Keputusan Bank Indonesia (BI) menahan suku bunga acuan alias BI rate terbukti tak mujarab membuat nilai tukar (kurs) rupiah ‘berotot’ di hadapan dolar AS (US$).
Dalam pembukaan perdagangan Kamis (18/7/2024), mata uang Garuda malah melemah 0,35 persen menjadi Rp16.156/US$ dibanding penutupan Rabu (17/7/2024) sebesar Rp16.100/US$.
Lebih miris lagi, anjloknya rupiah paling tajam dibanding mata uang dari negara-negara di Asia yang rata-rata 0,1 persen. Posisi kedua baht Thailand yang ‘ndelosor’ 0,14 persen.
Sedangkan peso Filipina justru bisa menguat meski tipis yakni 0,04 persen. Diikuti yuan China dan dolar Hong Kong.
Kenyataan ini membalikkan keyakinan Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo saat mengumumkan BI rate tetap 6,25 persen pada Rabu (17/7/2024). Dia optimistis rupiah akan menguat terhadap dolar AS. “Ke depan, nilai tukar rupiah diperkirakan stabil dalam kecenderungan menguat,” kata Perry.
Nilai tukar rupiah per 16 Juli 2024 menguat 1,21 persen dibandingkan dengan posisi akhir Juni 2024. Perry mengeklaim, penguatan itu dipengaruhi intervensi BI dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah serta fundamental perekonomian yang kuat.
Dengan perkembangan tersebut, Perry merasa yakin mampu membalikkan keadaan, rupiah bakal menguat cepat. Jika dibanding akhir desember 2023, nilai tukar Indonesia mengalami depresiasi 4,84 persen year to date (ytd).
Perry lantas membanggakan depresiasi rupiah lebih rendah ketimbang mata uang negara lain. Sebut saja peso Filipina yang melemah 5,14 persen Atau baht Thailand rontok 5,44 persen dan won Korea anjlok 7,03 persen.
Ke depan, Perry menambahkan, pegerakan rupiah bakalan stabil dengan kecenderungan menguat. Hal ini sejalan dengan menariknya imbal hasil, rendahnya inflasi dan tetap baiknya pertumbuhan ekonomi indonesia. “Juga komitmen BI, yang mendorong berlanjutnya masuknya aliran modal asing,” kata Perry.