Sulit untuk menolak kenyataan bahwa keberadaan “Golongan Putih” (Golput) hingga kini masih menyisakan citra yang kurang elok, paling tidak pada sebagian publik Indonesia. Sejak diinisiasi alm. Arief Budiman pada awal 1970-an, Golput masih saja menyisakan kesan dan persepsi negative, paling tidak dianggap kurang bertanggung jawab secara politik. Tentu saja, jika kita berhenti di sini, polemik yang tak berkesudahan antara mereka yang pro dan kontra akan Golput, bisa terjadi.
Padahal, merujuk pengalaman banyak negara, opsi untuk tidak memilih siapa pun yang tertera sebagai kandidat di kertas suara adalah hal yang tak hanya memungkinkan kita mengatasi problematika Golput tersebut. Lebih jauh opsi itu jelas memberikan Pemilu yang lebih demokratis, karena semakin membuka peluang masuknya keberagaman sikap dan pendapat warga pemilih.
Tentu, pilihan yang di negara lain disebut sebagai “None of the Above” (NOTA) itu tak akan sama sekali menghilangkan adanya Golput. Tapi menguranginya, sangat jelas.
Mengubah persepsi
Opsi NOTA bisa mengubah persepsi negative tidak memilih (Golput) menjadi sebuah pilihan aktif yang setara dengan mereka yang memilih kandidat. Di Indonesia, golput sering dikaitkan dengan sikap apatis, ketidakpedulian, atau protes terhadap sistem politik, yang kerap dipandang negatif oleh publik, media, dan pemerintah. Dengan adanya opsi NOTA, para pemilih yang tidak setuju dengan kandidat yang tersedia tidak lagi perlu golput atau merusak suara sebagai bentuk protes. Mereka dapat mengekspresikan ketidakpuasan mereka secara sah dan terukur dengan memilih NOTA.
NOTA juga memberikan legitimasi pada suara protes, menjadikannya sebagai ekspresi politik yang diakui. Pemilih yang memilih NOTA dianggap masih berpartisipasi dalam proses demokrasi, hanya saja mereka tidak menyetujui kandidat yang ada.
Alhasil, dengan adanya opsi NOTA, pemilih yang sebelumnya cenderung Golput karena tidak menemukan kandidat yang sesuai, kini dapat berpartisipasi aktif. Ini dapat meningkatkan partisipasi pemilu, sekaligus mengurangi stigma bahwa tidak memilih kandidat yang tersedia adalah bentuk ketidakpedulian.
Peluang NOTA di Indonesia
Dalam konteks hukum Indonesia, opsi untuk “tidak memilih kandidat yang ada”, atau lebih dikenal dengan istilah “none of the above (NOTA)”, belum diatur secara eksplisit dalam Undang-undang Pemilu. Saat ini, pemilih yang tidak setuju dengan kandidat yang ada dapat memilih untuk tidak menggunakan hak suaranya (Golput) atau merusak suara (suara tidak sah). Tetapi itu jelas, dua pilihan tersebut—Golput atau merusak kertas suara– tidak langsung mencerminkan penolakan terhadap semua kandidat dalam kertas suara resmi.
Secara teoritis, Mahkamah Konstitusi (MK) dapat mengeluarkan putusan yang memberikan opsi semacam itu melalui uji materi. Terutama jika ada gugatan yang diajukan yang menilai bahwa pemilih berhak atas pilihan tersebut sebagai ekspresi hak politik.
Namun, MK hanya dapat menguji dan memutuskan norma hukum yang ada, bukan menciptakan norma baru. Karena itu, untuk menambahkan opsi seperti ini di surat suara, diperlukan amandemen terhadap Undang-undang Pemilu yang berlaku, yang merupakan kewenangan legislatif.
Dalam putusan-putusan sebelumnya, MK telah memperkuat prinsip bahwa hak untuk memilih adalah bagian dari hak asasi manusia. Namun, penambahan opsi spesifik seperti NOTA pada kertas suara belum pernah diputuskan secara eksplisit.
MK juga menegaskan bahwa fungsi mereka bukan sebagai pembuat kebijakan, melainkan penjaga konstitusi. Dengan demikian, meskipun putusan MK bisa mendukung gagasan tersebut, penerapan konkret harus melalui perubahan undang-undang oleh DPR.
Hak untuk menolak adalah prinsip demokrasi
Dari sudut pandang teori politik, keberadaan opsi “tidak memilih kandidat yang ada” merefleksikan hak pemilih untuk mengekspresikan ketidakpuasan terhadap pilihan yang tersedia. Prinsip dasar demokrasi adalah memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada pemilih untuk menyatakan kehendaknya. Dengan memberikan pilihan NOTA, sistem pemilu menjadi lebih inklusif karena menghormati suara penolakan dan dapat memaksa partai politik untuk menampilkan kandidat yang lebih berkualitas.
Secara teori, NOTA dikuatkan beberapa teori yang berkaitan dengan demokrasi dan demokratisasi pemerintahan.
Dalam Teori Demokrasi Partisipatif yang diusung Carole Pateman melalui karyanya “Participation and Democratic Theory” (1970), Pateman menekankan pentingnya partisipasi aktif warga dalam proses politik untuk memperkuat demokrasi. Belakangan pemikiran Poteman itu dikuatkan Benjamin Barber, dengan bukunya “Strong Democracy” (1984). Pada buku itu Barber berargumen bahwa demokrasi tidak hanya tentang memilih perwakilan, tetapi juga melibatkan partisipasi langsung warga dalam pembuatan keputusan.
Demokrasi partisipatif mengkritik demokrasi representatif yang dianggap tidak cukup melibatkan warga secara langsung. Keduanya percaya bahwa demokrasi yang sehat harus memberi ruang bagi semua bentuk ekspresi politik, termasuk penolakan terhadap kandidat yang ada, untuk mendorong partisipasi warga yang lebih luas.
Teori Pilihan Rasional (Rational Choice Theory), dengan pemikir utama Anthony Downs, mengadaptasi konsep ekonomi dalam konteks pemilihan politik, dengan asumsi bahwa pemilih bertindak secara rasional untuk memaksimalkan kepuasan mereka. Dalam bukunya “An Economic Theory of Democracy” (1957). Downs—kemudian dikuatkan James M. Buchanan dan Gordon Tullock dalam karya mereka “The Calculus of Consent” (1962)— mengasumsikan bahwa pemilih membuat keputusan berdasarkan evaluasi rasional untuk memaksimalkan utilitas mereka. Itu termasuk opsi untuk tidak memilih kandidat jika tidak ada yang sesuai dengan preferensi mereka, sehingga memberi ruang bagi ekspresi ketidakpuasan.
Belakangan, Robert D. Putnam, melalui studinya tentang pemerintahan Italia dalam bukunya “Making Democracy Work” (1993), menunjukkan pentingnya akuntabilitas politik dan partisipasi masyarakat dalam mendorong kinerja pemerintah yang lebih baik. Demikian pula Philippe Schmitter dan Guillermo O’Donnell dalam “Transitions from Authoritarian Rule” (1986), juga menekankan bahwa akuntabilitas politik penting untuk demokrasi yang sehat, termasuk dalam konteks pemilu. Akuntabilitas politik ini, kata meea, mencakup mekanisme di mana pejabat publik bertanggung jawab kepada warga.
Dalam konteks opsi NOTA, akuntabilitas diperkuat karena pemilih dapat secara langsung menunjukkan ketidakpuasan terhadap kandidat yang diajukan, mendorong partai politik untuk mengajukan kandidat yang lebih kompeten dan representatif.
Ketiga teori tersebut berkontribusi pada diskursus demokrasi dengan menyoroti pentingnya partisipasi, pilihan rasional, dan akuntabilitas dalam menciptakan sistem politik yang lebih responsif dan inklusif.
Pengalaman India
Beberapa negara telah mengadopsi opsi NOTA dalam sistem Pemilu mereka. Tentu saja, kadang dengan sekian variasi implementasi.
India merupakan negara yang mewajibkan opsi NOTA dalam surat suara. Hal itu terjadi setelah keluarnya putusan Mahkamah Agung tahun 2013. NOTA diakui sebagai bagian dari hak fundamental untuk memilih.
Rusia memiliki opsi “against all” pada kertas suara hingga 2006. Jika opsi ini menerima suara terbanyak, maka Pemilu akan diulang dengan pilihan kandidat baru.
Di Amerika Serikat, Nevada merupakan negara bagian yang memiliki pilihan “None of These Candidates” dalam pemilu federal dan negara bagian. Meski suara NOTA tidak memengaruhi hasil akhir, hal itu mencerminkan ketidakpuasan publik terhadap pilihan yang tersedia.
Di Spanyol, NOTA tidak tersedia secara formal. Namun kelompok-kelompok tertentu mendorong pemilih untuk secara aktif menandai “suara kosong” sebagai protes terhadap sistem politik.
Kekurangan opsi NOTA
Tak baik juga jika kita tidak membuka (peluang) adanya kekurangan pada opsi NOTA. Secara rasional, potensi peningkatan pilihan NOTA dapat menyebabkan Pemilu ulang yang mahal. Mungkin pula ketidakpastian politik jika angka penolakan sangat tinggi.
Namun melihat mahalnya Pemilu kita sementara rasa keadilan publik dirasa sangat terpinggirkan, opsi NOTA bagi Indonesia sangat relevan diberlakukan.
Sekali lagi, secara teoritis MK dapat memainkan peran penting dalam mendorong diskusi ini dengan menafsirkan hak memilih dalam konteks yang lebih luas. Namun, implementasi sesungguhnya sangat bergantung pada perubahan kebijakan yang dilakukan oleh legislative. Mereka inilah yang mungkin perlu mempertimbangkan diberlakukannya opsi NOTA untuk memungkinkan terjadinya peningkatan demokrasi di Indonesia.