Panduan Perjalanan Online Ini Masukan Bali ke Daftar Tempat Wisata tak Layak Dikunjungi


Panduan perjalanan dan informasi pariwisata online, Fodor’s Travel Guide, memasukan Bali dalam daftar ‘No List 2025’. Itu artinya, Fodor’s menganggap Bali merupakan tempat wisata yang tidak layak dikunjungi oleh para turis.

Menurut ulasan Fodor’s, pembangunan yang cepat dan tak terkendali yang didorong oleh pariwisata yang berlebihan telah merambah habitat alami Bali. Pembangunan itu dianggap telah mengikis warisan lingkungan dan budaya dan menciptakan ‘kiamat plastik’.

“Industri pariwisata Bali dan lingkungan alam terkunci dalam hubungan yang rapuh dan melingkar: Ekonomi Bali tumbuh subur berkat keramahtamahan, yang bergantung pada kesehatan lanskap alamnya,” tulis Fodor’s dalam situsnya.

Fodor’s menyebut dampak kerusakan lingkungan itu tercermin dalam angka-angka yang diberikan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali. Pulau paling populer di mata dunia ini mencatat sekitar 5,3 juta wisatawan internasional pada tahun 2023, menunjukkan pemulihan yang kuat dibandingkan dengan tingkat sebelum pandemi.

Pada tujuh bulan pertama tahun 2024 saja, jumlah wisatawan asing meningkat menjadi sekitar 3,5 juta, menandai peningkatan 22 persen dibandingkan jangka waktu yang sama pada tahun 2023.

Pulihnya angka pariwisata pasca-pandemi COVID-19 dianggap hanya meningkatkan ketegangan di pulau berjuluk Pulau Dewata tersebut. Meskipun arus masuk ini telah meningkatkan ekonomi, hal itu juga telah memberikan tekanan yang luar biasa pada infrastruktur Bali.

Pantai-pantai yang dulunya bersih seperti Kuta dan Seminyak, kini dipenuhi tumpukan sampah, dengan sistem pengelolaan sampah setempat berjuang keras untuk mengatasinya.

Bali Partnership, sebuah koalisi akademisi dan LSM yang bekerja untuk mempelajari dan memecahkan masalah pengelolaan sampah, memperkirakan pulau ini menghasilkan 1,6 juta ton sampah setiap tahunnya, dengan sampah plastik mencapai hampir 303.000 ton.

Meskipun volume sampahnya besar, hanya 48 persen dari semua sampah yang dikelola secara bertanggung jawab, dan hanya 7 persen sampah plastik yang didaur ulang.

Kekurangan ini mengakibatkan 33.000 ton plastik masuk ke sungai, pantai, dan lingkungan laut Bali setiap tahun, yang menimbulkan ancaman serius bagi ekosistem pulau ini.

“Pengelolaan sampah Bali hampir tidak mampu mengimbangi volume sampah, dan itu masih jauh dari kata cukup,” kata Kristin Winkaffe, seorang pakar perjalanan berkelanjutan yang berfokus pada wilayah Asia Tenggara.

Gary Bencheghib, salah satu pendiri Sungai Watch, sebuah kelompok lingkungan berbasis masyarakat yang bekerja untuk melindungi sungai-sungai Bali, menyebut situasi ini sebagai ‘kiamat plastik’ dan perjuangan yang berat.

Organisasi lingkungan hidup World Wildlife Fund (WWF) telah mengkritik pesatnya perkembangan pariwisata Bali selama beberapa dekade, dengan mengeluarkan laporan pada tahun 2007.

“Pembangunan pariwisata Bali terjadi dengan cepat dan tanpa perencanaan yang matang atau mematuhi aturan pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, pariwisata telah menyebabkan kerusakan serius pada lingkungan pulau ini,” kata WWF.

Selain itu, kualitas air pesisir Indonesia dianggap terancam oleh polutan. Laporan dari Bank Pembangunan Asia menyebutkan bahwa nutrisi yang berlebihan, senyawa organik, dan logam berat dari air limbah domestik, industri, pertambangan, pertanian, dan akuakultur merupakan sumber polusi yang paling signifikan.