Masyarakat kelas menengah ke bawah hidupnya makin terhimpit. Pemerintah baik pusat atau daerah seakan senang cari jalan pintas untuk menambah pendapatan. Belum hilang kecemasan publik soal wacana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen, kini bergulir wacana retribusi kantin-kantin sekolah di Jakarta.
DPRD DKI Jakarta berniat menarik retribusi dari para pedagang kantin sekolah. Padahal mereka selama ini kembang kempis membayar sewa lapak ke pihak sekolah. Saat ini pihak Dinas Pendidikan (Disdik) Jakarta tengah melakukan pendataan untuk merealisasikan wacana tersebut.
“Saya baru mau data terus dipetakan kok. Habis didata dipetakan kantin sekolah ini bayar atau enggak. Terkait dengan mau ditarik atau enggak dengan retribusi kan harus ada regulasinya, ngobrol sama lintas OPD, sama aset (BPAD Jakarta) kan yang punya kan aset,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pendidikan Purwosusilo saat dikonfirmasi wartawan di Jakarta, Minggu (24/11/2024).
Wacana retribusi kantin ini awalnya diusulkan oleh Wakil Ketua Komisi C DPRD DKI, Sutikno yang mengetahui keberadaan kantin di sebuah sekolah yang menerapkan tarif sewa lapak sebesar Rp5juta per tahun.
“Kantin di SMA 32 di daerah Cipulir, ada sekitar 14 kantin. Tetapi setiap tahunnya membayar Rp5 juta, berarti sudah Rp70 juta di satu sekolah,” ujar Sutikno dari Fraksi PKB, dalam keterangan terulis yang diterima di Jakarta, Kamis (21/11/2024).
Asal tahu saja, berdasarkan data Disdik Jakarta, tercatat ada sekitar 1.788 kantin tersebar di seluruh sekolah negeri. Sebanyak 1.305 kantin di SD, 293 kantin di SMP, 117 kantin di SMA, dan 73 kantin di SMK. Jika merujuk hitungan legislator Sutikno, setidaknya jika wacana ini direalisasi Pempriov bisa meraup pendapatan sekitar Rp8,9 miliar.
Rencana ini mendapat penolakan dari para pedang kantin di SMPN 191 Jakarta, Aan, mengaku keberatan dengan rencana penarikan retribusi sekolah. Pasalnya, dia harus membayar Rp850 ribu per bulan untuk menyewa lapak di SMPN 191 Jakarta Barat.
Aan mengaku pendapatannya per hari tidak mencukupi jika harus membayar uang sewa sekaligus retribusi kantin sekolah.
“Dulu kan pasar murah, sembako murah, kalau sekarang kan sembako naiknya bukan main. Anak-anak tahu sendiri, (harga) dinaikkan seribu, enggak ada yang beli. Es buah jadi Rp5 ribu berat (untuk murid),” kata dia.
Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), M Andri Perdana, menilai pedagang di kantin sekolah ibarat setelah jatuh tertimpa tangga pula. Sebab, kata dia, banyak regulasi yang dinilai tidak menguntungkan mereka.
Misalnya, kata Andri, kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN), penerapan makan bergizi gratis, hingga rencana penarikan retribusi pedagang di kantin sekolah.
“Bagi mereka, tentu adalah berita yang sangat buruk ya. Mungkin ke depannya akan banyak usaha tersebut yang mati, dan mungkin hanya beberapa saja yang bisa bertahan kalau kita lihat dari retribusi itu,” ucapnya.