Pemangkasan Anggaran, Kebijakan Kontraproduktif bagi Mimpi Pendidikan Gratis


Pengamat pendidikan Islam dari UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Jejen Musfah menilai pemangkasan anggaran pendidikan sebesar Rp14,3 triliun adalah bukti inkonsistensi pemerintah dalam memajukan pendidikan dengan biaya terjangkau maupun gratis di Indonesia.

“Tanpa pemotongan, kualitas PTN (Perguruan Tinggi Negeri) kita sangat rendah, apalagi jika dipotong,” kata Jejen saat dihubungi Inilah.com, Jakarta, Kamis (13/2/2025).

Ia berharap pemerintah tidak menyetujui kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) jika kampus mengusulkan. Menurutnya, kenaikan UKT akan sangat menyulitkan mahasiswa dari kalangan tidak mampu.

“UKT yang ada saja sudah sangat besar bagi keluarga miskin dan menengah,” ucapnya.

Selain itu, pemotongan anggaran tersebut juga berpotensi membuat dosen tidak fokus mengajar karena berusaha mencari pekerjaan sampingan. Bahkan, menurutnya, tidak menutup kemungkinan beberapa dosen akan berhenti untuk mencari pekerjaan lain yang lebih menjanjikan.

“Beasiswa bagi dosen mampu meningkatkan kompetensi mereka sehingga akan meningkatkan kualitas pengajaran, penelitian, dan pendidikan tinggi,” ujarnya.

Sementara itu, Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, mengingatkan bahwa sektor pendidikan adalah pilar utama kemajuan bangsa. Oleh karena itu, keputusan pemerintah memangkas anggaran ini dinilai kurang hati-hati dan dapat mempersempit akses pendidikan bagi anak-anak Indonesia.

“Salah satu cara yang mungkin dilakukan adalah dengan menaikkan UKT. Hal ini tentu akan memberatkan mahasiswa, terutama mereka yang berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi kurang mampu,” ujarnya saat dihubungi Inilah.com di Jakarta, Kamis (13/2/2025).

Sebelumnya, pemerintah memangkas anggaran Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) dari Rp22,5 triliun menjadi Rp14,3 triliun. Pemotongan ini mencakup berbagai pos penting, termasuk subsidi perguruan tinggi, beasiswa KIP Kuliah, serta tunjangan dosen non-PNS.