Saat kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia setara dengan kekayaan 50 juta warga, ketika ada ramalan bahwa Indonesia butuh 133 tahun untuk menghilangkan kemiskinan, ekonomi kerakyatan-koperasi memberi peluang besar bagi Prabowo untuk membuat terobosan dalam sejarah perekonomian Indonesia.
Sejak awal 1990-an, warga dunia sejatinya telah melihat bahwa dua sistem besar yang selama ini menjadi kendaraan manusia untuk mencapai cita-cita kesejahteraan ekonomi telah gagal. Kapitalisme, meski tetap dielu-elukan pendukung fanatiknya, sejatinya telah gagal membawa kesejahteraan yang adil dan merata.
Immanuel Wallerstein, misalnya, mengkritik sistem kapitalisme global justru hanya menghasilkan ketidaksetaraan antara negara-negara inti dan pinggiran. Sementara David Harvey menunjukkan bahwa kapitalisme cenderung menciptakan krisis berulang yang mengorbankan masyarakat kelas bawah demi keuntungan segelintir orang kaya. Dalam “Capital in the Twenty-First Century”,Thomas Piketty menegaskan bahwa kapitalisme-lah yang memperparah ketimpangan kekayaan karena pengembalian atas modal lebih besar daripada pertumbuhan ekonomi. Lebih jauh, Joseph Stiglitz, ekonom pemenang Nobel, menyatakan bahwa neoliberalisme dalam kapitalisme justru meningkatkan kesenjangan sosial, dan berlaku tidak adil bagi masyarakat banyak.
Yang lebih mutakhir dan langsung menyorot ‘jeroan’ Amerika, dalam buku “Poverty, By America”, Matthew Desmond menunjukkan bahwa kemiskinan yang terjadi di Amerika Serikat malah merupakan hasil dari sistem kapitalis yang tidak mengutamakan kesejahteraan sosial. Desmond menjelaskan bagaimana kebijakan-kebijakan yang seharusnya ditujukan untuk membantu masyarakat kecil malah menciptakan kemiskinan baru akibat sistem yang lebih mementingkan kepentingan investor dan korporasi besar. Amerika, sebagai contoh negara kapitalis yang besar, justru gagal memberikan kesejahteraan bagi semua warganya, dan ini terbukti dari data kemiskinan yang terus meningkat setiap tahun.
Untuk sosialisme-komunisme, dunia justru menerima kritik-kritik itu lebih awal lagi. Pada 1960, dalam “The End of Ideology: On the Exhaustion of Political Ideas in the Fifties”, Daniel Bell berargumen bahwa ideologi besar, seperti marxisme dan fasisme, telah kehilangan daya tariknya di dunia Barat. Ia menyatakan, era pasca-Perang Dunia II ditandai oleh pragmatisme dan kompromi ideologi tersebut, alih-alih penguatan ideologi.
Keruntuhan Uni Soviet pada akhir 1991 kemudian menjadi bukti nyata dari kegagalan ekonomi terpusat yang memberangus inisiatif individu dan menghambat perkembangan ekonomi secara efisien. Hal itu pula yang menyulut euphoria dunia untuk mempertanyakan kedua sistem ekonomi besar tersebut, termasuk sebuah majalah kampus berbasis Masjid Salman, Salman KAU–media yang melahirkan nama-nama besar di dunia media saat ini, seperti Farid Gaban, Dian R Basuki, Putut Wijanarko, dll—yang turut mengangkatnya dalam sebuah cover story.
Dengan dua sistem ekonomi besar tersebut menunjukkan kegagalan mereka masing-masing, sejak itu pun muncul pertanyaan: adakah sistem yang lebih manusiawi dan berkeadilan yang mampu menyejahterakan umat manusia?
Ekonomi kerakyatan terpuruk di pinggiran
Di Indonesia, konsep ekonomi kerakyatan menjadi salah satu opsi yang sangat relevan. Ekonomi kerakyatan yang digagas Bung Hatta didasarkan pada asas kekeluargaan dan diimplementasikan melalui koperasi. Bung Hatta memperkenalkan koperasi sebagai alat ekonomi yang berorientasi pada kesejahteraan bersama, dengan mengutamakan kerja sama antaranggota. Sistem itu jauh lebih manusiawi dibandingkan kapitalisme karena menghindari eksploitasi, dan pada saat yang sama, berbeda dari komunisme karena tetap menghargai peran individu.
Dalam pandangan Bung Hatta, koperasi adalah jalan terbaik untuk memberdayakan masyarakat, terutama golongan ekonomi lemah. Dengan asas kekeluargaan, koperasi memberikan kesempatan bagi setiap orang untuk berpartisipasi secara adil dalam ekonomi, tanpa adanya dominasi modal besar seperti dalam kapitalisme. Dalam pemikiran Bung Hatta, koperasi seharusnya menjadi sarana bagi masyarakat Indonesia untuk mencapai kemandirian ekonomi yang kuat.
![424072-open-defecation-zeenews.jpg](https://i0.wp.com/c.inilah.com/reborn/2024/09/424072_open_defecation_zeenews_13a1948a97.jpg)
Persoalannya, kita tahu, selama ini di Indonesia, ekonomi kerakyatan-koperasi hanya jadi hiasan pemanis bibir alias lip service semata. Ekonomi kerakyatan- koperasi sering kali hanya menjadi jargon politik yang dikumandangkan dalam pidato dan kampanye para elit politik. Dalam setiap perayaan Hari Koperasi, pemerintah selalu berjanji untuk memperkuat koperasi sebagai tulang punggung perekonomian nasional, seolah-olah sistem itu akan menjadi solusi bagi ketimpangan sosial dan ekonomi. Kenyataannya, kebijakan konkret yang dikeluarkan justru lebih banyak menguntungkan kelompok-kelompok besar yang sudah mapan. Regulasi yang tumpang tindih, akses permodalan yang minim, serta kurangnya dukungan infrastruktur telah membuat koperasi kesulitan berkembang dan tetap menjadi pemain kelas dua, atau bahkan kelas tiga, dalam perekonomian nasional.
Tegasnya, pemerintah sejak Orde Baru dan tak berubah juga setelah itu, lebih cenderung menguatkan kekuatan oligarki yang didominasi segelintir konglomerat. Kebijakan ekonomi yang pro-investor, pemberian berbagai kemudahan bagi perusahaan-perusahaan besar, dan konsesi sumber daya alam yang diberikan kepada korporasi besar, semuanya menunjukkan bahwa prioritas sesungguhnya bukanlah ekonomi kerakyatan. Alih-alih memberdayakan koperasi sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial, pemerintah justru semakin meminggirkan mereka dengan kebijakan yang hanya memperkuat dominasi oligarki. Akibatnya, koperasi yang semestinya menjadi pilar bagi ekonomi rakyat terus terpinggirkan, dan cita-cita ekonomi berkeadilan hanya tinggal kenangan yang tercetak di buku sejarah.
Indonesia, melalui Bung Hatta, telah lama menyadari kehebatan potensi koperasi. Tapi yang memetik kebaikan justru negara-negara jauh di luar sana yang konsisten meneapkannya. Mondragon Corporation di Spanyol, salah satunya. Mondragon, yang berpusat di Basque Country, didirikan pada 1956, saat ini menjadi salah satu koperasi terbesar dan paling sukses di dunia. Mondragon terdiri dari lebih 250 perusahaan dan koperasi yang bergerak di berbagai sektor, termasuk industri, keuangan, dan ritel. Dengan puluhan ribu anggota yang juga adalah pekerjanya, Mondragon telah menjadi salah satu kekuatan ekonomi utama di Spanyol, dan beberapa perusahaannya bahkan bersaing di pasar global. Koperasi ini membuktikan bahwa sistem ekonomi berbasis koperasi dapat berfungsi sebagai perusahaan kelas dunia yang kompetitif, efisien, dan tetap memegang prinsip-prinsip demokratis dalam manajemennya.
Era Prabowo: peluang ekonomi kerakyatan
Saat ini, ada kecenderungan di mana ekonomi kerakyatan dan koperasi kembali mendapat perhatian lebih besar dalam perencanaan ekonomi nasional. Pengamatan saya atas pemberitaan yang ada, Ferry Juliantono, sekretaris Dewan Pembina Induk Koperasi Unit Desa (INKUD), menjadi salah satu sosok yang gencar mengedepankan peran koperasi di bawah pemerintahan Prabowo Subianto. Ferry terlibat dalam berbagai kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan peran koperasi dalam perekonomian Indonesia, terutama dalam program-program strategis pemerintah.
Telah jadi rahasia publik, Ferry dikenal memiliki kedekatan politik yang signifikan dengan Prabowo Subianto (PS). Ia bisa dikatakan terlihat sebagai salah satu tokoh yang sangat dipercaya PS, setidaknya dengan melihat posisinya di Gerindra sebagai wakil ketua umum. Jadi, tampilnya Ferry dalam upaya menghidupkan kembali koperasi di Indonesia, bukan tak mungkin—kalau tak boleh disebut kemungkinan besar—merupakan tangan operasional PS di lapangan.
Artinya, boleh saja kita pandang ‘’gerakan’’, “manuver” atau apa pun itu dari Ferry dalam konteks koperasi, adalah gerakan PS. Apalagi, catatan publik juga bisa dibuka, bahwa berulang kali PS menegaskan pentingnya koperasi sebagai pilar pembangunan nasional.
Upaya Ferry itu setidaknya bisa kita lihat dari dua langkahnya yang tersebar di media massa. Misalnya pada Program Makan Bergizi Gratis yang dikelola Badan Gizi Nasional (BGN). Di sana, melalui sebuah Nota Kesepahaman ditegaskan bahwa koperasi berperan penting dalam penyediaan bahan pangan dan operasional di lapangan. Program itu dirancang tidak hanya untuk mengatasi stunting di Indonesia, tetapi juga untuk menggerakkan ekonomi skala mikro. Kesepahaman antara BGN dan INKUD, memastikan bahwa koperasi menjadi penggerak utama dalam penyediaan bahan pangan, termasuk susu, ayam, telur, dan sayuran yang dibutuhkan setiap hari. Hal itu sekaligus memberikan peluang ekonomi bagi petani dan peternak kecil di berbagai daerah, sehingga dampak positif dari program dapat dirasakan langsung masyarakat.
Inisiatif Ferry lainnya yang mengedepankan koperasi adalah pengelolaan sumur-sumur minyak idle eks Pertamina. Ada rencana kuat bahwa koperasi (via INKUD) mendapatkan peran penting dalam sektor energi nasional, dengan mengelola sumur minyak idle eks Pertamina tersebut. Tentu saja itu akan menjadi langkah yang sangat signifikan, karena sektor energi biasanya didominasi BUMN dan perusahaan swasta besar. Melalui arahan langsung dari Prabowo, koperasi dilibatkan untuk menjadi pemain di sektor strategis, sehingga memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk menikmati manfaat ekonomi dari sektor energi.
Kedua hal itu, menurut saya, menandai titik balik bagi koperasi di Indonesia, yang selama ini cenderung dipandang sebagai pemain kecil di sektor non-strategis.
Menatap ke depan
Prabowo dan kepercayaannya terhadap sistem ekonomi kerakyatan, seharusnya bisa lebih mendorong peran besar koperasi sebagai salah satu tulang punggung ekonomi nasional. Pemerintahan Prabowo memiliki peluang emas untuk mengimplementasikan program-program yang dapat memperkuat peran koperasi di seluruh sektor, bukan hanya sektor pangan dan energi. Dengan memanfaatkan koperasi sebagai alat untuk menggerakkan ekonomi rakyat, pemerintahan Prabowo dapat memberikan dampak positif langsung pada kehidupan masyarakat kecil, menciptakan lapangan kerja, dan mengurangi ketergantungan pada investasi asing.
Namun, untuk memastikan keberhasilan ekonomi kerakyatan dan koperasi dalam pemerintahan Prabowo, diperlukan komitmen yang jelas dari seluruh pemangku kebijakan. Pemerintah harus menyediakan regulasi yang mendukung pengembangan koperasi dan memastikan akses permodalan yang memadai. Tantangan utama yang dihadapi adalah bagaimana menjaga keberlanjutan kebijakan ini, agar koperasi tidak hanya menjadi “pemanis” dalam rencana ekonomi, tetapi benar-benar menjadi pilar yang kokoh perekonomian nasional.
Selain kebosanan kita melihat bagaimana si kaya terus kian kaya sementara si miskin makin terpinggirkan, sejatinya sebagai warga Indonesia, kita semua khawatir akan sinyalemen Bank Dunia terakhir. Institusi ekonomi dunia itu menilai Indonesia butuh keajaiban untuk lolos dari perangkap negara berpendapatan menengah. Indonesia sulit naik kelas ke kategori negara berpendapatan tinggi lantaran masih mengandalkan strategi kuno, yang hanya menghasilkan ketimpangan kekayaan di antara warga yang kian timpang dan lebar. Kita tahu, di dalam negeri data tersebut menggedor keprihatinan kita, senyampang CELIOS mengekspos hasil penelitiannya “Laporan Ketimpangan Ekonomi Indonesia 2024: Pesawat Jet untuk si Kaya, Sepeda untuk si Miskin”.
Laporan itu mengungkapkan bahwa kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia setara dengan kekayaan 50 juta orang masyarakat Indonesia. Studi tersebut juga memprediksi bahwa Indonesia akan memiliki kuadriliuner pertama dalam enam tahun ke depan, sementara butuh 133 tahun untuk menghilangkan kemiskinan di negara ini. Prediksi berbasis data yang menyesakkan dada.
Semenyara di sisi Bank Dunia, mereka menegaskan, jika Indonesia tidak membenahi regulasi dan memperbaiki efisiensi ekonominya, diperkirakan negara ini butuh 70 tahun untuk mencapai seperempat pendapatan per kapita Amerika Serikat. Penyebab utamanya tadi: ketimpangan distribusi kekayaan yang membuat pertumbuhan ekonomi tidak merata.
Dengan visi ekonomi yang berbasis pada kesejahteraan rakyat, ada peluang besar bagi Prabowo untuk membuat terobosan dalam sejarah perekonomian Indonesia. Apabila pemerintahan Prabowo serius dalam mengedepankan ekonomi kerakyatan dan koperasi, seperti yang diperjuangkan Bung Hatta, maka Indonesia memiliki kesempatan untuk keluar dari jeratan ketimpangan ekonomi dan mencapai kesejahteraan yang merata. Dukungan politik yang kuat, visi yang jelas, dan pelibatan masyarakat secara aktif adalah kunci untuk menjadikan ekonomi kerakyatan sebagai solusi bagi permasalahan ekonomi yang dihadapi bangsa ini.