News

Megawati dan Cengkeraman Feodalisme di PDIP

Belum ada keberanian elite PDIP lain untuk maju sebagai calon ketum. Kecuali, calon ketum itu direkomendasikan oleh Megawati untuk menggantikan dirinya.

Berbicara mengenai Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), hampir dipastikan tak bisa dilepaskan dari sosok Megawati Soekarnoputri. Ketua umum PDIP itu memang sosok sentral di partai berlambang banteng moncong putih itu.

Posisi Megawati sebagai ketua umum (ketum) PDIP sendiri diputuskan dalam Kongres I PDIP yang berlangsung di Semarang, Jawa Tengah 27 Maret-1 April 2000. Artinya, jika dihitung hingga 2023, putri kedua Presiden ke-1 RI Soekarno itu sudah menempati kursi ketum PDIP selama 23 tahun. Kongres ini digelar setelah satu tahun sebelumnya atau awal Februari 1999, Megawati mengubah nama PDI menjadi PDIP agar bisa mengikuti Pemilu 1999. Sebab, Megawati sejatinya sudah memimpin PDI sejak tahun 1993 merujuk hasil Kongres Luar Biasa (KLB) di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, Jawa Timur.

Kembali ke soal kepemimpinan Megawati selama 23 tahun di PDIP sejak tahun 2000, hal itu pun memunculkan suara miring yang menyebut PDIP lekat dengan feodalisme. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), feodalisme merupakan sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan.

Jika dikaitkan dengan apa yang terjadi d internal PDIP, praktik feodalisme itu terimplementasi melalui kursi ketum yang masih diduduki Megawati. Kondisi ini dinilai terkait Megawati merupakan putri dari Soekarno, Presiden ke-1 RI sekaligus Proklamator kemerdekaan Indonesia.

Upaya Perlawanan

Diketahui, dalam kurun waktu 23 tahun, bukannya tidak ada sosok-sosok di PDIP yang “melawan” dengan artian menginginkan regenerasi kepemimpinan. Namun, semuanya berakhir dengan kegagalan.

Hal tersebut antara lain bisa dilihat dari langkah Politikus PDIP saat itu, Eros Djarot dan Dimyati Hartono ikut maju sebagai calon ketua umum PDIP pada Kongres I PDIP di Semarang tahun 2000. Namun, keduanya tak bisa menggoyang Megawati dari kursi ketum PDIP.

Gelombang lebih besar untuk menggeser Megawati dari tampuk kepemimpinan PDIP kemudian mencuat di tahun 2004. Tuntutan pergantian ketum muncul dari kader PDIP di antaranya Laksamana Sukardi dan Roy B.B. Janis seiring kekalahan PDIP di Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden 2004. Gelombang ini terus bergulir hingga Kongres II PDIP di Denpasar, tahun 2005, Kader lain juga bersuara soal pergantian ketum PDIP yaitu Arifin Panigoro, Postdam Hutasoit, Didi Supriyanto, Tjandra Wijaja, Suko Waluyo Mintohardjo, Pius Lustrilanang, Angelina Pattiasina, Shopan Sophiaan, Noviantika Nasution, dan Pieters Sutanto.

Selain soal kekalahan PDIP di Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2004, sejumlah kader itu gusar lantaran ketum PDIP memiliki kewenangan mutlak. Meski begitu, upaya mereka memperjuangkan perubahan di PDIP tak membuahkan hasil.

Dengan kata lain, gelombang besar itu nyata tak menggoyahkan kepemimpinan Megawati. Pasalnya, Kongres II PDIP mengukuhkan Megawati sebagai ketum PDIP periode 2005-2010. Adapun, sejumlah kader yang melawan Megawati itu selanjutnya keluar dari PDIP dan mendirikan Partai Demokrasi Indonesia Pembaruan.

Sementara, laju Megawati menakhodai PDIP pun terus berlanjut melewati Pemilu 2009 diiringi dinamika jatuh bangun hingga akhirnya mampu memenangkan Pemilihan Legislatif dan Pilpres 2014. Sebab, pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla yang diusung PDIP bersama sejumlah partai politik (parpol) berhasil meraih suara terbanyak dalam Pilpres 2014.

Kiprah PDIP di bawah kepemimpinan Megawati dalam perpolitikan nasional pun kian menguat. Tak tanggung-tanggung, Megawati pun berani menyebut Jokowi sebagai petugas partai meski telah menyandang status sebagai Presiden RI.

Kuku Megawati di PDIP pun semakin kokoh. Pada Kongres IV PDIP di Bali pada 8-12 April 2015, Megawati Soekarno Putri kembali dikukuhkan sebagai Ketum PDIP periode 2015-2020. Terlebih, PDIP kembali memenangkan Pemilu Legislatif dan Pilpres 2019. Jokowi selaku kader PDIP menjadi presiden untuk kali kedua. Kepemimpinan Megawati berlanjut untuk periode 2019-2024 setelah terpilih aklamasi pada Kongres PDIP ke-V di Denpasar, Bali, Agustus 2019.

Meski dalam perjalanannya, terutama beberapa bulan belakangan ini, Megawati disebut-sebut tak lagi akur dengan Presiden Jokowi. Sejumlah faktor dikabarkan menjadi pemicu, salah satunya imbas pernyataan Megawati yang dinilai kerap menyepelekan dan merendahkan Jokowi

Megawati sendiri beberapa waktu lalu mengakui banyak mendengar pernyataan-pernyataan yang menyebut dirinya sudah begitu lama menjadi ketum PDIP. Namun, ia menyebut, posisi ketum itu berdasarkan kesepakatan kader-kader PDIP.

Sementara, mencuat pula usulan dari putra sulung Presiden ke-1 RI Soekarno, Guntur Soekarnoputra agar Jokowi bisa menggantikan Megawati sebagai ketua ketum PDIP jika sudah tak lagi menjabat Presiden RI.

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto tak masalah dengan usulan tersebut. Partai ini menganggap usulan itu sebagai sebuah masukan. Menurut Hasto, proses pergantian ketum PDIP baru akan dibahas setelah Pemilu 2024. Hal itu kemudian bermuara melalui Kongres VI PDIP yang akan digelar tahun 2025.

“Dalam kongres itu, kedaulatan berada di tangan anggota. Itu lembaga pengambil keputusan tertinggi. itu mekanisme yang berjalan di partai,” kata Hasto.

Munculnya Dominasi 

Dalam pandangan Dosen Komunikasi Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Direktur Eksekutif Indonesian Presidential Studies (IPS), Nyarwi Ahmad, jabatan ketum PDIP yang tak kunjung bergeser dari Megawati memang tak terlepas dari faktor statusnya sebagai salah satu putri Presiden ke-1 RI Soekarno. Selain itu, terdapat pula faktor ketokohan.

“Itu menjadikan ketergantungan PDIP pada sosok ibu Mega itu luar biasa kuat. Sehingga PDIP itu butuh sosok seperti Mega, menjadi simbol yang menyatukan partai,” kata Nyarwi kepada Inilah.com, Jumat (3/11/2023).

Nyawi mengakui, bercokolnya Megawati sebagai ketum dalam jangka waktu lama berdampak pada proses demokrasi di PDIP. Hal ini antara lain berkaitan dengan munculnya dominasi dari wanita itu yang diwujudkan melalui hak prerogatif dan hak veto.

“Karena Ibu Mega punya dominasi yang luar biasa, termasuk soal figur capres (calon presiden) dan lain-lain,” kata Nyarwi.

Di sisi lain, ucap Nyarwi, konsolidasi internal PDIP juga menjadi luar biasa kuat. Sebab, muncul figur pemikir ideologis sekaligus simbol konsolidasi dan menggerakkan budaya politik partai, termasuk dukungan dari basis-basis yang menjadi konstituen dan juga pendukung PDIP.

Sejatinya, apa yang terjadi di PDIP ini, menurut Nyarwi juga terjadi pada partai lain. Ia mencontohkan, Partai Gerindra Demokrat, dan NasDem. Di Gerindra ada sosok Prabowo Subianto. Sedangkan di Demokrat, terdapat sosok Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

“NasDem juga ada sosok seperti Surya Paloh yang saya kira juga jadi figur penting yang mengkonsolidasikan dan mampu untuk mengembangkan Partai NasDem,” ujar Nyarwi.

Dia memprediksi, kepemimpinan Megawati Soekarnoputri di PDIP masih akan terus berlanjut. Sebab, partai ini dinilai akan sulit apabila dipimpin oleh sosok di luar trah Soekarno.

“Kader-kader, pimpinan PDIP juga selain sangat menghormati juga sangat bergantung ya untuk menggerakkan, konsolidasi partai itu pada trah Soekarno, karena mereka dianggap sebagai simbol yang bisa menggerakkan partai menjadi solid,” kata Nyarwi.

Di sisi lain, dia melihat, belum adanya keberanian dari elite PDIP lain untuk maju sebagai calon ketum. “Kecuali nanti Megawati memberikan rekomendasi sejumlah nama yang berpotensial untuk menggantikan dirinya,” ujar Nyarwi.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah menyebut, sejak awal dibentuk, PDIP lekat dengan sosok Megawati Soekarnoputri. Dengan kata lain, PDIP akan selalu Megawati.

“Dan hanya akan diputuskan dalam kongres, dan itu pun potensi besarnya yang akan menggantikan Megawati adalah putrinya, yaitu Puan Maharani,” kata Dedi.

Dedi sendiri menilai feodalisme dalam tidak mempengaruhi sistem konstitusi, politik, dan sistem negara yang dijalankan oleh pemerintah.

PDIP pun dipandang konsisten apabila menyematkan sebutan petugas partai kepada para kadernya. Sebab, ujar Dedi, para kader PDIP yang menjadi pejabat negara maupun duduk di lembaga pemerintahan

memang direkomendasikan dan dipilih melalui prosedur partai.

“Jadi dari pernyataan Megawati atau pernyataan PDIP itu benar sebetulnya, bahwa Jokowi itu petugas partai itu benar, Ganjar Pranowo itu petugas partai itu juga benar,” kata Dedi.

Soal apakah sebutan petugas partai yang dilontarkan Megawati membuat Jokowi dan keluarganya kesal sehingga menempuh langkah politik berbeda jelang Pilpres 2024, Dedi menilai hal itu tidak bisa dimaknai dalam konteks sempit. Pasalnya, dia memandang, Jokowi juga memiliki karakter pembangkang. Karakter ini, ujar Dedi berpendapat, bisa dilihat dari langkah Jokowi yang tidak konsisten dengan pernyataannya sendiri pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta tahun 2012 dan Pilpres 2014.

“Misalnya Jokowi secara konsisten mengatakan tidak tertarik ke DKI Jakarta sebagai gubernur, tidak tertarik masuk dalam kontestasi Pilpres 2014, tapi semuanya itu dilanggar,” ujar Dedi. [Dha/Diana Rizky]
 

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button