Market

Founder BGK Ingatkan Tingginya Potensi Fraud di Bursa Karbon

Mungkin tak banyak yang tahu, kejahatan perdagangan karbon, ternyata cukup marak. Diduga melibatkan auditor dari pihak ketiga.

Founder Bumi Global Karbon (BGK) Foundation, Achmad Deni Daruri mengatakan, interpol sudah memperingatkan adanya auditor pihak ketiga untuk perdagangan karbon kelas tinggi, yang dipekerjakan skema mekanisme pembangunan bersih dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Ketika auditor itu memverifikasi proyek karbon, sangat rentan terhadap suap atau kolusi. Tujuannya manipulasi hasil sehingga money laundering bisa leluasa terjadi.  

Mungkin anda suka

“Pencuci uang dapat menggunakan kombinasi dana yang diperoleh secara legal dan ilegal untuk membeli turbin dan panel tenaga surya di negara berkembang yang pengawasan dan peraturannya lemah,” papar Deni  Jakarta, Kamis (26/10/2023).

Dalam hal ini, kata Deni, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu belajar dari kasus-kasus money laundering di perdagangan karbon di dunia maupun lokal. Banyak kasus bermodus cuci uang yang diduga kuat berlangsung di bursa karbon di Indonesia. Pertama, PT Carbon Capital Indonesia (CCI), yang diduga melakukan pencucian uang sebesar Rp1,3 triliun melalui skema perdagangan karbon.

Di mana, kata Deni, CCI membeli hak emisi karbon dari perusahaan-perusahaan kehutanan dengan harga murah, kemudian menjualnya dengan harga tinggi kepada perusahaan-perusahaan asing, terutama dari Eropa.

“Selisih harga tersebut diduga masuk  ke rekening-rekening pribadi para direksi dan komisaris PT CCI, serta rekening-rekening offshore di Singapura dan Hong Kong,” ungkap Deni.  

Kedua, lanjutnya, dugaan kasus PT Rimba Makmur Utama (RMU), sebuah perusahaan yang mengklaim memiliki proyek pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) di Kalimantan Tengah (Kalteng). “Proyek ini diduga melibatkan pemalsuan dokumen, penipuan, dan penggelapan dana dari investor asing,” kata Deni.

Deni benar. Berdasarkan laporan Global Witness, sebuah organisasi non-pemerintah yang mengawasi perdagangan sumber daya alam, PT RMU menerima lebih dari US$65 juta dari perusahaan-perusahaan di Singapura, Hong Kong, dan Dubai tanpa memberikan bukti bahwa proyeknya benar-benar menghasilkan pengurangan emisi.

Selain itu, PT RMU juga diduga melakukan praktik monopoli dan korupsi dalam proses perizinan proyeknya. Ketiga, dugaan kasus korupsi lain dalam proyek pengelolaan hutan gambut di Kalimantan Tengah, yang melibatkan sejumlah pejabat dan pengusaha.

Proyek tersebut, kata Deni, diduga menggunakan skema bursa karbon untuk menyalurkan uang hasil korupsi sebesar Rp1,9 triliun, dengan mengklaim bahwa proyek tersebut dapat mengurangi emisi karbon sebesar 2,6 juta ton per tahun.  

Dengan demikian, lanjut Deni, peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No 14 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Bursa Karbon, seharusnya memberikan pedoman yang jelas dan tegas mengenai pencegahan dan penindakan money laundering dalam transaksi karbon.

Namun, aturan tersebut masih sangat lemah dan tidak memadai. Beberapa kelemahan yang dapat ditemukan, antara lain: pertama, tidak ada definisi yang eksplisit tentang money laundering dalam konteks bursa karbon, sehingga menyulitkan identifikasi dan pelaporan kasus-kasus yang terjadi.

Kedua, lanjutnya, tidak ada kewajiban bagi penyelenggara bursa karbon untuk melakukan due diligence terhadap para pelaku pasar, baik pembeli maupun penjual kredit karbon, untuk memastikan bahwa mereka tidak terlibat dalam aktivitas ilegal atau mencurigakan.

“Ketiga, tidak ada sanksi yang tegas bagi para pelaku pasar yang terbukti melakukan money laundering, baik berupa denda, pembekuan aset, pencabutan izin usaha, maupun pidana,” kata Deni.

Keempat, lanjutnya, tidak ada kerja sama yang efektif antara penyelenggara bursa karbon dengan otoritas keuangan, perbankan, dan penegak hukum, untuk melakukan pertukaran informasi dan koordinasi dalam mengawasi dan menangani money laundering.

Kelima, kata Deni, tidak mengatur secara jelas siapa yang bertanggung jawab untuk melakukan pengawasan dan penegakan hukum terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang berpotensi terjadi dalam perdagangan karbon, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Keenam, lanjut Deni, kurangnya data dan informasi yang akurat, lengkap dan terkini tentang emisi GRK dari berbagai sektor dan subsektor ekonomi, yang dapat mempengaruhi kualitas dan ketepatan hasil pengukuran, pelaporan dan verifikasi (MRV) yang merupakan sumber money laundering.

Mengingatkan saja, pada 2021, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melaporkan bahwa emisi GRK nasional mencapai 1,8 giga ton CO2e, sedangkan Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa emisi GRK nasional hanya sebesar 1,2 giga ton CO2e.

Perbedaan data ini menimbulkan keraguan dan kebingungan di kalangan pelaku pasar karbon dan merupakan bukti bahwa money laundering telah bercokol di Indonesia dalam pelaporan emisi GRK.

Ketujuh, kurangnya harmonisasi dan sinkronisasi antara standar MRV nasional dengan standar MRV internasional, terutama dalam konteks hubungan pasar karbon antara Indonesia dengan negara-negara lain atau mekanisme pasar global juga merupakan bukti bahwa standar MRV nasional bagian dari praktek money laundering.

Pada 2020, Indonesia meneken perjanjian kerja sama dengan Norwegia untuk menjual kredit karbon hasil pengurangan deforestasi dan degradasi hutan.

Namun, perjanjian ini mengalami kendala karena standar MRV yang digunakan oleh kedua negara berbeda, sehingga mempersulit proses verifikasi dan transfer kredit karbon yang juga membuktikan bahwa habitat money laundering telah mengakar di Indonesia.

Kedelapan, kurangnya mekanisme dan institusi yang efektif untuk mengawasi, mengevaluasi dan menindaklanjuti hasil MRV, serta untuk menyelesaikan sengketa dan mengatasi kecurangan yang terjadi dalam proses MRV termasuk akibat money laundering. Contoh kasus:

Pada 2019, terdapat kasus pemalsuan data emisi oleh salah satu entitas penjual karbon, yang berhasil lolos dari verifikasi dan menjual kredit karbon dengan harga tinggi.

Kasus ini baru terungkap setelah adanya investigasi oleh media massa, yang menyebabkan kerugian bagi pembeli karbon dan merusak reputasi pasar karbon nasional sekali lagi memperlihatkan rentannya perdagangan karbon akibat money laundering.

Kesembilan, pemberian insentif dan sanksi hanya berfokus pada aspek ekonomi dan lingkungan, tanpa mempertimbangkan aspek sosial, budaya dan money laundering yang juga berpengaruh terhadap perilaku pelaku usaha.

Selain itu, pemberian insentif dan sanksi juga belum didukung oleh sistem monitoring, evaluasi, dan pelaporan yang transparan dan akuntabel yang juga bebas dari money laundering. Hal ini dapat menimbulkan potensi penyalahgunaan, manipulasi, atau penghindaran dari kewajiban pelaku usaha dalam mengurangi emisi karbon yang berbungkus money laundering.

Kesepuluh, kelemahan fatal dari pembentukan lembaga independen yang bertugas melakukan audit, monitoring, dan evaluasi dalam POJK 14 tahun 2023 tentang perdagangan karbon. 

 

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button