Guru Besar Universitas Pancasila, Agus Surono mengingatkan presiden terpilih Prabowo Subianto harus mampu menyelesaikan tantangan terbesar dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA). Khususnya menyangkut deforestasi, pasca tambang, dan kemiskinan di daerah kaya SDA.
Dia bilang, kerusakan hutan atau deforestasi di Indonesia, begitu parahnya. Angkanya mencapai 115.500 hektare per-tahun. Ditambah lagi lubang-lubang bekas tambang yang terbengkalai. Hingga 2023, tercatat lebih dari 3.000 lubang bekas tambang yang belum direklamasi.
Belum lagi ketidakadilan eskonomi yang dialami masyarakat di daerah yang kaya SDA. “Kemiskinan di daerah kaya SDA masih menjadi persoalan besar. Pada 2023 terdapat 26,5 juta penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Ini fenomena ‘resource curse’ atau kutukan sumber daya. Di mana, kekayaan alam justru tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyatnya,” ungkap Agus, Jakarta, dikutip Jumat (4/10/2024).
Agus menilai, regulasi yang tersedia, sebut saja, UU tentang Pertambangan dan UU tentang Lingkungan Hidup, sudah kurang relevan dengan tantangan saat ini.
“Pentingnya etika penyelenggara negara dalam pengelolaan SDA dengan prinsip keberlanjutan lingkungan, transparansi, dan akuntablitas yang adil dan setara bahwa pejabat sebagai pengelola SDA, bukan pemilik,” ungkapnya.
Terkait dengan kedaulatan SDA, dia menyinggung kepemilikan saham pemerintah sebesar 55 persen di Papua. “Apakah kepemilikan saham negara di Papua, benar-benar bermanfaat untuk masyarakat Papua dan pemerintah Indonesia? Itu yang harus dijawab dengan jujur,” kata dia.
Sementara, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Papua, Maikel Primus Peuki mengatakan, pembangunan yang dilakukan tanpa melibatkan warga lokal, berpotensi memicu konflik, ketidakpuasan, serta mengancam keberlanjutan lingkungan.
Dia bilang, kerusakan hutan mulai bergeser ke Papua, melalui pemberian izin tambang, perkebunan sawit, HPH, HTI, THE, yang telah lama beroperasi dan bermunculan pasca pemekaran.
Ia menekankan bahwa pembangunan harus melibatkan masyarakat lokal dan mempertimbangkan kesejahteraan mereka. Tanpa adanya pendekatan yang inklusif, potensi konflik akan terus meningkat, dan kerusakan lingkungan akan semakin parah.
Dosen Teknik Lingkungan Universitas Tanjungpura, Aji Ali Akbar menyoroti permasalahan tingginya prevalensi stunting di daerah kaya SDA, seperti Papua. Sungguh ironis, daerah dengan kekayaan alam berlimpah justru angka stuntingnya tinggi.
“Stunting terbesar terjadi di Papua, padahal di sana ada minyak, gas, emas, dan segala macam sumber daya alam,” ujarnya.
Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara pengelolaan SDA dan kesejahteraan masyarakat setempat. Aji menegaskan bahwa walaupun regulasi di Indonesia sudah cukup baik, implementasinya yang masih jauh dari harapan menyebabkan dampak negatif bagi sebagian masyarakat.
Selain itu, Aji juga menyoroti masalah bencana alam yang sering terjadi di Indonesia, terutama banjir dan tanah longsor.”Bencana alam ini sebagian besar disebabkan oleh alih fungsi lahan yang terjadi puluhan tahun lalu,” jelasnya.
Di sisi lain, Pakar Lingkungan dari IPB University, Bambang Hero Saharjo, menyoroti korupsi besar-besaran yang terjadi dalam pengelolaan SDA. Menimbulkan kerusakan lingkungan dahsyat, misalnya kasus korupsi PT Timah yang menimbulkan kerugian negara akibat rusaknya lingkungan senilai Rp271 triliun.
Bambang mengkritisi lemahnya etika penyelenggara negara dalam menangani SDA, di mana korupsi menjadi kendala utama dalam mewujudkan pasal 33 UUD 1945. Menurutnya, regulasi yang ada sering kali bertumpuk dan justru saling beradu, tidak saling mendukung.