Dokter dan ahli gizi masyarakat Tan Shot Yen menyebut pemberian susu dalam menu program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto tak lagi relevan.
Ia menyatakan, pemberian susu sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 41 Tahun 2014 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman.
“Kenapa harus ada susunya? Kita sudah keluar dari empat sehat lima sempurna, karena itu sudah lawas banget,” kata dia dalam diskusi yang digelar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) di Jakarta, Selasa (27/8/2024).
Ada dua alasan mengapa ia merasa tidak lagi perlu memasukkan susu dalam program tersebut. Pertama, kondisi mayoritas masyarakat Asia Tenggara yang intoleran terhadap laktosa.
“80 persen lebih orang Asia Tenggara intoleran dengan laktosa. Mengalami mencret, diare, kembung, mual saat konsumsi yang berbahan susu. Bisa bayangkan apakah kondisi masyarakat yang secara etik genetik kita seperti itu, malah diberi makanan berbahan susu,” tutur dia.
Alasan lainnya, susu yang diberikan selama uji coba program justru susu kemasan memiliki rasa. Justru, produk ini rawan menyabotase pemenuhan gizi anak. Ia mengingatkan, harus waspada terhadap gula tersembunyi dalam produk-produk kemasan.
“Jadi rentan banget dengan yang disebut dengan manipulasi rasa, manipulasi kandungan gizi. Akhirnya ini merupakan sabotase yang kita sebenarnya ingin anak menjadi lebih baik,” ucap dia.
Senada, Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pendidikan dan Kesehatan KemenPPPA Amurwani Dwi Lestariningsih juga mengimbau agar ke depan, para pihak yang terkait pelaksanaan program ini cermat dalam memilih susu.
“Susu penting juga ya untuk pertumbuhan anak, tapi memang harus dilihat kadar gulanya seberapa. Jadi kadar gulanya kalau bisa ya sesuai dengan aturan,” ujarnya.
Dibanding dengan susu kemasan, ia pun menyarankan penggunaan susu cair yang didapatkan langsung dari susu perah. “Kalau susu untuk anak-anak lebih baik susu cair, ya. Susu cair langsung dari sapi itu aja, kalau mau dikasih susu sapi,” tutur dia.