Hangout

Paparan Cuaca Panas Terus-menerus Picu Gangguan Jiwa

Beberapa negara di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia mengalami paparan cuaca panas yang tidak biasa. Studi terakhir ini membuat kita harus lebih berhati-hati lagi menghadapi cuaca panas karena berdampak buruk pada kesehatan jiwa.

Masyarakat Indonesia belakangan ini mengeluhkan cuaca yang sangat panas sejak lebaran lalu. Salah satu wilayah yakni Ciputat bahkan tercatat sempat mengalami kenaikan suhu hingga tembus 37,2 derajat Celcius. Hal ini pun semakin membuat khawatir masyarakat, sebab ditakutkan akan terdampak seperti di India yang menyebabkan korban jiwa.

Seperti yang kita ketahui wilayah India dan Pakistan saat ini sedang dilanda gelombang panas atau heat wave, namun peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin dengan nama pengguna Twitter @EYulihastin (25/4/2023) menyampaikan bahwa wilayah Indonesia tidak mengalaminya.

Erma mengatakan bahwa cuaca panas yang terjadi di Indonesia merupakan hot spells yang memiliki relevansi dengan kenaikan suhu global. “Di Indonesia tidak ada heat wave tetapi ada hot spells. Fenomena hot spells tersebut terjadi minimal terjadi tiga hari berturut-turut di suatu wilayah. Jika suhu naik hingga 37 derajat celcius, hal itu merupakan suhu maksimum yang terjadi sesaat dan hanya berlangsung selama beberapa jam saja,” katanya.

Hubungan dengan kesehatan mental

Sebuah studi berbasis rumah sakit jiwa di Hanoi, Vietnam mencoba untuk melihat apakah ada hubungan antara paparan panas dan masalah kesehatan mental. Hasilnya menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam penerimaan rumah sakit untuk penyakit mental selama periode gelombang panas, terutama selama periode paparan panas yang lebih lama.

Studi mahasiswa doktoral di Umea University, Hanoi, Vietnam tersebut mengamati data penerimaan dari Rumah Sakit Jiwa Hanoi selama periode 5 tahun (2008–2012). Kesimpulan studi ini menemukan bahwa faktor-faktor termasuk usia tua, jenis kelamin, dan penduduk pedesaan berkontribusi terhadap lebih banyak penyakit mental di antara kelompok rentan selama musim panas atau paparan panas yang ekstrim.

“Saya terkejut menemukan bahwa ada hubungan yang cukup kuat antara masuk rumah sakit untuk depresi dan gangguan mental lainnya dan periode suhu tinggi atau gelombang panas. Hubungan tersebut semakin kuat dengan lamanya gelombang panas dan orang tua khususnya tampak lebih sensitif terhadap musim, cuaca panas dan gelombang panas,” kata Trang Phan Minh, mahasiswa doktoral di Departemen Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Klinis, Unit Epidemiologi dan Kesehatan Global, di Universitas Umea.

Hasil studi itu juga menemukan ternyata jumlah pasien gangguan jiwa meningkat selama cuaca panas seperti musim panas dan peristiwa gelombang panas dengan suhu rata-rata lebih dari 35 derajat Celcius selama setidaknya 3 atau 7 hari berturut-turut. Temuan lainnya yakni peningkatan 24 persen kasus gangguan jiwa di musim panas dibandingkan musim dingin.

“Ada peningkatan sebesar 2 persen penerimaan ketika suhu rata-rata naik satu derajat Celcius,” papar Minh. Ia juga mengungkapkan, risiko gangguan jiwa pada populasi umum selama gelombang panas minimal 7 hari berturut-turut adalah dua kali lebih besar daripada selama gelombang panas minimal 3 hari berturut-turut.

Studi Trang Phan Minh bersifat formatif dan dapat membuka jalan untuk studi masa depan di banyak negara yang sering dilanda cuaca panas. Menurut peneliti, hasilnya dapat membantu profesional kesehatan mental dengan memberikan lebih banyak informasi tentang dampak kesehatan mental dari paparan pola cuaca dan panas atau gelombang panas yang ekstrim.

Ketika fenomena pemanasan global muncul dan suhu rata-rata meningkat, hasil ini menunjukkan hubungan antara panas dan masalah kesehatan mental dapat membantu pembuat kebijakan dan manajer kesehatan.

“Skenario ini memerlukan kesiapan dan solusi yang baik untuk mengelola potensi peningkatan gangguan mental dan untuk melindungi orang miskin populasi dan kelompok kesehatan yang buruk,” kata Trang Phan Minh yang sebelumnya bekerja untuk Institute of Labor Protection di Vietnam sebagai dokter di bidang kesehatan lingkungan dan pekerja.

Siklus panas jelang kemarau

Sementara itu Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menjelaskan bahwa suhu panas yang terjadi sekarang merupakan fenomena akibat adanya gerak semu matahari. Ini menjadi suatu siklus yang biasa dan terjadi setiap tahun. Potensi suhu udara panas seperti itu dapat berulang pada periode yang sama setiap tahunnya.

Siklus tahunan tersebut berdampak pada wilayah Jawa yang temperaturnya sedikit naik pada bulan April dan Mei, lalu naik suhu kembali memuncak di bulan Oktober. Pada bulan selain itu, temperatur akan menurun. Sehingga peningkatan panas yang terjadi di Indonesia merupakan hal yang berbeda dengan gelombang panas yang terjadi di wilayah lainnya di Asia.

BMKG juga memprediksikan musim kemarau terjadi mulai akhir bulan Mei hingga akhir bulan September. Hal ini perlu diantisipasi untuk menghadapi kekeringan yang nanti akan terjadi sebagai konsekuensi dari kondisi panas yang saat ini.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button