Pakar Hukum UI: Kontrasepsi Remaja Harus Dibatasi, Jangan sampai Kontraproduktif


Pakar hukum dari Universitas Indonesia (UI), Djarot Dimas Achmad Andaru, menekankan pentingnya pengendalian dalam penyediaan alat kontrasepsi bagi usia remaja dan pelajar. Menurutnya, pengendalian yang ketat diperlukan agar tujuan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan tidak menjadi kontraproduktif.

Djarot menyoroti bahwa meskipun ada kebutuhan dan urgensi untuk menyediakan alat kontrasepsi bagi remaja, penerapannya harus dilakukan dengan hati-hati. 

“Memang ada kebutuhan, terutama dengan tingginya angka hubungan seksual pada usia remaja dan pelajar. Ini menimbulkan berbagai masalah, seperti kehamilan di usia dini dan penyebaran penyakit menular seksual, termasuk HIV, di kalangan remaja,” ujar Djarot dalam sebuah diskusi di Jakarta Selatan, Jumat (30/8/2024).

Lebih lanjut, Djarot menjelaskan bahwa tingginya angka pernikahan dini juga membawa dampak serius, seperti kemiskinan terstruktur, rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM), dan meningkatnya kasus stunting. 

“Pernikahan dini bukan hanya masalah pribadi, tetapi juga memiliki dampak jangka panjang yang merugikan masyarakat secara keseluruhan,” tegasnya.

Untuk mengatasi masalah ini, Djarot mengusulkan tiga langkah utama dalam mengendalikan penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja dan pelajar. Pertama, ia menekankan pentingnya penguatan moral, nilai agama, dan budaya untuk membangun karakter yang luhur. Kedua, Djarot mendorong upaya promotif dan preventif berupa edukasi seksual yang berlandaskan moral, nilai agama, dan budaya.

Langkah ketiga yang diusulkan Djarot adalah menjadikan penyediaan alat kontrasepsi sebagai upaya rehabilitatif yang hanya diberikan kepada remaja yang sudah menikah secara sah, baik menurut agama maupun hukum negara. 

“Ini harus diawasi dengan ketat agar alat kontrasepsi tidak disalahgunakan oleh remaja yang belum memiliki ikatan pernikahan sah,” jelasnya.

Sementara itu, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo, menegaskan bahwa prinsip pemberian kontrasepsi adalah untuk mencegah kehamilan di bawah usia 20 tahun. 

“Pemberian kontrasepsi di BKKBN selama ini diperuntukkan bagi pasangan usia subur (PUS), dan kami lebih menyosialisasikan agar tidak hamil sebelum usia 20 tahun,” kata Hasto.

Ia juga mengungkapkan bahwa berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), dari setiap 1.000 perempuan di Indonesia, terdapat 26 yang sudah pernah hamil dan melahirkan di usia 15-19 tahun. Data BKKBN menunjukkan bahwa jumlah ini mencapai 19 orang dari 1.000 perempuan dalam kelompok usia yang sama.

Hasto memperingatkan tentang berbagai risiko kesehatan akibat kehamilan pada usia yang terlalu muda, termasuk peningkatan angka kematian ibu (AKI), angka kematian bayi (AKB), kelahiran prematur, hingga bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Oleh karena itu, ia menekankan bahwa Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan harus dilaksanakan secara proporsional dan bijaksana.

Pernyataan Djarot dan Hasto mencerminkan kebutuhan mendesak untuk menjaga keseimbangan antara upaya pencegahan kehamilan dini dan perlindungan moral serta nilai-nilai budaya di kalangan remaja. Implementasi yang tepat dari peraturan ini akan sangat menentukan apakah tujuan kesehatan masyarakat dapat tercapai tanpa mengorbankan nilai-nilai fundamental yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.