Padahal urusan teknis sertifikasi itu diatur oleh regulasi selevel Permendikbud bahkan Surat Edaran Dirjend GTK, bukan UU.

“Jika benar-benar berpihak pada guru, hendaknya Mendikbudristek permudah syarat sertifikasi guru, bisa saja lakukan pemutihan. Jangan menyalahkan UU Guru dan Dosen, yang jadi penghalang selama ini adalah aturan teknis yang dikeluarkan Kemdikbudristek itu sendiri,” pungkas Iman.

Kelima, P2G meminta Kemdikbudristek, Kemenag, dan Pemda bersama BNPB dan lembaga terkait gencar memberikan sosialisasi dan pelatihan bagi warga sekolah terkait kesiapsiagaan bencana. P2G mengapresiasi Kemdikbudristek yang sudah mengeluarkan Permendikbudristek Nomor 33 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Program Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB). Bahkan Kemdikbudristek sebenarnya bersama BNPB sudah membuat Sekretariat Bersama SPAB.

“Tapi kami merasakan di lapangan, para guru, kepala sekolah, orang tua, siswa, bahkan pengawas belum mengetahui Permendikbud dan Seknas SPAB. Padahal keberadaan regulasi dan lembaga ini akan membantu warga sekolah memberi wawasan kesiapsiagaan bencana. Mengingat ratusan ribu sekolah madrasah tersebar di wilayah Indonesia yang rawan bencana alam seperti gempa dan banjir,” kata Muhaimin, Ketua P2G Kabupaten Bima, NTB.

Bencana gempa di Cianjur yang baru saja terjadi, pernah di Palu, Lombok, Pandeglang dan lainnya menyisakan duka mendalam khususnya yang berdampak pada dunia pendidikan seperti sekolah. Permendikbud Nomor 33 Tahun 2019 sebenarnya sudah sangat lengkap menjelaskan tanggung jawab sekolah, pemda, dan pemerintah pusat saat pra dan pascabencana. Tapi sekolah dan madrasah justru tidak melaksanakan tanggung jawab sesuai Permendikbud. Sekolah dan madrasah di Indonesia rata-rata belum punya Tim Siaga bencana di satuan pendidikan.

“Sekolah dan madrasah di Indonesia secara umum belum melakukan penyusunan rencana aksi untuk mendukung penyelenggaraan Program SPAB. Sekolah belum melakukan penyusunan prosedur operasi standar untuk menghadapi kedaruratan Bencana. Sekolah juga tidak memasukkan Program SPAB dalam rencana kegiatan dan anggaran sekolah di masing-masing Satuan Pendidikan,” lanjut guru SMK ini.

Bahkan sekolah dan madrasah tidak membuat laporan tahunan penyelenggaraan Program SPAB di masing-masing Satuan Pendidikan, termasuk di pusat kota seperti Jabodetabek. Tidak pernah kita mendengar Pengawas Sekolah dan Dinas Pendidikan concern terhadap isu ini. Padahal wajib menurut aturan untuk memitigasi dan mengurangi dampak korban bencana alam bagi warga sekolah. Permendikbud Penyelenggaraan Program Satuan Pendidikan Aman bencana (SPAB) dirasa masih macan kertas saja.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button