Pajak: Si Kaya Berpesta, Rakyat Menderita


Pemerintah resmi memutuskan akan memberlakukan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% mulai Januari 2025. Kebijakan ini jelas menjadi pukulan telak bagi daya beli masyarakat. Meskipun sekilas terlihat hanya naik 1%, tapi memiliki daya hantam yang luar biasa bagi konsumen di ujung rantai distribusi. Harga barang dan jasa yang telah melonjak akibat tekanan inflasi pasca-pandemi, kini ditambah lagi dengan beban pajak yang lebih besar. Akibatnya, kehidupan masyarakat akan semakin terhimpit.

Namun, ironisnya, di saat rakyat diminta menanggung beban tambahan melalui kenaikan tarif PPN, pemerintah justru dengan enteng meluncurkan rencana kebijakan tax amnesty. Kebijakan ini memberikan pengampunan bagi wajib pajak yang selama ini lalai, bahkan mungkin disengaja, dalam melaksanakan kewajibannya. Sebagian besar dari mereka ini adalah kelas atas—orang kaya yang selama ini mendapatkan berbagai insentif dan fasilitas. Kini mereka kembali diberikan kesempatan untuk mencuci dosa perpajakannya.

Kita sering mendengar alasan bahwa tax amnesty bertujuan untuk memperluas basis pajak. Tetapi apakah logis untuk memberikan insentif kepada mereka yang telah menghindar dari kewajiban pajaknya? Apakah keadilan pajak tidak lebih penting dari sekadar menambah penerimaan negara dalam jangka pendek?
Aroma ketidakadilan yang begitu kentara dalam kebijakan pajak ini, akan menyebabkan rakyat kecil yang selama ini menjadi penyumbang pajak melalui konsumsi barang dan jasa, dipaksa memikul beban lebih berat. 

Sementara itu, kelompok elite ekonomi, yang selama ini menghindari kewajiban pajaknya, justru mendapatkan perlakuan istimewa. Seolah pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara bersama-sama mengabaikan jeritan rakyat kecil. Kalau begini, rakyat harus bergantung kepada siapa?

Pemerintah berdalih bahwa kenaikan PPN menjadi 12% adalah demi kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan hal ini juga merupakan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pertanyaannya, apakah benar kenaikan PPN ini akan mampu “menyehatkan” APBN tanpa memperburuk kesejahteraan rakyat? Yang lebih penting lagi, apakah tindakan ini etis ketika dampaknya justru menurunkan kualitas hidup masyarakat?

Efek domino kenaikan PPN ini tidak hanya akan dirasakan oleh konsumen, tetapi juga oleh pengusaha. Pengusaha akan menghadapi tekanan dari dua sisi. Di satu sisi, mereka diharapkan mampu mempertahankan harga agar tetap kompetitif. Namun di sisi lain, mereka juga harus menyesuaikan upah pekerja agar daya beli masyarakat tidak anjlok. Beban tambahan ini pada akhirnya dapat mendorong pengusaha untuk melakukan efisiensi, yang paling mudah dengan mengurangi tenaga kerja.

Jika upah pekerja tetap, harga barang dan jasa pasti akan naik mengikuti peningkatan tarif PPN. Hal ini otomatis mengurangi daya beli masyarakat. Ketika konsumsi menurun, sektor produksi ikut terpukul, dan siklus ini dapat berujung pada gelombang PHK yang lebih besar. Maka, dampak dari kebijakan ini tidak hanya menekan pertumbuhan ekonomi tetapi juga meningkatkan angka pengangguran.

Perlu diingat bahwa konsumsi adalah salah satu motor utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebelum pandemi, konsumsi rumah tangga mampu berkontribusi hingga 5% terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, kebijakan PPN yang tidak proporsional ini justru melemahkan kontribusi tersebut, membuat pertumbuhan hanya stagnan dan mungkin akan berada di bawah 4,9% pada 2025.

Masalahnya, pemerintah seolah hanya menonjolkan sisi positif kebijakan ini, yaitu dengan menonjolkan potensi tambahan penerimaan sekitar Rp70 – Rp 80 triliun untuk kas negara. Tetapi bagaimana dengan risiko yang melekat pada kebijakan tersebut? Apakah pemerintah sudah memproyeksikan dampak jangka panjangnya, seperti penurunan konsumsi dan potensi krisis sektor riil?

Tentu tidak fair ketika membahas suatu kebijakan hanya dilihat dari sisi manfaatnya (return) saja, pemerintah seharusnya juga menjelaskan ke publik terkait risikonya. Karena di mana ada aktivitas, di situ pula melekat risiko dan manfaatnya.

Pemerintah juga perlu memahami bahwa ada opsi lain untuk meningkatkan penerimaan negara tanpa membebani rakyat kecil. Ekstensifikasi cukai pada produk yang merusak kesehatan, atau pun peningkatan tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan pada sektor tambang, terutama batubara, juga lebih masuk akal.
Jika memang Pemerintah dan DPR yang katanya “wakil rakyat” ingin benar-benar berpihak kepada sebesar-besar kemakmuran rakyat, maka perlu dikaji ulang kebijakan ini. Sesegera mungkin bisa ditunda dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). Pemerintah dan DPR perlu membuktikan bahwa mereka tidak menjadi kaki tangan yang melegitimasi kebijakan yang menyiksa rakyat.

Dalam beberapa bulan terakhir, masyarakat sudah cukup menderita dengan kenaikan harga sejumlah komoditas baik makanan maupun non-makanan. Kenaikan tarif PPN hanya akan memperburuk keadaan. Bukankah tugas pemerintah adalah memastikan kesejahteraan rakyat, bukan malah menambah penderitaannya?
Jika dalam waktu dekat pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), maka pemerintah dapat menunjukkan bahwa mereka benar-benar berpihak kepada rakyat. Tetapi jika mereka tetap bersikeras, rakyat harus bersiap menghadapi masa depan yang lebih suram.

Kebijakan ini bukan sekadar soal angka atau teknis. Ini adalah soal keadilan dan keberpihakan. Dan sejauh ini, pemerintah tampaknya lebih berpihak pada mereka yang sudah kaya daripada mereka yang sedang berjuang untuk bertahan hidup.

Jika pemerintah dibiarkan menjalankan kebijakan seperti ini tanpa adanya kritik keras, itu sama saja seperti kita sedang membiarkan pemerintah mengkhianati rakyatnya. Bagi bangsa yang katanya demokratis, hal itu adalah kegagalan terbesar. Untuk itu pemerintah perlu diingatkan jika memang akan menjalankan sesuatu yang melenceng, demi menjaga stabilitas nasional.