Presiden Joko Widodo telah mendesak agar semua data pemerintah disimpan secara berlapis sebagai respons terhadap peretasan di Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) 2. PDNS 2 telah mengalami serangan ransomware yang mengunci informasi dari 282 institusi pemerintah pusat dan daerah, mengganggu akses dan menghilangkan ketersediaan data penting.
Serangan ini memicu permintaan tebusan sebesar US$8 juta dari kelompok peretas Brain Cipher, yang kemudian secara mendadak menawarkan dekripsi gratis.
“Dalam menghadapi kejadian ini, yang terpenting adalah memastikan bahwa semua data yang kita miliki itu harus di-backup, sehingga kalau ada apa-apa kita sudah siap-siap,” tegas Jokowi selama kunjungannya di Sinjai, Sulsel, Kamis (5/7/2024).
Peristiwa ini telah menggarisbawahi pentingnya memiliki strategi backup data yang efektif dan terencana.
Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Hinsa Siburian mengakui bahwa hampir tidak ada data PDNS 2 yang memiliki cadangan, yang menurutnya seharusnya tidak terjadi mengingat regulasi yang ada.
Menteri Komunikasi dan Informatika, Budi Arie Setiadi, juga menyampaikan bahwa kendala anggaran dan infrastruktur menjadi alasan mengapa banyak instansi pemerintah belum mengimplementasikan sistem backup data yang memadai.
“Ini harus menjadi evaluasi kita bersama, di mana setiap tenant perlu diberi pemahaman tentang pentingnya backup data untuk menghindari kehilangan data yang dapat merugikan banyak pihak,” ujar Menkominfo.
Langkah selanjutnya yang diambil pemerintah adalah memperkuat protokol keamanan dan memastikan bahwa semua data pemerintah memiliki cadangan yang memadai untuk mencegah insiden serupa di masa depan.