News

Pakar Psikologi Forensik: Prabowo-Gibran Terkesan Berjarak, Kurang Interaksi

Mata terlatih yang dikomando kepala penuh ilmu, tak akan menghasilkan kesimpulan yang sama dengan penglihatan awam tanpa ilmu. Bila publik tidak membaca apapun dari hubungan dan gestur tubuh Prabowo dengan Gibran Rakabuming Raka pada acara pengundian nomor urut di Komisi Pemilihan Umum (KPU), Selasa (14/11/2023) lalu, pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel, menyaksikan hal yang tak lazim pada relasi di antara mereka. 

Menurut Reza, boleh dibilang Prabowo-Gibran nyaris tidak berinteraksi satu sama lain, sejak mereka masuk ke ruangan utama pengundian hingga acara ditutup. “Satu-satunya momen mereka berbicara satu sama lain adalah ketika mereka menerima bingkai nomor peserta dari Ketua KPU,”kata kata Reza. “Itu pun dalam durasi yang amat singkat.”

Selain itu, kata dia, tidak sedikit pun Prabowo-Gibran berbincang bahkan sebatas beradu pandang satu sama lain. “Ini bukan pengamatan sepintas lalu. Ini pengamatan penuh saya selama berlangsungnya acara,”kata Reza, menegaskan.  Reza mengatakan, Gibran justru banyak bicara dengan Nusron Wahid yang duduk di sisi kirinya.

Begitu pula saat Prabowo-Gibran berjalan. Kesempatan itu tidak mereka manfaatkan untuk menunjukkan kebersamaan, keguyuban, dan kedekatan hati di antara mereka. Prabowo sama sekali tidak mempertontonkan gestur positif kepada orang yang akan menjadi wapresnya itu. 

Yang Reza tekankan, ia melihat tangan Prabowo tidak mempersilakan, kepalanya tidak menoleh, ia juga tidak mengurangi kecepatannya berjalan. Prabowo berjalan sendirian. “Kebetulan Gibran mengiringinya. Itu pun dengan posisi yang terhitung jauh untuk sebuah acara di mana seharusnya mereka berdua memperlihatkan kekompakan dan keharmonisan.”

“Saya teringat cerita yang dikisahkan Jenderal Sutiyoso. Dia katakan, Prabowo adalah orang yang sangat correct dalam bertindak-tanduk. Dia pertontonkan rasa hormatnya secara terbuka kepada lawan bicara yang dia hormati,” ujar Reza. “Dengan menjadikan itu sebagai baseline tata krama Prabowo, saya simpulkan bahwa correctness semacam itu tidak dia peragakan, tidak ia berikan kepada Gibran,”kata Reza. 

Tetapi, menurut dia, Prabowo memang punya alasan untuk bersikap demikian. Pertama, menurut Reza, Prabowo mungkin merasa bahwa ada kesenjangan semangat dan perbendaharaan wawasan pada diri cawapresnya. Akibatnya, tidak ada antusiasme untuk bercengkrama. “Sekadar basa-basi pun tidak ia lakukan dengan memberikan kesempatan kepada Gibran untuk berbicara,”ujar dia.

Kedua, untuk seorang cawapres yang hadir di acara resmi, Gibran tidak mengenakan busana secara patut. Pantas dipertanyakan, siapa konsultan pribadinya sehingga memberikan masukan tentang pilihan celana dan sepatu sedemikian rupa. 

Menurut Reza, citra politisi muda seharusnya tidak ditonjolkan lewat cara berbusana yang justru mengesankan tidak tahu adat. “Bahkan ajudan Prabowo pun berpenampilan lebih layak. Prabowo boleh jadi tidak gembira dengan penampilan Gibran malam itu,”ujar Reza. 

Sementara itu, pakar psikologi dan personal branding, Dewi Haroen, mengaku pada saat itu dirinya lebih fokus memirsa pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN). Berlawanan dengan kesan Reza terhadap pasangan Prabowo-Gibran, kesan Dewi kepada pasangan AMIN justru positif. “Keduanya padu, kompak, dan memiliki chemistry,”kata Dewi. 

Menurut Dewi, jelas terlihat bahwa chemistry antara keduanya sudah terbentuk. “Karena itu, bahasa gerak tubuh yang terlihat bersifat spontan, keluar secara natural. Ada saling support dan saling pengertian di antara mereka,” kata Dewi, saat dihubungi Inilah.com, Kamis (16/11/2023).

Chemistry ini, kata Dewi, adalah sesuatu yang tidak bisa dipaksakan. Hal itu terbentuk dari adanya kepercayaan satu sama lain, saling mengisi dan meleburkan ego satu sama lain.   Karena itu, Dewi memberikan penilaian sangat positif pada pasanagn AMIN. “Insya Allah, (mereka)  dwitunggal,” ujarnya.

Dewi sendiri meyakini kekompakan dan chemistry merupakan syarat mutlak pasangan pemimpin dalam memimpin Indonesia ke depan.  “Tantangan RI ke depan butuh sepasang presiden-wapres yang saling support. Kita tahu, situasi dan kondisi global tengah tak menentu dan berat,” ujar penulis buku seputar personal branding  yang juga pakar public relations itu.

Bagi Dewi, saat ini dan ke depan, tidaklah sepantasnya menganggap wapres sebagai ban serep. “Dia harus ikut membantu presiden dengan mengelola permasalahan dalam dan luar negeri yang saling terkait,”kata Dewi. 

Yang juga menarik, Dewi menilai duet Ganjar Pranowo-Mahfud MD ibarat dua matahari kembar yang saling bersaing. “Aura akademisi dan pengalaman jam terbang pemerintahan yang tinggi dari Mahfud mengusik ego Ganjar sebagai capres. Ini sulit dimungkiri, terlihat kasat mata dengan perbedaan warna baju,” ujar dia.

Sedangkan Prabowo-Gibran, kata Dewi, tak ubahnya dua sosok yang dipaksakan jadi satu semata agar bisa memenangkan Pilpres. Keduanya yang terpisah usia dan pengalaman yang jauh bisa menjadi jarak sendiri. Apalagi anak muda, lanjutnya, mana ada bawahan atau ajudan yang bisa menyatu dengan tuannya. [dsy]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button