Pemerintahan Prabowo-Gibran Diharapkan Prioritaskan Energi Terbarukan


Koalisi Masyrakat Sipil untuk Transisi Energi Berkeadilan berharap kebijakan pemerintahan baru Prabowo Subianto-Gibran Rakabmuning Raka untuk memprioritaskan energi terbarukan.

Plt Direktur Program Koaksi Indonesia Indra Sari Wardani menekankan pentingnya kebijakan ini, alih energi baru seperti nuklir, hilirisasi batubara, teknologi penangkapan karbon (CCS/CCUS), dan gas alam, yang tinggi emisi dan mahal.

“Transisi energi berpotensi menciptakan lebih dari satu juta pekerjaan hijau pada 2050, sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan ramah lingkungan,” ujar Indra Sari, dalam keterangan tertulis, Sabtu (14/9/2024).

Ia berharap, kedepan perlu adanya evaluasi kebijakan sektor energi, termasuk Kebijakan Energi Nasional dan Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan

“Hal ini juga dapat berkontribusi bagi peningkatan ekonomi masyarakat dan mendorong ekonomi hijau yang lebih luas,” kata dia.

Pernyataan tersebut merupakan satu dari delapan rekomendasi quick wins (program percepatan) untuk 100 hari pertama pemerintahan Prabowo Gibran. Rekomendasi ini bertujuan mendukung target pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas dan inklusif, melalui percepatan transisi energi untuk mewujudkan ekonomi hijau. Demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan, sesuai visi misi Prabowo-Gibran dalam Asta Cita.

Pensiun Dini PLTU

Pada poin selanjutnya, Koalisi ini juga menekankan perlu segera untuk merumuskan peta jalan pensiun dini PLTU dan menyiapkan jaringan pengamannya, sebagai tindak lanjut dari Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2022.

Direktur Eksekutif CERAH, Agung Budiono menilai, semakin cepat pensiun dini PLTU untuk digantikan energi terbarukan, akan membawa keuntungan ekonomi yang lebih besar bagi Indonesia.

“Temuan Penelitian Celios dan CERAH terkait dengan dampak ekonomi pensiun dini pada PLTU Cirebon-1, PLTU Pelabuhan Ratu, dan PLTU Suralaya diproyeksi memiliki dampak terhadap produk domestik bruto (PDB) dengan peningkatan hingga Rp82,6 triliun,” kata Agung.

Pensiun dini PLTU, perlu juga memerhatikan dampak langsung terhadap masyarakat rentan, khususnya pekerja, kelompok informal, dan komunitas yang bergantung pada sektor ini.

Kebijakan perlindungan jaminan sosial, program pelatihan, dan penciptaan lapangan kerja lokal baru harus menjadi bagian integral dari transisi, agar tidak memperburuk kesejahteraan masyarakat yang paling terdampak.

Ketiga, perlu ada insentif pembiayaan untuk pengalihan ke energi terbarukan, serta pemberdayaan dan peningkatan akses pembiayaan UMKM dan koperasi untuk pengembangan energi terbarukan berbasis masyarakat.

Keempat, aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola yang baik (ESG/LST) perlu dijadikan persyaratan untuk mendapatkan perizinan investasi.

“Tanpa perlindungan (safeguard) yang kuat, pengembangan energi terbarukan dapat membawa konsekuensi signifikan bagi lingkungan dan masyarakat setempat. Apalagi, lembaga keuangan global semakin ketat menyoroti aspek LST dalam menyalurkan pembiayaan proyek,” tutur Direktur Iklim dan Transformasi Pasar Yayasan WWF-Indonesia, Irfan Bakhtiar.

Kelima, kata Irfan, Koalisi mendorong Prabowo-Gibran perlu mengevaluasi meninjau ulang program bahan bakar nabati, yakni pencampuran biodiesel 50% (B50) dan bioetanol 10% (E10) serta program co-firing biomassa di PLTU. Program-program tersebut harus mempertimbangkan aspek keadilan sosial, daya dukung lingkungan, serta daya saing industri dalam negeri.

“Program B50 harus dievaluasi kembali karena studi lembaga Madani menunjukan bahwa daya dukung dan daya tampung lingkungan sudah berada di ambang batas kritis. Artinya, pembukaan lahan baru untuk perkebunan sawit yang menjadi bahan baku biodiesel, harus dihentikan,” kata Irfan.

Sementara Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira mengatakan rekomendasi ke-enam yang diperjuangkan Koalisi adalah evaluasi kebijakan nilai ekonomi karbon (NEK). Prabowo-Gibran, kata dia, perlu memastikan kebijakan NEK ini memiliki kerangka pengaman yang kuat dan mampu mendukung pencapaian target netral karbon, serta mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam penerapannya.

Menurut Bhima, hal tersebut perlu dilakukan agar dekarbonisasi sektor industri dapat segera tercapai dan alokasi dana karbon dapat terdistribusi pada sektor-sektor hijau untuk mewujudkan ekonomi hijau.

“Rekomendasi berikutnya perlu lakukan pemetaan untuk perkuat aturan dan pengawasan implementasi jaring pengaman instrumen NEK, termasuk yang bersifat wajib seperti Amdal dan instrumen perizinan sehingga mampu menghindari risiko sosial maupun lingkungan dari implementasi NEK oleh korporasi serta meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan NEK,” imbuh Bhima.

Terakhir, kata Bhima, Prabowo-Gibran perlu melibatkan partisipasi masyarakat dalam implementasi transisi energi berkeadilan ini.

“Perlu ada pelibatan aktif masyarakat secara bermakna dalam penyusunan kebijakan energi sehingga tercipta kebijakan yang responsif dengan kebutuhan lokal dan efektivitas implementasi.Transisi energi diharapkan tidak hanya mendukung target ekonomi, tetapi juga menciptakan masa depan yang lebih berkelanjutan dan adil bagi seluruh rakyat Indonesia,” kata Bhima.