Kanal

Pamor Jokowi yang Agak Memudar dan Munculnya Gejala “Social Distrust”

Litbang Kompas merilis hasil jajak pendapat terbaru mereka. Hasilnya, terjadi penurunan kepuasan publik atas kinerja pemerintahan Jokowi-Ma`ruf Amin di bidang penegakan hukum. Survei yang berlangsung 24 September hingga 7 Oktober 2022 itu menunjukkan angka kepuasan publik terhadap kinerja di bidang penegakan hukum hanya berada di angka 51,5 persen.

“Capaian ini turun 6 persen dibandingkan dengan hasil survei sebelumnya pada Juni 2022,” ujar peneliti Litbang Kompas Rangga Eka Sakti dikutip dari Harian Kompas, Senin (24/10/2022).

Hasil ini menjadi yang terburuk sejak survei Litbang Kompas Oktober 2019. “Hampir tidak ada yang berhasil memuaskan mayoritas publik. Singkatnya dari lima aspek yang diukur, hanya satu yang mendapatkan skor kepuasan di atas 50 persen,” ujar Rangga.

Apa yang tersaji dari angka angka survei Litbang Kompas ini sama sekali tidak mengagetkan. Awam sekalipun bisa menebak dan kita pasti akan terkaget kaget jika hasil survei ini menunjukkan hasil sebaliknya.

Banyak sebab mengapa kepercayaan publik terhadap Jokowi menurun. Salah satunya disampaikan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). “Kehidupan masyarakat kita hari ini tidak lebih baik dari dulu. Betul?” kata AHY saat melantik Pengurus DPC dan DPAC se-DKI Jakarta, Selasa (11/10) lalu.

“Kita tidak ingin membanding-bandingkan ketika Indonesia dipimpin oleh presiden SBY dan ketika partai Demokrat berada dalam pemerintahan nasional. Tetapi faktanya memang demikian, bahwa ketika itu masyarakat Indonesia hidup lebih baik, hidup lebih sejahtera, kemiskinan menurun ketika itu,” jelas AHY pula.

Klaim AHY ini tentu sangat debatable. Kendati begitu beragam peristiwa hukum seperti kasus Sambo, tragedi Kanjuruhan, dan tertangkapnya Irjen Teddy Minahasa dalam kasus narkoba semakin membuat kepercayaan publik terhadap upaya penegakan hukum kian merosot.

Ini pula yang dipotret oleh Litbang Kompas dalam surveinya kali ini. Publik menunjukan ketidakpuasannya pada lima aspek penegakan hukum. Kelimanya adalah penuntasan kasus hukum, menjamin perlakuan yang sama kepada semua warga, pemberantasan KKN, penuntasan kasus kekerasan oleh aparat atau HAM, serta pemberantasan suap dan jual beli kasus hukum.

Tersendatnya proses demokratisasi akhir akhir ini juga turut andil dalam memudarkan kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Ketua DPP PKS Madani Ali Sera mencatat setidaknya ada empat penyakit demokrasi di Indonesia. Pertama, high cost politic; Kedua, oligarki politik karena ongkos yang mahal maka harus punya bandar; Ketiga interlocking (saling mengunci), karena bandarnya sama sehingga tidak bisa berbuat apa-apa; Keempat, involutif (kemunduran pertumbuhan), akhirnya politik hanya untuk elite. “Yang terjadi ya begitu, makin jauh demokrasi dari rakyat, karena prosedural saja,” ujar Madani.

Pandangan berbeda datang dari Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto. Menurutnya, sejauh ini pemerintahan Jokowi-Ma’ruf berhasil menangani berbagai krisis. Ia mengakui bahwa situasi belakangan ini jauh dari kata mudah. Namun, menurut Hasto, duet Jokowi-Ma’ruf berhasil bertahan dan mengatasi masa-masa sulit di tengah berbagai persoalan.

“Kita baru going to normal, sehingga ini kondisi yang tidak mudah. Tetapi di tengah persoalan itu ada optimisme, ada pengakuan bagaimana Pak Jokowi, Kiai Haji Ma’ruf Amin berhasil mengatasi masa sulit dan menangani krisis,” kata Hasto di Sekolah Partai DPP PDIP, Jakarta Selatan, Rabu (19/10) lalu.

 Gejala “Social Distrust”

Dalam bahasa yang berbeda, apa terjadi belakangan ini memunculkan apa yang disebut dengan social distrust. Ada ketidakpercayaan yang meluas terhadap pemerintah, yang jika tidak dikelola dengan baik akan menjadi sumber polarisasi yang tajam di masyarakat.

Konflik antarkelompok yang terjadi di Indonesia, dalam catatan sosiolog Universitas Indonesia, Imam B. Prasodjo seperti dikutip Turmono Rahardjo dalam “Memahami Kemajemukan Masyarakat Indonesia” merupakan satu dari banyak persoalan yang tengah kita hadapi.

Masalah keamanan, sosial, ekonomi, politik dan moral saling terkait satu sama lain, sehingga sulit untuk mengurai dan mengatasi beragam masalah tersebut. Akibat dari situasi ini, pemerintah seperti tidak memiliki cukup kemampuan untuk memberikan perlindungan kepada warganya, sedangkan masyarakat sendiri telah kehilangan kekuatan untuk mengatasi masalah yang dihadapi.

Dalam terminologi ilmu sosial, bila berbagai persoalan yang dihadapi tidak segera diatasi, maka suatu negara akan memasuki situasi yang disebut dengan “darurat kompleks” (complex emergency). Dan tidak berlebihan bila dikatakan bahwa Indonesia telah memasuki situasi “darurat kompleks” ini, karena persoalan-persoalan yang dihadapi sudah sedemikian perlu mendapat penanganan yang sungguh-sungguh.

Soal meluasnya fenomena social distrust  bukanlah temuan baru. Dalam sejumlah literatur disebutkan, setidaknya ada lima hal terkait potensi gangguan keamanan di masa datang.

Pertama, gejala unjuk rasa yang cenderung bertambah, baik berdasarkan geografi eskalasinya maupun dari mobilisasi massanya. Kedua, meningkatnya social distrust (ketidakpercayaan sosial) terhadap lembaga-lembaga negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Ketiga, meningkatnya gejolak politik mendekati pemilu 2024. Keempat, fenomena masyarakat yang kian permisif terhadap aksi kekerasan. Dan kelima, efektivitas pemerintah dalam menangani berbagai problem masyarakat yang cenderung lamban.

Terkait dengan hal ini, Syahganda Nainggolan aktivis Sabang Meurake Circle dalam tulisannya menyatakan, gejala social distrust ini mesti menjadi perhatian dan harus segera mendapatkan solusi yang tepat,  jika tidak ingin meluas dan memicu munculnya keresahan sosial, dan berujung pada revolusi sosial.

Revolusi adalah perubahan sosial yang menggantikan struktur sosial, struktur politik dan ekonomi serta kadangkala struktur budaya masyarakat atau peradaban. Perubahan ini umumnya diwarnai dengan perubahan kepemimpinan yang kuat dan perlawanan yang terorganisasi, serta acapkali disertai kekerasan.

Itu sebabnya semua komponen republik ini perlu mawas diri dan menganalisa secara detail terhadap kemungkinan pecahnya revolusi sosial.

Terdengar seperti berlebihan memang.  Tetapi menurut Syahganda, penting bagi kita melakukan analisa atas hal ini karena jika revolusi datang pada sebuah bangsa, namun gagal di “bimbing”, yang terjadi biasanya adalah kehancuran bangsa. Syahganda merujuk pada kegagalan revolusi di Afganistan, Filipina terkait penggulingan Ferdinan Marcos, dan beberapa kasus di Amerika latin.

Sebaliknya, Revolusi Bolshevik di Rusia, Revolusi di Iran, Revolusi di China, karena terarah dan terbimbing, bangsa tersebut terselamatkan.

Ilmu sosial telah melahirkan berbagai teori tentang revolusi, baik mencari sebab munculnya revolusi maupun sejarah revolusi. Sebab sebab revolusi dikaji oleh ahli ahli sosiologi, seperti Skocpol, dalam bukunya “State and Social Revolution”, 1979, yang membandingkan revolusi Prancis, China dan Rusia.

Melihat berbagai spektrum pemikiran dan analisa tersebut, secara umum sebuah revolusi itu terjadi karena adanya 1) Meluasnya kekecewaan rakyat atas rezim yang berkuasa, 2) Terjadinya kooptasi negara dengan melakukan politik tirani dan berbagi kekuasaan dengan kaum oligarki, 3) Terjadi kemerosotan peran dan eksistensi negara akibat perang atau wabah ataupun keuangan negara, 4) Munculnya tokoh-tokoh revolusioner, 5) Adanya ideologi yang mempersatukan gerakan perlawanan.

Sejarah mencatat beberapa konflik destruktif akibat gejolak sosial pernah terjadi di Indonesia. Sebut saja pertikaian di Sampit antara suku Dayak dan suku Madura pada tahun 2001 yang menyebabkan sedikitnya 500 nyawa melayang.

Yang paling kelam pasca pemberontakan G 30S PKI adalah kerusuhan Mei 1998. Kerusuhan itu menghancurkan ratusan gedung di berbagai kota dan menewaskan banyak orang. Warga etnis Tionghoa menjadi sasaran amarah dari kerusahan tersebut. Amuk massa itu memaksa Presiden Soeharto lengser, lalu posisinya digantikan BJ Habibie pada 21 Mei 1998.

Akhirnya kita berharap segenap anak bangsa bersatu memikirkan secara serius dan mendalam kondisi yang kemungkinan akan kita hadapi. Kita berhadapan dengan pilihan-pilihan, mau mempertahankan gaya berpolitik saat ini atau gaya berpolitik yang memihak ke rakyat.  Kita akan mempertahankan sistem ekonomi-politik seperti sekarang atau kembali kepada jalan ekonomi-politik yang sudah digariskan para pendiri bangsa kita.

Wiguna Taher (Pemimpin Redaksi Inilah.com)

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button