News

Pembunuhan Al Zawahiri Sisakan Banyak Pertanyaan

Sabtu, 06 Agu 2022 – 13:37 WIB

Al Zawahiri

Ayman Al Zawahir (ist)

Pembunuhan pemimpin Al Qaeda Ayman Al Zawahiri dalam serangan pesawat tak berawak di Afghanistan disebut-sebut sebagai kemenangan besar AS melawan ekstremisme. Namun, pembunuhan ini meninggalkan banyak pertanyaan dan bukan akhir dari perang dari terhadap mereka.

Ayman Al Zawahiri tewas dalam serangan drone di Afghanistan yang dikuasai Taliban pada akhir pekan lalu. Al Zawahiri yang terkenal bahkan sebelum peristiwa 9/11, kepalanya dihargai US$25 juta bagi siapapun yang berhasil membunuhnya. Ia dikabarkan masih merencanakan serangan terhadap AS dan sekutunya.

Presiden AS Joe Biden, yang memberikan persetujuan akhir untuk melancarkan serangan terhadap Al Zawahiri, mengatakan, “Keadilan telah ditegakkan, dan pemimpin teroris ini tidak ada lagi.”

Dua rudal Hellfire yang diluncurkan dari pesawat nirawak AS menjadi penyebab tewasnya Al Zawahiri. Rudal yang kabarnya sudah dimodifikasi tersebut mengenai Al Zawahiri saat dia berdiri di balkon rumahnya di pusat Kota Kabul, Afghanistan.

Rudal Hellfire –sebagian besar buatan Lockheed Martin– adalah peluru kendali udara-ke-darat berpresisi tinggi yang biasanya menyebabkan kerusakan besar. Hantamannya disebut mampu meruntuhkan gedung dan membunuh atau melukai orang-orang di dekatnya.

Pembunuhan pemimpin Al Qaeda yang menggantikan Osama bin Laden pada 2011 ini memang menyisakan banyak pertanyaan masalah. Misalnya, apakah Afghanistan yang dipimpin Taliban merupakan tempat perlindungan bagi kelompok militan dan organisasi teroris seperti Al Qaeda? Lalu apakah dengan serangan yang dilakukan AS berarti pula negara ini membutuhkan kehadiran militer untuk melakukan operasi kontraterorisme terhadap kelompok teroris?

Sikap Taliban

Menarik menyimak tulisan Syed Fazl-e-Haider, seorang analis Wikistrat yang muncul di blog Lowy Institute, The Interpreter. Ia mengungkapkan, dari sisi Taliban, jelas mengutuk serangan pesawat tak berawak AS di tanah Afghanistan ini dan menyebutnya sebagai pelanggaran kedaulatan negara. Selain itu, Taliban mengklaim serangan itu merupakan pelanggaran terhadap Perjanjian Doha yang ditandatangani pada tahun 2020 antara AS dan kelompok militan tersebut.

Dalam sebuah cuitan di Twitter, juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid mengatakan, Imarah Islam Afghanistan mengutuk keras serangan ini dengan dalih apa pun dan menyebutnya sebagai pelanggaran yang jelas terhadap prinsip-prinsip internasional dan Perjanjian Doha.

Di bawah kesepakatan Doha, Taliban memberikan jaminan keamanan bahwa tanah Afghanistan tidak akan digunakan oleh kelompok teroris terhadap negara mana pun. Taliban praktis gagal memenuhi janjinya.

Misalnya, meskipun Pakistan berulang kali meminta, Taliban tidak mengekang operasi Tehreek-e-Taliban Pakistan (TTP) yang dilarang, yang menikmati tempat aman di Afghanistan dan telah mengatur serangan di Pakistan dari negara tetangga Afghanistan.

Taliban telah berusaha untuk membawa TTP dan Islamabad ke meja perundingan, tetapi menerima tuntutan TTP seperti penarikan pasukan dari daerah suku, pembalikan penggabungan daerah suku dengan provinsi Khyber Pakhtunkhwa, dan penegakan versi mereka. Syariah akan berarti penyerahan negara kepada para militan.

Kehadiran kelompok teroris di Afghanistan sendiri merupakan pelanggaran terhadap kesepakatan Doha, apalagi ancaman yang ditimbulkan oleh bagaimana organisasi-organisasi ini tampak tumbuh. Sebuah laporan PBB baru-baru ini memperingatkan bahwa Al Qaeda dan Negara Islam-Provinsi Khorasan semakin kuat di Afghanistan dan berpotensi menimbulkan ancaman bagi dunia luar.

Laporan tersebut juga mengonfirmasi bahwa Al Zawahiri telah tinggal di Afghanistan dan berkomunikasi dengan bebas. “Kenyamanan dan kemampuan Al Zawahiri yang meningkat untuk berkomunikasi bertepatan dengan pengambilalihan Afghanistan oleh Taliban dan konsolidasi kekuatan sekutu utama Al Qaeda dalam pemerintahan de facto mereka.”

Gara-gara komunikasi yang bebas ini pula yang mungkin telah menyebabkan kehancuran Al Zawahiri.

Teror Tak Pernah Mati

Peran operasional macam apa yang dimainkan Al Zawahiri selama bertahun-tahun dalam persembunyiannya masih belum jelas. Tapi beberapa pelajaran dan sudah jelas. Itu adalah serangan pesawat tak berawak AS pertama di Afghanistan sejak penarikan pasukan AS tahun lalu.

Dengan serangan yang berhasil ini, AS telah membuktikan kemampuan mereka untuk melanjutkan operasi kontraterorisme tanpa kehadiran langsung di lapangan.

Tapi pertanyaan lain muncul, yakni sementara Al Qaeda dan kelompok teroris lainnya terus beroperasi, akankah AS melanjutkan kampanye drone-nya di dalam negara yang dilanda perselisihan? Dan akankah Pakistan memperluas kerja samanya dengan AS dalam perang drone yang banyak dikritik melawan ekstremis di Afghanistan?

Al Qaeda sebenarnya kelompok teror asal Timur Tengah. Bin Laden berasal dari Arab Saudi, Al Zawahiri dari Mesir, para petinggi senior hampir semuanya berasal dari kawasan Arab. Dengan kematian Al Zawahiri, Al Qaeda kemungkinan akan membangkitkan kekuatan mereka dengan pemimpin baru serta strategi baru. Kematian pemimpinnya tentu saja bukan berarti ancaman atau teror dari kelompok ini turut mati pula.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Lihat Juga
Close
Back to top button